SOLOPOS.COM - Umu Hana Amini (solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Di  tangan pemilik modal, bahasa Indonesia remuk redam. Tajuk-tajuk berita atau unggahan sifatnya tidak sekadar menarik, tetapi bahkan menggeret masyarakat pembaca/penikmat ”karya”.

Mereka yang terlena sukarela menceburkan diri dalam kubangan informasi hiburan ala kadarnya. Clickbait atau umpan klik atau apa pun sebutannya mengantarkan bahasa Indonesia pada titik nadir.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Ketika menengok isi, sejenak kita takjub pada kemampuan ”buruh aksara” atau disebut secara keren sebagai kreator konten yang hampir selalu punya akal merombak struktur kalimat agar tidak terindikasi plagiarisme.

Tulisan tidak bernilai tulisan hari ini. Lebih akrab dan tepat kita menyebutnya konten. Media memang sebagai wadah, namun saat ini diserupakan seperti tandon yang menampung segala rupa konten—yang tidak jarang menihilkan substansi serta niredukasi—sehingga memperoleh pundi-pundi rupiah dari iklan.

Kita teringat bagaimana kapitalisme menjadikan dunia saat ini banjir produk dalam rangka pemenuhan kebutuhan sekaligus keinginan. Tersebut-sebutlah era kapitalisme pasca-Fordis, masa ketika produk yang dihasilkan tidak lagi produk fisik, tetapi bersifat imaterial.

Bahasa memegang peranan penting untuk keperluan memasarkan produk. Inilah masa ketika iklan semakin dibutuhkan. Media semula jadi wadah, lalu menjadi ladang iklan yang hanya sekian persen mengandung sebenar-benar isi. Ini terjadi pada media digital.

Kita turut merasakannya. Betapa menjengkelkan, untuk membaca saja mesti harus klik berkali-kali dan menghadapi kolom-kolom tidak penting, tidak menarik. Tanda silang di sisi sini dan situ. Kita harus dengan sangat sabar menghadapinya. Sungguh tabah pembaca media daring saat ini.

Jika tidak salah ingat, media cetak memiliki aturan batas maksimal penampungan iklan. Hari ini kita dibuat (harus) berlapang dada menghadapi layar gawai. Banjir informasi diiringi dengan banjir iklan. Demikianlah, bagaimana bahasa Indonesia mengambil peran.

Bahasa Indonesia mengalami penyesuaian agar dapat dijangkau mesin pencarian. ”Buruh aksara” berbondong-bondong menulis dan menyesuaikan kata kunci agar tulisan mudah ditemukan. Dengan begitu, pembaca akan digiring menuju konten yang dicari.

Di situ mereka berhadapan dengan iklan. Mereka menjadi konsumen iklan, bukan lagi konsumen konten, apalagi informasi. Pendangkalan tidak terelakkan. Selama itu viral dan mudah diterima, menjangkau masyarakat supersibuk dan serbainstan, konten berbahasa Indonesia yang ”demikian-demikian”-lah yang tersedia.

Dalam salah satu nasihat berbasis budaya Jawa, jelas kita diimbau untuk aja gumunan, aja kagetan. Kini judul-judul berita mengisyaratkan manusia mudah sekali kaget. Misalnya, Inilah Daftar 5 Menteri Terkaya di RI, Nomor 7 Bikin Kaget!

Kekagetan menjadi hal yang biasa, bahkan konon katanya pemimpin kita hari ini juga sering kaget. Hal satu ini dibahas lain waktu. Jika menyoal kosakata, memang perkembangannya relatif cepat. Tiba-tiba muncul baru, entah itu padanan atau serapan bahasa asing, istilah-istilah dalam media sosial, atau apa pun.

Tiba-tiba ada kabar pembakuan. Bahasa Indonesia memang semakin kaya, namun bukan bahasa Indonesia yang demikian yang dibahas di sini. Faruk dalam Perlawanan Tak Kunjung Usai (1995) mengungkapkan bahasa membuat kita bisa berbicara apa saja. Tidak terkecuali berbohong.

”Penguasaan bahasa dan sastra sangat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya terpenting manusia, yaitu daya bohong dan daya main,” kata dia. Selama ini kita paham betul bahwa iklan memang sifatnya persuasif, mengajak orang.

Iklan marak setelah terciptanya pasar dan menjadi ”penyebab” terjadinya jual-beli. Iklan tentu dapat ”mempertemukan” penjual dan pembeli. Di sinilah bahasa Indonesia memiliki daya pikat, menarik orang untuk membeli dan terus membeli, menggunakan ini dan itu.

Dengan sentuhan estetika dan proses utak-atik yang tidak mesti dilakukan ahli bahasa mampu membangkitkan hasrat konsumerisme dalam diri masyarakat. Setelah tergunakan dalam promosi-promosi produk yang tidak sedikit mengandung tipu daya dalam kemasan ajakan, kini bahasa telah bertransformasi dalam bentuk lain.

Bahasa Indonesia masih lekat dengan iklan, hanya saja dengan bungkus media, seperti yang telah terbahas. Di tangan pemilik modal, bahasa Indonesia cuma menjadi pemenuh ruang. Bahasa Indonesia tidak lain menjadi umpan agar masyarakat tergiring menikmati gempuran iklan yang bertubi-tubi dalam satu laman sekali pencarian. Ternyata cobaan hidup masyarakat 4.0 beginilah rupanya.

Pemilik modal memiliki kuasa dan daya. Kita dapat mengamininya dengan melihat kembali yang terjadi jauh sebelum sekarang. Kaum pedagang pra-kemerdekaan, masyarakat peranakan, menerbitkan buku dan koran dalam bahasa Melayu pasar. Ini mereka lakukan sebagai penghiburan sekaligus bisnis.

Banyak warga masyarakat gandrung sebagai pembaca saat itu. Geliat penerbitan, surat kabar, berikut kesastraan meningkat, namun oleh kaum intelektual hal ini dianggap meresahkan karena persoalan bahasa yang digunakan. Karya-karya terbitan pada saat itu seolah-olah menjadikan bahasa Melayu sebagai hiburan dan menyoal asmara belaka.

Dikhawatirkan masyarakat akan meninggalkan bahasa Indonesia sebab lebih dekat dengan bahasa Melayu Peranakan. Melihat posisi bahasa Indonesia hari ini, wajar jika kita merasa pesimistis. Bahasa Indonesia sempat dimaksudkan menjadi bahasa pendidikan. Martabatnya sedikit terangkat, meski perlahan-lahan tersingkir oleh bahasa Inggris.

Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, tetapi jika menengok fenomena-fenomena yang diakibatkan hoaks di media yang tersebar dalam bahasa Indonesia, layu sudah harapan kita. Jadi bahasa dagang, barangkali itu sebuah keniscayaan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Maret 2023. Penulis adalah alumnus Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya