SOLOPOS.COM - Suharsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Konstelasi politik dan pergerakan partai politik di beberapa daerah menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 memunculkan bayang-bayang pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong.

Pilkada dengan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong pernah terjadi di Kabupaten Boyolali pada 2020. Pasangan M. Said Hidayat-Wahyu Irawan menjadi pasangan calon tunggal pada pilkada tersebut.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Mereka diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Goljar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Pada pilkada Kabupaten Boyolali tahun 2020 itu ada pasangan calon bupati dan calon wakil bupati yang maju melalui jalur independen, Didik Mardiyanto-Listyowati, namun gagal memenuhi berkas persyaratan dukungan.

M. Said Hidayat-Wahyu Irawan menjadi pasangan calon bupati-calon wakil bupati melawan kotak kosong. Pasangan itu pun menang dan menjabat pada periode 2020-2024. Kabupaten Boyolali bukan satu-satunya daerah yang menggelar pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong pada 2020 itu.

Lebih dari 20 kabupaten/kota menggelar pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong pada masa pandemi Covid-19. Semuanya dimenangi pasangan calon tunggal. Pilkada kabupaten/kota dengan pasangan calon tunggal pernah terjadi pada 2015, yaitu di tiga daerah.

Pada 2017 terjadi di sembilan daerah. Pada 2018 terjadi di 16 daerah. Pada 2018, di Makassar, pasangan calon tunggal kalah melawan kotak kosong. Pilkada 2024 yang berlangsung serentak di seluruh Indonesia juga dibayangi kemungkinan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.

Di Kabupaten Boyolali, menjelang pilkada 2024, penggalangan koalisi mengarah pada dua koalisi partai politik, yakni koalisi PDIP-Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Koalisi Perubahan yang menghimpun Partai Gerindra, Partai Golkar, dan PKB.

Di daerah lain, di Soloraya khususnya, potensi pasangan tunggal melawan kotak kosong tetap ada. Di Kabupaten Klaten sejauh ini baru mengemuka penggalangan satu koalisi partai politik dan tidak ada calon independen.

PDIP dengan Partai Gerindra intensif menggalang koalisi besar di Kabupaten Klaten. Gabungan perolehan kursi dua partai politik itu di DPRD Kabupaten berdasar hasil Pemilu 2024 mencapai 24, hampir 50% dari jumlah kursi di DPRD Kabupaten Klaten yang sebanyak 50.

PKS yang memperoleh enam kursi di DPRD Kabupaten Klaten telah didekati oleh DPC PDIP Klaten dan DPC Partai Gerindra Klaten. PKB yang dalam Pemilu 2024 memperoleh empat kursi di DPRD Kabupaten Klaten juga didekati.

Apabila PKB dan PKS bergabung dengan PDIP dan Partai Gerindra,  koalisi ini menghimpun 34 kursi di DPRD Kabupaten Klaten. Lima partai politik lain yang punya kursi di DPRD Kabupetn Klaten berdasar hasil Pemilu 2024 adalah Partai Golkar (tujuh kursi), Partai Amanat Nasional atau PAN (tiga kursi), Partai Demokrat (tiga kursi), PPP (dua kursi), dan Partai Nasdem (satu kursi).

Apabila lima partai politik itu sepakat membentuk koalisi, gabungan jumlah kursi mereka cukup untuk mengusung pasangan calon bupati dan calon wakil bupati. Kuncinya ada di Partai Golkar.

Ketika Partai Golkar memutuskan bergabung dengan PDIP dan Partai Gerindra bersama PKS dan PKB, niscaya muncul pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong.

PAN, Partai Demokrat, PPP, dan Partai Nasdem tidak memenuhi syarat membentuk koalisi mengusung pasangan calon bupati Klaten-calon wakil bupati Klaten. Gabungan jumlah kursi mereka hanya sembilan. Syarat minimal adalah 10 kursi.

Syarat partai politik/gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah di pilkada adalah memiliki minimal 20% jumlah kursi DPRD.

Dalam konteks demokrasi, pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong seharusnya dihindari. Tidak menyalahi aturan, tetapi berdampak buruk pada masa depan demokrasi dan pemerintahan yang dipimpin pemenang pilkada tersebut.

Calon tunggal dengan dukungan mayoritas partai politik di parlemen rawan membuat pemerintahan minim pengawasan. Posisi partai politik di luar pengusung dan pendukung pasangan calon tunggal tidak cukup kuat menjalankan pengawasan kritis terhadap pemerintah.

Kalaupun berani mengkritik juga belum tentu didengar. Lebih parah lagi jika pengawasan internal pemerintahan maupun eksternal dari masyarakat juga lemah. Kondisi seperti itu rawan menjadi celah penyalahgunaan kekuasaan (the abuse of power) yang merugikan masyarakat.

Pasangan calon tunggal yang memenangi pilkada juga rawan dijadikan justifikasi atas pandangan bahwa kalau bisa menang dengan mudah (melawan kotak kosong), kenapa harus bersusah payah melawan pasangan calon lain?

Ini berbahaya karena lama-kelamaan pilkada yang seharusnya menjadi sarana berdemokrasi yang terbuka, jujur, adil, dan kompetitif, tereduksi menjadi sekadar formalitas. Pemilihan digelar hanya untuk formalitas suksesi kepemimpinan.

Di sinilah peran penting serta kesadaran pengurus partai politik dan masyarakat menjaga agar pilkada berlangsung demokratis. Peran partai politik dan masyarakat memunculkan calon-calon kepala daerah dan calon-calon wakil kepala daerah yang berkualitas.

Semakin banyak kontestan tentu semakin baik bagi masyarakat karena semakin banyak pilihan untuk menentukan yang terbaik. Sedangkan bagi kontestan, semakin banyak pesaing juga bagus untuk mengukur diri dan meningkatkan kapasitas agar menjadi pilihan terbaik rakyat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya