SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ketika  Thomas Jefferson mengatakan I cannot live without books, saya tak begitu kaget. Secara tersirat, menurut pembacaan saya, penulis The Declaration of Independence Amerika Serikat itu ingin menunjukkan bahwa negaranya telah memiliki budaya membaca yang bagus.

Saya justru tergetar oleh ucapan Bung Hatta yang mengatakan,”Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas.” Langsung saya bayangkan Bung Hatta dalam pembuangan pada zaman kolonial Belanda selalu membawa berkoper-koper bukunya.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Buku yang menjadikan Bung Hatta cendekiawan dan kemudian meletakkan dasar-dasar koperasi dan akhirnya menabalkan dirinya menjadi Bapak Koperasi Indonesia. Itu adalah juga buku yang menjadi sumber pemikiran dan kearifannya sehingga terpilih sebagai proklamator kemerdekaan Republik Indonesia bersama Soekarno yang sama-sama pencinta buku.

Tanpa buku kita tak pernah tahu betapa getir dan mengenaskan kisah hidup sehari-hari Anne Frank di tempat persembunyian sekeluarga di loteng sebuah rumah di Jerman sejak 4 Juli 1942. Mereka menghindari kejaran Nazi terhadap orang-orang Yahudi.

Kisah Anne Frank diterbitkan menjadi buku pada 1947 lalu mendunia setelah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa. Menjadikan Anne Frank sebagai salah satu dari 100 tokoh dunia pilihan majalah Time.

Lewat buku hariannya, Anne Frank–sebagai The Diarist–membelalakkan mata banyak bangsa mengenai sisi kelam kemanusiaan yang mokal dicari landasannya kecuali keserakahan dan nafsu atas kekuasaan yang ngeggilani bin nggegirisi.

Generasi saya, apalagi di bawah saya, tak mungkin mengetahui kisah Soekarno di pengujung hidupnya seandainya tak ada buku Sukarno: A Political Biography (London: Penguin Press, 1972) garapan John D. Legge. Tak tahu betapa gagahnya Soekarno meski harus melawan kekuatan yang jauh melampaui kekuatannya sendiri.

Soekarno setidaknya yang tergambarkan dalam buku itu sebagaimana tokoh Sumantri dalam Serat Tripama gubahan Mangkunagoro IV. Dia kalah, namun tetap gagah. Dia terlumpuhkan, namun menyimpan kemenangan. Toh sejatinya tak ada ”hitam-putih” di jagat politik.

Kekalahan yang (bisa saja) menyembunyikan kemenangan. Jean-Paul Sartre mengatakan elle est a la fois reussite et echec. Sebagaimana tokoh di belahan bumi manapun, betapa pun hebatnya tetap memiliki sisi gelap (l’ombre).

Buku memang benda tak bernyawa, tetapi di dalamnya tersimpan kehidupan. Sebuah daya hidup yang mampu membangkitkan jiwa yang patah, kekalahan, keterpurukan, barangkali juga kesialan.

Buku memiliki kesanggupan yang istimewa untuk mendongkrak peradaban manusia dari tingkat yang rendah ke tingkat tinggi dan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Buku mengenalkan berbagai pandangan hidup sekaligus sebagai sumber gagasan serta wawasan baru (novel ideas and insights) dari zaman ke zaman.

Dari buku kita tahu pernah terjadi tirani kekuasaan yang mampu memberangus masyarakat sehingga bungkam dan menggigil dalam ketakutan. Tentang ketidakadilan yang terus berlangsung, meruyak hingga ke jalanan kusam, menyesakkan dada.

Membaca buku, karena itu, berarti menemukan sarana ampuh untuk membolak-balik waktu, menjelajahi masa lampau melesat ke masa kini, hingga menemukan jawaban atas suatu persoalan secara personal maupun sosial.

Produksi Buku

Buku juga menawarkan keindahan sebagaimana ditulis Ben Okri, penulis Afrika yang cemerlang, dalam karyanya The Way of Being Free. Keindahan yang bisa dinikmati dalam kisah Ramayana abad ke-9, Arjunawiwaha abad ke-11. Juga puisi epik Bugis I La Galigo, terdiri dari 300.000 larik sajak, yang ditulis pada awal abad ke-14.

Esai karya Ichwan Prasetyo di Solopos edisi 27 Maret 2023 bertajuk Cinta Buku cukup menggugah, namun sekaligus menyesakkan. Benar ada sanjungan atas keberhasilan Kabupaten Boyolali di jagat literasi, namun jika kita tarik dalam ruang yang lebih makro yang muncul adalah sebuah noktah kecil di tengah samudra luas.

Kesuksesan program Boyolali Kaya Cerita 2022 yang sudah menghasilkan 22 judul buku, dilanjutkan 2023 menghasilkan 39 judul buku, jadi jumlahnya mencapai 61 judul buku, tak terbantahkan. Tak perlu dibantah. Tapi, Jawa Tengah punya 35 kabupaten/kota. Se-Indonesia?

Produktivitas buku bisa dipacu, namun tak serta-merta paralel dengan minat membaca. Jika membaca data UNESCO tentang minat membaca masyarakat Indonesia yang hanya 0,001% (yang artinya dari 1.000 orang Indonesia cuma ada satu orang yang rajin membaca), artinya kita ini adalah bangsa yang tunabaca.

Produksi buku adalah satu hal, tapi membaca buku adalah hal lain, meskipun ditemukan interseksinya. Bisa saja setiap desa digelontor ribuan buku setiap tahun, tapi jika masyarakatnya ogah-ogahan membaca ya bakal muspra (sia-sia).

Mohon hamba dimaafkan. Hamba tidak terlalu percaya pada perubahan teknologi, dari format cetak ke format digital. Sampai hari ini saya tak melihat seorang pun yang membaca buku silat karya Kho Ping Hoo dan S.H. Mintardja yang berjilid-jilid itu lewat gadget.

Jika ada pendapat meninggalkan Mbok Tuwa (istri tua) bernama media cetak demi merangkul marunya (madu) Mbok Enom (istri muda) bernama cyberspace kiranya masih perlu dipertanyakan panjang kali lebar (sama dengan luas).

Sudah berapa banyak media cetak, entah itu koran atau majalah atau tabloid, yang berpamitan dari format cetak ke format digital–saya tak perlu menyebutkan nama-namanya–dengan iming-iming atau harapan akan menjangkau segmen pembaca yang lebih luas. Nyatanya? Yang menjawab malah grup komedi Warkop DKI: Sama Juga Bohong.

Dahulu, pada zaman Bung Karno, ada program pemerintah bernama pemberantasan buta huruf. Artinya, masyarakat Indonesia rata-rata tak membaca karena buta huruf. Sekarang? Sama saja, masyarakat Indonesia juga tak membaca walaupun sudah melek huruf.

Kita pantas ngiri dengan bangsa Eropa yang sampai hari ini masih terus membaca buku. Baik yang versi cetak maupun digital. Saya tertegun saat menginap di N.H. Hotels, Utrecht, Belanda. Di meja kecil sebelah tempat tidur tersedia buku kecil berjudul Bedside Stories yang bisa saya baca-baca sambil tiduran.

Buku itu boleh saya bawa pulang ke Indonesia. Hebatnya, buku itu produksi hotel itu sendiri. Kenapa di Indonesia tak ada satu pun hotel yang menerbitkan buku bacaan gratis untuk setiap pengunjungnya? Dalam perjalanan kereta api Utrecht–Paris tampak banyak orang membaca buku (bukannya tidur seperti di Indonesia).



Bangsa Indonesia sekarang sudah memiliki peradaban yang tinggi. Memiliki derajat pendidikan yang jauh lebih baik ketimbang zaman kolonial. Dahulu, saat Belanda masih menjajah Indonesia bisa pamer hongerig lezen (lapar baca) sedangkan bangsa kita lapar beneran.

Kini bacaan melimpah ruah, ribuan buku tiap hari terbit, toh tidak kunjung menaikkan indeks minat membaca. Kapan kita menjadi bangsa yang memiliki semboyan reading is habit? Kakek saya (almarhum) yang medewerker (pegawai) zaman Belanda dan juga mengalami hongerig lezen pernah mengatakan jangan harapkan kegemaran membaca pada orang-orang yang sangat sibuk (totaly and extremely busy) atau sok sibuk.

Itu sama dengan menunggu-nunggu datangnya kereta api di sebuah stasiun, padahal relnya tidak ada. Ya, enggak mungkin kereta api datang. Kecuali dibangun terlebih dahulu relnya. Tahu kan maknanya? Itulah pekerjaan kita, jika masih percaya literasi adalah jembatan mencerdaskan bangsa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 April 2023. Penulis adalah esais, sastrawan, budayawan, dan pencinta buku yang tinggal di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya