SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — “Saya bukan orang luar yang membela Indonesia. Saya orang Indonesia yang pulang untuk membela negara leluhur saya.” Kurang lebih demikianlah pernyataan Jay Idzes.

Ia pesepak bola keturunan yang berperan penting dalam dua kali kemenangan tim nasional sepak bola Indonesia atas Vietnam pada kualifikasi Piala Dunia 2026 beberapa hari lalu.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Pernyataan Bang Jay, julukan suporter tim nasional untuk Jay Idzes, itu diunggah ulang berbagai akun sehingga menyebar ke berbagai platform media sosial.

Pemain klub Serie B Italia, Venezia FC, itu ingin meluruskan kontroversi soal banyak pemain keturunan yang membela tim nasional sepak bola Indonesia beberapa waktu terakhir.

Sejumlah suporter negara tetangga menyindir dengan menyebut tim nasional Indonesia sebagai tim nasional Hindia Belanda karena banyak pemain keturunan Indonesia-Belanda di dalam tim.

Mereka adalah Jay Idzes, Jordi Amat (JDT/Malaysia), Sandy Walsh (KV Mechelen/Belgia), Elkan Baggott (Bristol Rovers FC/Inggris), Shayne Pattynama (KAS Eupen/Norwegia), Ivar Jenner (FC Utrecht/Belanda), Justin Hubner (Cerezo Osaka/Jepang), Rafael Struick (ADO Den Haag/Belanda), serta tiga muka baru yakni Thom Haye (SC Heerenveen/Belanda), Nathan Tjoe Aon (SC Heerenveen), dan Ragnar Oratmangoen (Fortuna Sittard/Belanda).

Kehadiran 10 pemain keturunan itu secara instan menaikkan permainan tim nasional sepak bola Indonesia. Pertahanan yang menjadi titik lemah menjelma menjadi benteng kukuh, susah ditembus lawan. Dalam tiga kali pertemuan terakhir, Vietnam kesulitan merangsek hingga kotak penalti untuk melepaskan tembakan ke gawang.

Gawang Indonesia yang dijaga Ernando Ari Sutaryadi (Persebaya) dan M. Adi Satrio (PSIS) tak pernah kebobolan dalam tiga laga kontra Vietnam. Justru gawang Vietnam yang berulang kali dibobol, hingga lima kali.

Selain Irak yang sudah dipastikan lolos ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026, Indonesia menjadi negara yang berpeluang paling besar menyusul di Grup F.

Menyisakan dua laga kontra Irak dan Filipina pada Juni 2024 mendatang, Tim Garuda hanya butuh satu kali kemenangan untuk menyegel tiket ke babak selanjutnya. Perolehan poin Tim Garuda tak bisa disalip Vietnam yang menjadi momok menakutkan sejak 2016.

Pemain keturunan menjadi pembicaraan tak berkesudahan hingga hari ini. Sejumlah kalangan mengkritik naturalisasi yang dilakukan PSSI dalam beberapa waktu terakhir. Kritik datang dari mantan pelatih tim nasional U-16 Fahcri Husaini, pengamat sepak bola Tommy Welly (Towel), dan  mantan striker tim nasional Anjas Asmara.

Dukungan terhadap PSSI dan para pemain keturunan relatif lebih banyak. Di media sosial, Towel seolah-olah menjadi musuh bersama pencinta sepak bola Indonesia lantaran komentarrnya susah dicerna nalar karena cenderung sekadar nyinyir dibandingkan memberi kritik.

Para pengkritik pemain keturunan menilai kehadiran pesepak dari Liga Eropa itu bakal mematikan potensi liga lokal  yang dibesut PSSI melalui PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Jangan memuji pemain naturalisasi secara berlebihan karena secara tidak langsung menyakiti hati pemain-pemain lokal. Begitu kata Fachri Husaini beberapa waktu lalu yang kemudian viral di media sosial.

Pengamat sepak bola Justinus Lhaksana menilai yang dilakukan PSSI dengan menaturalisasi pemain keturunan bersifat instan untuk mendongkrak prestasi tim nasional, namun itu menjadi satu-satunya pilihan saat ini karena kualitas Liga 1 jauh dari standar Asia.

Menunggu kualitas liga domestik membaik membutuhkan waktu sangat lama. Kualitas pemain kita di Liga 1 bapuk. Begitulah kita. Selalu ada perdebatan, bahkan untuk tujuan yang sama.

Jika perdebatan itu dalam konteks mengadu ide tentu masih normal. Berbeda bukan masalah. Berbeda justru untuk saling menyempurnakan.

Ketika perdebatan menjadi hujatan, apalagi yang sifatnya pribadi, jelas tidak bisa dibenarkan. Sepak bola harus menjadi hiburan. Skuad Tim Garuda di bawah asuhan pelatih Shin Tae-yong saat ini sudah menjadi hiburan yang mengasyikkan bagi jutaan penggila sepak bola di negeri ini.

Puluhan ribu penonton akan memenuhi stadion saat Tim Garuda bertanding, baik di ajang resmi maupun sekadar laga persahabatan. Belum lagi jutaan orang yang menyaksikan lewat layar televisi.

Jay Idzes jelas layak membela Indonesia, negara leluhurnya. Jay Idzes memiliki garis keturunan Indonesia dari sang kakek yang berasal dari Kota Semarang, Jawa Tengah.

“Jay Idzes memiliki faktor keturunan Indonesia dari kakek, tepatnya ayah dari ibunya yang lahir di Kota Semarang pada 16 November 1939,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo di hadapan Komisi X DPR beberapa waktu lalu.

Sembilan pemain naturalisasi lainnya juga memiliki darah Indonesia dari kakek atau nenek mereka. Sisilah Shayne Pattynama lebih dekat lagi karena ayahnya lahir dan besar di Kota Semarang kendati kemudian pindah ke Norwegia hingga meninggal dunia.

Di antara 11 pemain naturalisasi hanya Marc Klok yang tidak memiliki darah Indonesia. Ia dinaturalisasi karena sudah lima tahun merumput di Indonesia, syarat minimal yang ditetapkan undang-undang untuk seseorang yang ingin menjadi WNI.

Siapapun yang memiliki darah Indonesia layak membela Merah Putih. Begitulah logika yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Berdasarkan undang-undang tersebut, naturalisasi adalah adalah tata cara atau prosedur bagi orang asing (WNA) untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui proses permohonan.

Naturalisasi bisa melalui sejumlah cara.  Naturalisasi adalah proses legal untuk dijalani oleh siapa pun. Artinya sebelas pemain naturalisasi yang kini berada di Skuad Garuda sah untuk membela Indonesia.

Sepak Bola Modern

Pada era sepak bola modern nyaris tidak ada negara yang sepak bolanya maju yang tidak menggunakan jasa pemain naturalisasi. Negara-negara langganan Piala Dunia seperti Prancis, Jerman, Maroko, Senegal, Swiss, dan Belanda sejak lama memakai pemain naturalisasi, utamanya dari garis keturunan, dalam skuad mereka.

Saat mencapai semifinal Piala Dunia 2022, skuad Maroko berisi 60% pemain naturalisasi dan sisanya dari liga lokal. Prancis sejak lama menggunakan pemain naturalisasi.

Ketika menjuarai Piala Dunia 1998, skuad Prancis diisi sejumlah pemain keturunan seperti Zinedine Zidane, David Trezeguet, dan Youri Djorkaeff.

Dua pemain depan tim nasional Jerman ketika menjuarai Piala Dunia 2014 adalah pemain naturalisasi, yakni Miroslav Klose dan Lukas Podolski. Keduanya lahir dan besar di Polandia.

Tim Panser juga memiliki pemain elegan i Mesut Ozil yang berdarah Turki, Samehadkau berdarah Tunisia, dan Jerome Boateng berdarah Ghana. Para pemain tersebut bersama-sama membela Jerman setidaknya dari tahun 2010 hingga 2018.

Negara yang selalu menggunakan jasa pemain naturalisasi adalah Senegal. Sama seperti Indonesia saat ini, Senegal mempunyai komposisi 40% pemain naturalisasi dan 60% pemain asli negara langganan Piala Dunia itu.

Yang paling diingat publik adalah Diego Costa, pemain tim nasional Spanyol. Costa sempat memperkuat tim nasional Brazil dalam dua pertandingan persahabatan melawan Italia dan Rusia sebelum akhirnya dinaturalisasi oleh Spanyol.



Costa bukan olahragawan pertama yang dinaturalisasi Spanyol. Sebelumnya ada sembilan orang yang lebih dulu menjadi warga Spanyol, salah satunya Ferenc Puskas. Puskas yang lahir di Budapest, Hungaria, dinaturalisasi tim nasional Spanyol saat berusia 34 tahun.

Menggugat Indonesia karena menaturalisasi pemain-pemain keturunan adalah tindakan mundur puluhan tahun ke belakang. Inti dari sepak bola adalah hiburan atau entertainment.

Ketika sepak bola tidak lagi menghibur, buat apa ditonton. Alasan utama sepak bola menjadi olahraga terpopuler di dunia adalah karena mampu menghibur jutaan orang, bahkan miliaran orang.

Lalu muncul pendapat bahwa para pemain naturalisasi yang main di Eropa akan mematikan potensi lokal Indonesia yang bermain di liga domestik. Percuma capai-capai berlatih tapi tidak bisa bermain di tim nasional Indonesia. Begitulah kira-kira alasan mereka yang nyinyir.

Jika punya kualitas masak tak bisa masuk tim nasional? Buktinya banyak potensi lokal yang menghuni tim nasional, seperti Ramadhan Sananta, Hokky Caraka, Asnawi Mangkualam, Marselino Ferdinan, dan lain-lain.

Intinya, para pemain di liga domestik harus meningkatkan kemampuan mereka agar bisa bersaing sehat ke tim naisonal Indonesia. Persaingan sehat yang membuat sepak bola Indonesia bisa bersaing di Asia, bahkan dunia.

Memakai jasa pemain naturalisasi setidaknya mampu meningkatkan level permainan tim nasional dalam waktu cepat, menggairahkan kembali kecintaan warga negara kepada tim nasional.

Selebihnya menjadi pekerjaan rumah bagi PSSI untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di sepak bola nasional. Pembinaan usia dini melalui kompetisi yang sehat dan berkelanjutan, membenahi perwasitan, memberantas mafia sepak bola, dan bekerja sama dengan stakeholders terkait sehingga sepak bola benar-benar bisa menjadi industri dan bisnis.

Meminjam slogan mantan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo bali ndesa mbangun ndesa, para pemain keturunan ini sedang bali negara mbangun Indonesia. Demi Merah Putih.



(Versi lebih singkat ssai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya