SOLOPOS.COM - Wahyu Widyasih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perayaan  dan peringatan Hari Teater Sedunia diselenggarakan lagi pada 17-20 Maret 2023 di kompleks Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah di Kota Solo dengan mengusung tema Daya Hidup Seni Pertunjukan.

Hari Teater Sedunia (Hatedu) adalah kegiatan yang dicetuskan International Theatre Institute pada 27 Maret 1961 untuk membangun kesadaran tentang pentingnya teater serta menyampaikan berbagai pesan sosial, politik, dan budaya.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Ada keyakinan bahwa teater memiliki kekuatan menggerakkan, menginspirasi, dan mengenalkan sesuatu dengan media ungkap yang tidak dimiliki oleh seni lain.  Kegiatan tersebut mulai diselenggarakan di Kota Solo pada 2015 atas inisiasi Omah Kreatif Arturah sebagai wadah sekaligus ruang ekspresi para pelaku seni teater yang kemudian dikenal sebagai Sala Hatedu.

Sejumlah seniman teater dari berbagai daerah dan karakter terlibat. Setiap tahun jumlah peserta selalu bertambah, bahkan pernah melibatkan seniman teater dari luar negeri seperti Tepak Tellaz dan Teater FiTa dari Malaysia serta Teater Singa Muntah dari Singapura.

Pesan berbeda disampaikan oleh penyelenggara melalui konsep atau tema yang diusung pada setiap penyelenggaraan. Pergelaran teater bukan satu-satunya kegiatan dalam Sala Hatedu. Workshop, sarasehan,  diskusi, maupun orasi budaya menjadi bagian dari kegiatan tersebut setiap tahun.

Rangkaian kegiatan untuk menggugah kembali beragam percik pemikiran guna menumbuhkan eksistensi, rasa cinta, pemasyarakatan seni teater, dan refleksi bagi pelaku seni teater. Kondisi ini menawarkan beragam pengalaman manggung dan menonton pertunjukan di dalam dan luar ruangan.

Banyak memori yang tercipta, bertemu, dan berdialog dalam event tahunan ini. Memori yang tersimpan dalam sejumlah dokumen tekstual, visual, maupun pengalaman empiris dari setiap sudut penyelenggaraan.

Memori tersebut  jangan dibiarkan hanya menjadi milik mereka yang mengalami secara langsung peristiwanya, baik panitia, peserta, maupun penonton. Tidakkah lebih baik memori tersebut tersedia menjadi sesuatu yang bisa ditransmisikan lintas memori dan generasi sehingga dapat terus menjadi sumber referensi bagi pengembangan seni teater?

Sala Hatedu membuat banyak subjek berkumpul dan bertemu. Praktisi seni teater, kritikus seni, mahasiswa, akademisi, pemerintah, swasta, dan masyarakat bertemu dan berinteraksi sesuai minat dan kepentingan masing-masing. Setiap subjek datang dan pergi membawa memori.

Berkumpul dan bertemunya beragam memori adalah aset penting bagi masa depan perkembangan seni teater. Di dalamnya terkandung informasi tak terucap dari memori panjang berteater lintas konteks sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Informasi tak terucap yang berpotensi menguap bersamaan dengan selesainya penyelenggaraan Sala Hatedu.

Memori-memori berserak tersebut adalah catatan rekam jejak perkembangan seni teater yang dapat menjadi bahan refleksi kritis bagi penggiat teater, bukan hanya yang berkesempatan hadir, namun juga generasi-generasi selanjutnya.

Living Archive

Stuart Hall (2001) dalam Constituting An Archive dan Luis Passareni (2014) melalui Living Archive: Continuity and Innovation in the Art of Memory menegaskan gagasan living archive dalam peristiwa seni. Stuart Hall menyatakan membuat arsip adalah momen penting yang perlu direnungkan secara hati-hati.

Itu terjadi pada saat kumpulan karya yang relatif acak, yang pergerakannya didorong dari satu produksi kreatif ke produksi berikutnya, berada pada titik menjadi sesuatu yang lebih teratur dan dipertimbangkan sebagai objek refleksi dan perdebatan.

Momen arsip mewakili akhir dari jenis proses kreatif tertentu dan awal dari tahap baru kesadaran diri serta refleksi diri dalam perkembangan artistik. Seluruh komponen sejarah—periode,  tokoh dan karya kunci, kecenderungan, pergeseran, jeda, dan perdebatan–masuk ke ruang tersebut.

Salah satu langkah  penting adalah menyatukan sejumlah tokoh kunci yang telah berkontribusi pada wujud karya dan bersedia membantu mengamankan, memelihara, dan memperluas syarat-syarat pengarsipan.

Nalar yang perlu dimiliki adalah bahwa ini seharusnya bukan koleksi yang tidak bergerak dari karya-karya mati, tetapi arsip hidup (living archive) yang konstruksinya harus dilihat sebagai upaya rekaman informasi yang sedang berjalan dan tidak pernah selesai.

Pemaknaan atas arsip hidup dapat dipahami melalui pemahaman atas dua kata yang membentuknya. Arsip adalah formasi diskursif karena bahan arsip terdiri atas heterogenitas topik dan teks, subjek dan tema. Hidup berarti hadir, sedang berlangsung, berlanjut, belum selesai, dan terbuka.

Menurut Passareni, living archive adalah ungkapan yang sering dan tersebar luas guna menunjukkan urgensi mengumpulkan memori dari generasi-generasi yang semakin menghilang dan disertai menghilangnya kekayaan pengetahuan yang dimiliki.

Arsip hidup adalah ruang untuk eksplorasi memori yang tak terucapkan. Arsip semacam itu ? akan melampaui tuntutan waktu dan sejarah untuk menjadi sebuah peristiwa dengan sendirinya. Arsip yang hidup adalah reinterpretasi dari institusi tradisional.

Alih-alih berisi interpretasi otoritatif sejarah melintasi kerangka waktu linier dalam batas-batas yang kokoh dan gamblang, arsip hidup adalah ruang konseptual untuk praktik terbuka, cair, dan bersama yang berupaya mendorong pembacaan reflektif atas  masa lalu, masa kini, maupun masa depan.

Dalam kerangka konseptual ini, memori dalam Sala Hatedu berfungsi sebagai salah satu bentuk arsip hidup. Sala Hatedu menyimpan arsip hidup yang memberikan kesempatan mengeksplorasi perkembangan seni teater dalam berinteraksi dengan konteks zaman serta kapasitas teater untuk hadir sebagai agen aktif dalam kehidupan sosial dan politik.

Sala Hatedu selayaknya tidak sebatas wadah presentasi gagasan dalam wujud karya yang dipergelarkan sebagai capaian artistik maupun respons atas realitas sosial politik, tetapi juga beroperasi sebagai partisipasi aktif dalam menciptakan simpanan pengetahuan dan memori alternatif.

Michael Foucault (History Apriori and Archive, 1969) dan Jacques Derrida (Archive Fever, 1995) menggambarkan pengumpulan catatan peristiwa sebagai pengarsipan adalah tindakan politik yang inheren karena pada dasarnya arsip merupakan rekaman sejarah dari perspektif tertentu.

Penyelenggara Sala Hatedu dapat mempertegas identitas masa lalu, representasi masa kini, dan proyeksi masa depan dari laku perkembangan teater. Gagasan kreatif, proses artistik, dialog kritis, dan apa pun yang tercipta dari penyelenggaraannya bukanlah sebatas kenangan dari masa lalu.



Inspirasi pengetahuan, dinamika interaksi sosial dalam berteater, dan sejumlah informasi penting lainnya tersimpan secara tekstual, visual, maupun imaterial. Informasi yang tidak mungkin hanya dibiarkan tersimpan pasif karena dapat menjadikannya menghilang bersamaan dengan pelakunya.

Kerugian Besar

Jika dibiarkan seperti itu, tentu menjadi kerugian besar bagi jagat teater maupun ilmu pengetahuan. Sala Hatedu sudah saatnya mengambil langkah melengkapi diri dengan perspektif arsip hidup dalam menjaga keberlanjutan memori lintas subjek serta kontribusi selanjutnya bagi pengembangan teater.

Segenap ide, proses kreatif, dialektika kreatif, dan interaksi antarsubjek memori disusun secara dinamis, terbuka, dan reflektif menjadi kegiatan mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menata memori yang berserak dalam narasi lisan, teks tertulis, dan wujud artistik.

Arsip hidup dalam Sala Hatedu selayaknya dipahami sebagai karya transmisi  untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menata dokumentasi catatan lapangan, buku harian etnografi (tentu saja intersubjektivitas sangat penting dalam asal-usulnya), dan juga  semua jenis sumber sekunder.

Dengan kata lain, diperlukan keberanian sehingga dapat menghadirkan memori dalam Sala Hatedu sebagai arsip hidup yang bisa menghidupkan catatan penyelenggara, peserta, seniman, kritikus seni, dan masyarakat sebagai sumber pengetahuan bagi generasi selanjutnya serta bahan refleksi kritis atas pengembangan seni teater di masa kini dan masa mendatang.

Informasi kreativitas dan memori kolektif dalam Sala Hatedu tentu saja bukan hanya milik para pihak yang terlibat atau menyaksikan secara langsung. Kekayaan pengetahuan dari memori kolektif harus bisa ditransformasikan kepada generasi berikutnya maupun masyarakat yang tidak ikut terlibat tanpa kehilangan teks dan konteks teaternya sehingga dapat memperluas persebaran rasa cinta atas teater.

Catatan dan rekaman proses kreatif yang disusun oleh para pelaku dapat menjadi sumber informasi autentik, akurat, dan terpercaya. Sudah saatnya kekayaan kreatif dari peristiwa Sala Hatedu tidak dibiarkan menghilang begitu saja bersamaan dengan meninggalnya para pelaku.

Pijar daya hidup seni pertunjukan harus tetap menyala dan menerangi jagat teater, meskipun para pelaku telah berganti. Memori yang disusun, disimpan, dan dipelihara sebagai arsip hidup dibutuhkan untuk menjembatani fase-fase perkembangan teater lintas zaman dan generasi. Selamat dan sukses Sala Hatedu #10.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Maret 2023. Penulis adalah Arsiparis Ahli Muda Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya