SOLOPOS.COM - Yulianna Cahya Nuraini (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Suatu ketika seorang anak berusia tujuh tahun datang ke poliklinik pediatri di rumah sakit tempat saya bekerja dengan gejala sesak napas yang berulang, terutama saat ia bermain dengan teman-temannya.

Ibunya menyuruh untuk beristirahat dan tidak mengizinkan bermain dengan teman-temannya lagi, tetapi hal itu terus terjadi. Perutnya membuncit dan jari-jarinya membengkak, kami sebut sebagai clubbing finger.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Beberapa bulan sebelumnya diagnosis telah dibuat. Anak ini bertahan hidup dengan gagal jantung yang disebabkan regurgitasi beberapa katup jantung, penyakit jantung rematik, dan defek septum ventrikel yang membuat jantungnya bengkak. Dokter  menyebut sebagai kardiomegali dari proyeksi rontgen thorax.

Salah satu pengobatan definitif untuk anak-anak dengan penyakit jantung bawaan adalah intervensi jantung. Sepertinya sulit bagi anak  tersebut dan keluarganya yang berasal dari Halmahera Selatan itu untuk mendapatkan perawatan tersebut di  Sulawesi atau Jawa.

Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut. Anak itu mungkin bukan satu-satunya anak yang mengidap penyakit jantung bawaan. Anak ini dapat menunjukkan kepada kita tentang kompleksitas masalah di daerah pedalaman dan ketidaksetaraan layanan kesehatan jantung di daerah pedalaman.

Tercatat lebih dari 29 anak yang mengidap penyakit jantung bawaan di Halmahera Selatan dalam lima tahun terakhir dan sebagian besar dari mereka tidak tertangani dengan baik. Penyakit jantung bawaan menjadi penyebab kematian paling umum pada tahun pertama kehidupan anak.

Prevalensi penyakit jantung bawaan di Indonesia mencapai delapan per 1.000 kelahiran. Penyebab penyakit jantung bawaan sebagian besar kelainan genetik atau kelainan dalam kandungan seperti infeksi rubela selama kehamilan, radiasi, atau toksin. Hampir 90% penyakit ini tidak diketahui penyebabnya.

Penyakit jantung bawaan sangat merugikan anak-anak karena dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan. Beberapa kasus menunjukkan tanda dan gejala sejak masa kanak-kanak, tetapi ada juga yang tidak menunjukkan gejala hingga dewasa, yang dapat menyebabkan gagal jantung dini dan kematian.

Masa kanak-kanak yang diisi dengan bermain dan mengeksplorasi banyak hal terkadang tidak optimal karena aktivitas fisik yang terbatas akibat ketidakmampuan jantung bekerja lebih banyak saat melakukan aktivitas tersebut.

Berdasarkan penelitian sederhana yang saya lakukan di Halmahera Selatan, sebagian besar dari anak-anak ini mengidap ventricular septal defect (VSD) dengan tingkat komplikasi gagal tumbuh dan infeksi paru-paru masing-masing sebanyak 14,8% dan 37%. Sebagian besar dari mereka (74%) menggunakan jaminan kesehatan daerah (jamkesda).

Penyakit ini menyebabkan gagal jantung sebanyak 62,9% dan angka kematian 13,3%. Di kota yang lebih besar seperti Yogyakarta, angka kejadian akibat penyakit jantung adalah 134 per 10.000 penduduk.

Di Surabaya, angka kematian mencapai 13,44% dengan angka kematian tertinggi pada anak yang mengalami malanutrisi mencapai 72%. Salah satu masalah yang mendasari adalah tidak tersedia dokter spesialis jantung di daerah tersebut pada saat itu.

Pelayanan kesehatan jantung yang belum optimal di daerah tersebut membuat diagnosis menjadi tidak akurat karena tidak ada yang dapat melakukan pemeriksaan standar menggunakan ekokardiografi.

Hanya untuk melakukan pemeriksaan, keluarga harus membawa anak mereka ke kota atau pulau lain yang memiliki fasilitas yang lebih baik seperti computed tomography (CT), ekokardiografi, magnetic resonance imaging (MRI), dan dokter spesialis jantung.

Begitu sulit bagi masyarakat daerah perdesaan untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak. Kesenjangan pengetahuan antara keluarga dan penyedia layanan kesehatan membuat penanganan pasien menjadi kurang optimal. Masih banyak keluarga yang memegang teguh tradisi atau budaya.

Keluarga pasien tidak mampu melakukan rujukan secara mandiri karena keterbatasan ekonomi. Selain itu, jaminan kesehatan daerah (jamkesda) tidak dapat memberikan jaminan yang komprehensif jika pasien dirujuk ke luar daerah.

Selain masalah promosi yang kurang atau proses administrasi yang dianggap terlalu rumit bagi masyarakat terpencil, faktor budaya juga memengaruhi tingkat keikutsertaan masyarakat dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang dapat digunakan di mana pun pasien menjalani perawatan medis.

Di Nusa Tenggara Tenggara Timur, misalnya, bayi yang baru lahir tidak dapat didaftarkan sebagai anggota BPJS Kesehatan karena tidak memiliki akta kelahiran akibat praktik kehamilan di luar nikah dan karena untuk menyelenggarakan pernikahan secara adat membutuhkan dana dan seserahan yang cukup mahal.

Hambatan utama lainnya adalah faktor geografis. Untuk merujuk keluarga mereka ke kota yang lebih besar dengan fasilitas kesehatan yang lebih baik, mereka harus melakukan perjalanan jauh dari rumah mereka, berlayar dengan kapal selama berhari-hari, dan terbang dengan pesawat selama berjam-jam.

Tentu saja ini bukan keputusan yang mudah bagi keluarga mereka. Dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi mereka untuk membuat keputusan rujukan ke luar kota. Kebijakan yang lebih baik mengenai pemerataan distribusi dokter spesialis jantung dan bedah toraks-kardiovaskular untuk fasilitas layanan kardiovaskular di rumah sakit daerah harus diprioritaskan.

Hal ini dapat dilakukan lewat kolaborasi dengan institusi pendidikan dan memberikan insentif yang sesuai untuk sumber daya manusia. Meskipun jaminan kesehatan nasional (BPJS Kesehatan) telah dikenal selama beberapa tahun, cakupannya masih kurang dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah terpencil.

Dalam penelitian saya sebelumnya, 74% pasien menggunakan jamkesda dan hanya 26% sisanya yang menggunakan BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, promosi dan perekrutan anggota harus dilakukan dengan lebih agresif.

Inovasi pada masa depan yang akan memfasilitasi jaringan perawatan jantung di Indonesia adalah membuat proses rujukan dan konsultasi menjadi lebih terstruktur dan efisien. Tentu hal ini membutuhkan peran para pemangku kepentingan terkait seperti institusi pendidikan kedokteran, pemerintah, pemegang kebijakan, institusi pelayanan kesehatan, tokoh masyarakat, dan pakar teknologi informasi.

Perlu mendorong peningkatan kesadaran di kalangan orang tua dan masyarakat karena sulit mencapai deteksi yang efektif untuk penyakit jantung bawaan. Banyak langkah pencegahan yang dipertimbangkan untuk perempuana hamil dan keluarga.



Hal ini termasuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur, menghindari asap rokok dan obat-obatan tertentu yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, menghindari radiasi X-Ray, dan melakukan skrining terhadap faktor risiko seperti diabetes melitus, genetika, penyakit jantung, dan lain-lain.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Maret 2024. Penulis adalah dokter umum alumnus Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya