SOLOPOS.COM - Jafar Sodiq Assegaf (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa orang meyakini bahwa nama dapat memiliki pengaruh atau daya magis tertentu, sementara yang lain melihatnya sebagai sekadar label atau identitas.

Beberapa orang memberikan perhatian khusus dalam memilih nama anak mereka, mencari makna yang positif atau mengambil inspirasi dari nilai-nilai keluarga, agama, atau bahkan karakteristik yang diharapkan dimiliki oleh anak tersebut.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Sebuah nama juga dapat menjadi simbol dari warisan keluarga atau menandakan sesuatu yang penting dalam kehidupan orang tua. Ada juga orang yang menganggap bahwa arti nama hanya sebatas tradisi dan tidak memiliki pengaruh nyata dalam kehidupan seseorang.

Meskipun begitu, tidak dapat dimungkiri bahwa nama sering kali memiliki dampak sosial dan psikologis pada pemiliknya. Nama dapat membentuk persepsi orang terhadap seseorang dan terkadang nama juga dapat memengaruhi peluang dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan hubungan sosial.

Dalam tradisi masyarakat, nama untuk anak khususunya memiliki makna dan kepentingan yang mendalam. Sebagaimana kebanyakan budaya di dunia, pemberian nama bukan hanya sebagai identitas, tetapi juga membawa nilai-nilai, harapan, dan warisan budaya.

Masyarakat Jawa, misalnya, nama dalam bahasa Jawa sering kali memiliki makna mendalam dan penuh filosofi. Orang tua sering memilih nama yang mencerminkan harapan, nilai-nilai, atau keinginan untuk anak mereka.

Misalnya, nama dapat merujuk pada sifat positif, keberuntungan, atau kebijaksanaan. Pemberian nama anak dalam bahasa Jawa adalah bagian dari warisan budaya dan tradisi. Nama tersebut mungkin berasal dari kisah-kisah tradisional, mitologi, atau nilai-nilai kearifan lokal yang ingin diwariskan kepada generasi berikutnya.

Beberapa orang Jawa memilih nama anak yang memiliki kaitan dengan spiritualitas atau keyakinan agama tertentu. Nama dapat mencerminkan hubungan spiritual orang tua dengan Tuhan atau entitas spiritual lainnya.

Nama juga dapat dipilih sebagai tanda penghormatan kepada leluhur atau anggota keluarga tertentu. Ini menciptakan hubungan antargenerasi dan menunjukkan pentingnya ikatan keluarga.

Beberapa orang tua percaya bahwa nama anak dapat memengaruhi rasa kehormatan dan status sosial anak di masyarakat. Oleh karena itu, pemilihan nama dapat dipertimbangkan dengan cermat untuk mencerminkan kehormatan dan prestise.

Secara keseluruhan, pemberian nama anak dalam bahasa Jawa bukan hanya tentang memberikan identitas, tetapi juga merupakan cara untuk menghubungkan anak dengan akar budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai keluarga.

Ini menjadi bentuk warisan yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, memperkuat identitas keluarga dan budaya.

Meskipun pemberian nama dengan tradisi lokal memiliki makna mendalam yang terkait dengan akar budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai keluarga, tren globalisasi dan pengaruh budaya asing dapat membawa perubahan dalam sistem penamaan masyarakat di Jawa.

Seiring berjalannya waktu, terlihat ada kecenderungan penggunaan bahasa asing untuk nama diri yang semakin meningkat. Penggunaan bahasa asing dapat menjadi bentuk ekspresi individual yang mencerminkan perubahan dalam dinamika sosial dan budaya.

Beberapa orang mungkin melihat penggunaan nama asing sebagai cara untuk menyatukan elemen-elemen modern dan global dalam identitas mereka. Hal ini mencerminkan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat Jawa yang semakin terbuka terhadap pengaruh global.

Tren penggunaan bahasa asing untuk nama diri akan semakin meningkat dan akan menjadi tradisi baru yang mengubah sistem penamaan masyarakat di Jawa

Riset yang dilakukan Teguh Setiawan, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta, terhadap nama anak-anak yang lahir dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2020 di Jawa Tengah menunjukkan dari tahun ke tahun semakin banyak masyarakat Jawa yang lebih banyak menggunakan nama dari kosakata bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Kini hampir tidak pernah lagi ditemui nama anak di Jawa yang berasal dari kosakata bahasa Jawa, seperti Supardi, Tugimin, Basuki, Endang, dan Bambang. Yang lebih sering ditemukan adalah nama-nama bahasa Inggris, seperti Amanda, Farel, Felisha, Valery, dan Quincy, serta bahasa Arab, seperti Athar, Shezan, Syaqilla, Qiandra, dan Zabdan.

Tren ini secara tak sadar akan menggerus identitas asli bangsa. Lebih parah, bahkan mungkin saja tren ini bakal kembali memupuk mental inferior generasi selanjutnya. Bagaimanapun juga orang tua sebenarnya sedang mewariskan budaya kepada anak-anaknya.

Nama adalah simbol kebanggaan. Jepang dan Korea Selatan menjadi dua di antara banyak negara yang masyarakatnya masih menjunjung tinggi tradisi penamaan anak yang autentik.

Beberapa keluarga di Jepang mungkin memiliki tradisi mewariskan nama dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini menciptakan ikatan yang kuat dengan warisan keluarga.

Sedangkan di Korea Selatan, pentingnya bunyi dan arti nama sangat dihargai. Orang tua sering memperhatikan bagaimana nama terdengar dan apa makna di baliknya.

Penamaan anak dengan memegang teguh tradisi adalah cara untuk mengikis inferioritas. Perlu diingat bahwa tidak semua orang melihat tradisi sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi perasaan inferioritas.

Beberapa orang mungkin memilih untuk mengeksplorasi dan menggabungkan elemen-elemen modern dan tradisional dalam pemilihan nama atau dalam kehidupan sehari-hari mereka.



Perasaan inferior juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan sosial, pendidikan, dan faktor psikologis yang kompleks. Meski demikian, tradisi pemberian nama dalam bahasa Jawa tetap menjadi fondasi yang kuat untuk banyak keluarga karena memegang peran penting dalam mewariskan nilai-nilai dan sejarah keluarga.

Pergeseran dalam tren penamaan mungkin menciptakan bentuk warisan baru yang mencakup elemen-elemen global, menciptakan sebuah titik temu antara tradisi dan modernitas.

Khusus di Jawa, masyarakat mungkin mengalami dinamika yang kompleks antara mempertahankan tradisi dan mengadopsi elemen baru dari dunia luar.

Penggunaan bahasa asing dalam penamaan diri dapat menjadi simbol integrasi dengan dunia global, tetapi tetap ada upaya mempertahankan akar budaya yang kaya dan beragam. Inilah titik temu yang kompleks antara tradisi lama dan tren baru dalam sistem penamaan masyarakat di Jawa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya