SOLOPOS.COM - Deden A.K.Y. Gautama (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tahapan menuju kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menimbulkan resonansi politik yang berbeda daripada Pemilu 2019. Pada Pemilu 2019 menggunakan agama sebagai alat komodifikasi, kini menggunakan anak muda, terutama generasi Z, sebagai resonansi politik.

Alih-alih anak muda menjadi sasaran aneka strategi politik untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan jumlah generasi Z dalam daftar pemilih tetap atau DPT Pemilu 2024 sekitar 22,85% dari total pemilih.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Jumlah pemilih muda kategori generasi milenial sebanyak 33,60%. Jumlah pemilih generasi Z dan generasi milenial adalah 56,45% dari total pemilih. Setengah dari jumlah pemilih adalah generasi muda.

Mereka menjadi rebutan para pasangan calon presiden-calon wakil presiden dan calon anggota legislatif di semua tingkatan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.

Kontestasi Pemilu 2024 diikuti oleh tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud Md.

Dari tiga calon tersebut yang masuk kategori muda adalah Gibran Rakabuming Raka, tetapi dalam proses politik menjadi calon wakil presiden dia dianggap kurang pas dengan gagasan anak muda era kini.

Dia dinilai banyak kalangan tidak memiliki gagasan yang jelas dan tidak mencerminkan anak muda meskipun yang paling muda di antara calon presiden dan calon wakil presiden kontestan Pemilu 2024.

Perekrutan politik secara teoretis memang tugas partai politik. Partai politik wajib menjaring calon pemimpin melalui pendidikan politik secara bertahap supaya menghadirkan kader yang mumpuni.

Sebagian anak-anak muda, yang dinilai memiliki kecenderungan apatis dalam politik, saat ini mulai sadar tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden memunculkan kesadaran politik di antara mereka.

Dalam konteks perekrutan politik, Gibran sebagai calon wakil presiden dari golongan muda mereka nilai tidak mengedepankan moral dan terkesan merebut akses anak muda lain yang lebih mumpuni.

Persoalan perekrutan dalam pandangan saya juga menyangkut aksesibilitas anak muda yang semestinya memiliki kesamaan ruang dan akses untuk masuk dalam politik secara praktis maupun nonpraktis.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang—hanya demi—meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden sanagtlah melukai hati kalangan muda Indonesia karena mereka memahami ini hanyalah persoalan menggelar karpet merah untuk anak seorang presiden.

Kecemburuan politis tidak mungkin bisa dibendung karena sudah terjadi praktik democracy backsliding melalui putusan yang sangat tidak mengindahkan etika politik dan moral kebangsaan.

Resonansi tentang dinasti politik dan politik dinasti muncul akibat ketidakpercayaan terhadap Gibran sebagai produk gagal konstitusi. Fenomena tersebut seharusnya menjadi refleksi bagi generasi muda, khususnya generasi Z, bahwa anak muda jangan hanya dimainkan sebagai jargon dalam political market.

Peran partisipatif dan profesionalisme politik anak muda harus ditampung untuk menghadirkan output politik yang berintegritras. Sokongan moral bagi anak muda juga diperlukan dalam berpolitik karena perilaku politik yang nir-etika akan menyebabkan problem besar dalam proses bernegara dan berbangsa.

Respons publik atas fenomena politik dinasti dan privilese bagi Gibran merupakan bentuk social movement anak-anak muda yang memantik massa aksi lainnya sebagai bentuk respons kritis.

Sejumlah gerakan pemuda dilakukan oleh beberapa aktor, seperti Melki Sedek Huang (Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia), Gielbran Muhammad Noor (Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada), M.S. Mujab dari Generasi Perintis, Ichwan Budjang dari Merintis Indonesia, dan aktor pemuda lainnya yang menyuarakan keresahan.

Dalam perspektif saya, privilese dalam politik adalah hal yang tidak bisa dihindari karena salah satu modal sosial adalah privilese itu, tetapi menyalahgunakannya adalah bentuk perilaku cacat moral dan cacat konstitusi sebab akan memutus aksesibilitas orang lain untuk berkompetisi dengan sehat.

Persoalan reaksi berupa gerakan sosial dalam menanggapi praktik kemunculan Gibran menjadi calon wakil presiden dengan landasan putusan Mahkamah Konstitusi yang—sesuai putusan Majelis Kehormatan Makhamah Konstitusi—nir-etika tersebut bisa menjadi kekecewaan terhadap sistem politik itu sendiri.

Konsepsi sistemik Gabriel Almond dan David Easton menjelaskan bahwa dalam komponen sistem terdapat input, konversi, dan output. Apabila input dalam sebuah sistem baik akan menghadirkan output yang baik.

Fenomena Gibran—dalam posisi sebagai calon wakil presiden pada kontestasi Pemilu 2024—sebagai output dari sistem politik yang buruk berarti ada input atau proses konversi yang buruk. Itulah yang kemudian menjadi fokus kritik dari generasi muda.

Menjadi sebuah dilema ketika menyadur pernyataan Yusril Ihza Mahendra bahwa dalam sistem yang baik orang jahat dipaksa menjadi baik, di dalam sistem yang buruk orang baik dipaksa menjadi buruk.

Hal tersebut sangat jelas adanya dan gamblang terlihat. Kiranya saduran pernyataan tersebut cukup menggambarkan kondisi sistem politik yang sedang terjadi saat ini di Indonesia.

Membicarakan lokomotif demokrasi yang ideal bagi anak muda berarti membicarakan konsep yang mencakup beberapa elemen dan prinsip untuk memastikan berfungsinya sistem politik dalam negara demokrasi secara baik.



Komponen lokomotif demokrasi yang ideal bagi anak muda semestinya adalah gagasan tentang masa depan bangsa dan persoalan fundamental anak muda yang sedang dihadapi seperti isu kesehatan mental, kesehatan finansial, artificial intelligence, digital native, dan beberapa problem yang mesti dihadapi bersama terkait penyesuaian era kini dan masa depan.

Kurangnya pemikiran reflektif bisa mengakibatkan terjadi kegagalan dalam bernalar ketika menyikapi kondisi politik faktual adan aktual. Anak muda sebagai lokomotif demokrasi harus berpartisipasi aktif dalam proses politik seperti pemilihan umum atau aktivitas politik lainnya.

Anak muda bisa lebih melek politik karena tongkat estafet kepemimpinan akan dilanjutkan oleh generasi perintis selanjutnya, bukan hanya menjadi generasi pewaris tanpa karakter, tanpa kompetensi, dan tanpa kapasitas.

Lokomotif di kalangan anak muda yang harus ditopang mencakup kebebasan dalam berpendapat di media. Jangan sampai ketika kritik disampaikan di media justri dibungkam  dengan mendatangkan aparat untuk memberhentikan resonansi kritis.

Ini sebagaimana yang terjadi pada Melky Sedek Huang dan Gielbran Muhammad Noor ketika orang tua mereka didatangi oleh aparat keamanan disebabkan mereka mengkritik pemerintah. Ini juga menjadi aspek dasar bahwa pemuda adalah lokomotif demokrasi.

Selain itu seperti akses pendidikan dan pemerataan ekonomi juga harus digenjot untuk mengatasi masalah kemiskina, utamnya kemiskinan ekstrem yang masih ada di beberapa wilayah di Indonesia.

Generasi muda harus memiliki akses sosial, politik, dan ekonomi yang sma, apa pun status sosial mereka. Dengan pemenuhan unsur pendukung lokomotif demokrasi tersebut bisa menjadikan anak muda sebagai basis lokomotif demokrasi Indonesia, bukan hanya menjadi resonansi di pasar politik dan berujung menjadi tumbal dalam kontestasi politik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Februari 2024. Penulis adalah analis politik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya