SOLOPOS.COM - Didik Haryanto (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Artificial  intellegence (AI) atau kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer atau robot melakukan tugas yang biasanya dilakukan oleh manusia dengan kecerdasannya. Saat ini banyak sektor pekerjaan yang memanfaatkan AI.

Britannica menginformasikan AI adalah mesin yang dianggap serupa kecerdasan manusia. AI diterapkan di aplikasi umum seperti game, terjemahan bahasa, expert systems, hingga robotika. Ada konsekuensi mendukung AI atau tidak. Yang tidak, bisa mendapat stigma gagap teknologi atau gaptek, primitif, dan sebagainya.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Yang mendukung disebut modernis. Terlepas mendukung atau tidak, teknologi AI lebih advanced. AI sebagai manifestasi akal manusia menyusun budaya baru. Boleh berbesar hati dengan akal manusia  masih menempati puncak tertinggi rantai ekosistem makluk hidup, tapi perlu melihat juga hadirnya teknologi tidak lain semangat humanisme.

Tenaga mesin, benar, lebih meringankan manusia atau hewan. Yang menjadi masalah, populasi hewan dan manusia di dunia tidak sama. Ada negara kekurangan jumlah penduduk, maka hadirnya teknologi mendukung hajat hidup mereka. Lain dengan negara, seperti India, China, dan Indonesia dengan jumlah penduduk yang melimpah.

Ada rivalitas dalam sistem mata pencarian ketika teknologi digunakan menggantikan peran manusia. Paradoks rivalitas penduduk melimpah, mau diapakan, jika ada mesin AI adalah pertanyaan mendasar. Overgrowth population itu masalah klasik. Pemberdayaan bisa menjadi salah satu alternatif dalam fokus pendidikan nasional.

Konsep efisiensi program dapat dirancang secara nasional. Menjaring minat dan bakat dengan sistem jurusan. Pada era Orde Lama, jurusan difasilitasi di tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Banyak penduduk yang memiliki skill/kemahiran bisa berdaya dalam hal pemenuhan hajat hidup mereka.

Teknologi AI dapat menjadi pendukung dalam pendidikan. Skill dan teknologi AI dapat berjalan bersama. Pendidikan berkewajiban membekali siswa dengan pemahaman tentang teknologi secara menyeluruh. Peran teknologi AI sebagai sumber belajar baru.

Pendidikan nasional harus relevan dengan zaman atau compatible jika tidak ingin dibilang jalan di tempat. Teknologi bukan momok karena alasan overgrowth population. Teknologi AI menggunakan metode menggantikan peran manusia sampai hal detail. AI diyakini mampu menggantikan peran guru–sebagai pengajar.

Edyna Ratna N. dalam laporan di sebuah jurnal teknologi menjelaskan Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) berhasil membuat dosen AI. Ini diklaim sebagai yang pertama di Indonesia, bahkan di dunia. Diberi nama Alpha. Dirancang untuk menjalankan tugas pengajar. Ini bukti AI berperan di pendidikan, sekalipun robot pengajar.

Apakah ini ancaman bagi guru/pengajar? Tentu tidak. Ada keraguan? Pasti. Mesin tidak memiliki sense of human feel (perasaan manusia). Tidak sefleksibel manusia. Keraguan dalam pendidikan juga diperlukan. Sikap apatis, kritis, adalah bahan bakar pendidikan untuk inovasi. Bagi pendidikan, AI adalah capaian. Bukan sebaliknya, dianggap ancaman.

Pendidikan perlu meyakinkan dan mendukung bahwa teknologi AI adalah daya dukung. Perlu dikenalkan sejak sekolah dasar. Pendidikan wajib membangun budaya yang bervisi kemandirian sains dan teknologi. Negara proaktif, mendukung pusat-pusat penelitian yang berfokus pada teknologi, seperti AI.

Tidak hanya lembaga khusus atau setingkat universitas. Dari pendidikan dasar dirancang kurikulum berbasis riset dan teknologi. Inilah budaya yang perlu dikembangkan dan digagas secara nasional. Kurikulum dengan konsep riset dapat menjadi perhatian semua.

Eksistensi AI adalah revolusi teknologi dalam pendidikan. Tidak sebatas platform yang dikerjakan dengan ujung jari. Sistem algoritma dan database memungkinkan permintanan data, mengajukan pertanyaan, meminta saran, atau berbicara tentang topik apa pun dengan bahasa sehari-hari. dimungkinkan dapat diciptakan dalam bentuk visual/robotika manusia.

Kemudahan belajar bersama robot pengajar memberikan budaya baru, yaitu literasi lebih atraktif dan menarik. Sederhananya, AI dalam pendidikan adalah perpustakaan robotik. Sedangkan kehadiran pengajar (guru, dosen) dapat menjadi ruang dialektika yang diharapkan menemukan gagasan baru dari kemudahan akses literasi bersama AI. Adapun kekawatiran akan penyalahgunaan teknologi AI, peluang-peluang kejahatan dapat disimpan sebagai sikap evaluatif. Secara prinsip pendidikan mendukung inovasi teknologi AI.

Pendidikan perlu memperhatikan potensi kelemahan teknologi AI. Bukan tanpa alasan sikap apatis ini karena AI rawan disalahgunakan dan ada peluang kerawanan itu. Artinya kebocoran data pribadi dan peluang yang merugikan bisa dibobol, dalam sistem AI, harus menjadi perhatian.

Jangan sampai budaya teknologi berbasis AI menjadikan manusia dirugikan. Menjadi malas mengajar–bagi pengajar–atau bentuk pemanfaatan yang tidak produktif lainya. Wawasan sejarah teknologi tidaklah memberikan gambaran yang baik semata. Teknologi atom misalnya. Tragedi sains dan teknologi itu ada, yaitu bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Itu tercatat sebagai sejarah tragedi besar abad ke-20. Dalam hitungan jam, bukan lagi hari, ribuan manusia mati, jutaan orang terpapar radiasi, cacat seumur hidup. Teknologi apa pun, termasuk AI, harus memegang prinsip humanisme. Pendidikan berpusat pada kebudayaan berperi-kemnusiaan adalah nomor wahid selain terus melakukan inovasi yang memberikan manfaat bagi manusia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Juni 2023. Penulis adalah guru Seni Budaya di SMPN 9 Kota Solo, Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya