SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Bahasa daerah adalah corak identitas kemajemukan negeri ini. Seiring berjalannya waktu, penggunaan bahasa daerah atau bahasa ibu oleh masyarakat lokal dalam keseharian semakin berkurang.

Masyarakat umumnya lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang memang ditetapkan sebagai bahasa persatuan. Saya pribadi, meskipun masih sering berbahasa Jawa di lingkungan keluarga dan pertemanan, merasa penggunaan bahasa Indonesia lebih intensif.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Demikian juga anak-anak saya. Meskipun mereka saya ajari berbahasa Jawa dan juga diajarkan bahasa Jawa di sekolah, sehari-hari mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.

Berdasarkan penelitian untuk pemetaan bahasa oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi pada 1991-2019, tercatat bahasa daerah—tidak termasuk dialek dan subdialek—di Indonesia yang telah divalidasi sebanyak 718 bahasa dari 2.560 daerah pengamatan.

Dari ratusan bahasa daerah tersebut, setidaknya 13 telah punah atau tidak digunakan lagi. Hal itu terjadi pada 11 bahasa daerah di Maluku serta dua bahasa daerah di Papua. Kepunahan sebuah bahasa daerah utamanya karena pemilik bahasa atau nenek moyang tidak meneruskan bahasa daerah mereka kepada anak keturunan.

Sedangkan bahasa daerah yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Jawa yang digunakan sebagian besar masyarakat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Banten. Kemudian bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Musi, bahasa Bugis, bahasa Aceh, serta bahasa Bali.

Meski tampaknya sederhana, terdapat keuntungan menguasai bahasa daerah. Pertama, pengetahuan tentang bahasa daerah membuat kita lebih mudah memahami kondisi dan budaya suatu masyarakat. Bahasa daerah yang dijadikan bahasa pengantar pada pendidikan dasar akan memudahkan anak memahami pelajaran.

Kedua, menjalin keakraban dengan sesama. Bahasa daerah adalah kekayaan dan sudah sepatutnya kita pelajari di mana pun dan kapan pun untuk mempertahankan interaksi dengan orang lokal. Misalnya, orang Jawa yang merantau ke Maluku akan lebih gampang akrab dengan warga lokal bisa mampu berkomunikasi dengan bahasa daerah setempat.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Long Form Sensus Penduduk 2020 mendata 73,87% keluarga Indonesia masih menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi di tengah keluarga. Sedangkan di lingkungan kerabat atau tetangga, bahasa daerah hanya digunakan 71,93%.

Pada generasi Z dan generasi alfa, penggunaan bahasa daerah di keluarga terdata 61%—62%. Kekayaan ragam bahasa daerah di Indonesia merupakan aset yang sangat penting untuk dilestarikan.

Saat ini keberadaan bahasa daerah dibayangi ancaman kepunahan sehingga sangat penting untuk merawat. Salah satu cara adalah dengan lebih membiasakan diri menggunakan bahasa daerah dalam kegiatan sehari-hari.

Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan program revitalisasi bahasa daerah dengan prinsip dinamis, adaptif, regenerasi, dan merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasa.

Pada 2023 ini, revitalisasi dilakukan terhadap 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Revitalisasi menyasar komunitas penutur bahasa daerah, guru, kepala sekolah, pengawas, serta siswa di seluruh wilayah Indonesia.

Sedangkan untuk komunitas penutur, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi melibatkan secara intensif keluarga, para maestro, dan pegiat pelindungan bahasa dan sastra dalam penyusunan model pembelajaran bahasa daerah, pengayaan materi bahasa daerah dalam kurikulum, dan perumusan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan.

Fakta menunjukkan praktik pelestarian bahasa daerah tidak bisa menerapkan pola yang seragam. Kondisi 718 bahasa daerah di wilayah tutur sangat unik dari berbagai aspek. Oleh karena itu, konsep dan praktik pelestarian harus secara cermat dan tepat dengan mempertimbangkan keunikan-keunikan tersebut.

Penyeragaman hanya akan membuahkan kegagalan. Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengidentifikasi sejumlah alasan bahasa daerah punah. Salah satu alasan adalah kegagalan transmisi bahasa daerah dari orang tua kepada anak dan sikap negatif terhadap bahasa daerah yang dianggap kurang bergengsi, ketinggalan zaman, serta tak bernilai ekonomi.

BRIN juga menyoroti masifnya kontak bahasa karena media digital serta adanya dominasi dan subordinasi penggunaan bahasa, baik dalam skala nasional maupun regional, yang membawa bahasa daerah di ambang kepunahan.

Seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, para peneliti bahasa daerah telah menemukan begitu banyak penyebab kemunduran jumlah dan mutu penutur bahasa daerah, antara lain, sikap bahasa para penuturnya dan dampak globalisasi.

Sikap bahasa ternyata bisa berubah-ubah sejalan dengan pragmatisme para penutur bahasa, apalagi ketika mereka dihadapkan pada pilihan penggunaan bahasa dalam situasi multibahasa (multilingual) yang kompleks.

Pilihan pasti akan tertuju pada bahasa yang paling mudah dan dimengerti oleh lebih banyak mitra tutur saat berkomunikasi. Bagaimanapun, itu adalah sebuah pilihan yang sangat logis sehingga komunikasi yang terjadi pada akhirnya akan mengarah pada situasi komunikasi ekabahasa (monolingual).

Keadaan ini bisa berdampak pada terpinggirkannya bahasa daerah. Situasi seperti itu kini tengah terjadi, sejalan dengan berlangsungnya era globalisasi. Bahasa Jawa saat ini barangkali masih terbilang banyak digunakan oleh masyarakat di Soloraya dan sekitarnya.

Demikian juga di sekolah, anak-anak juga mempelajari, namun jika tidak dijaga baik-baik dan terus dibiasakan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, bukan tidak mungkin bahasa Jawa akan ditinggalkan oleh generasi mendatang.

Pada akhirnya, upaya melestarikan bahasa daerah harus menjadi kesadaran bersama yang kemudian diwujudkan dengan gerakan nyata baik oleh masyarakat penutur maupun pemerintah.

Bagaimanapun, pelestarian identitas bangsa ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilakukan bersama-sama dengan gerak langkah yang sama. Menanamkan kembali rasa kebanggaan menggunakan bahasa daerah—di samping tetap menggunakan bahasa Indonesia serta mempelajari bahasa asing—di kalangan generasi muda bisa dimulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga.



Selain itu, benteng terakhir pelestarian bahasa daerah juga ada di lingkungan pendidikan lewat pengajaran para guru.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya