SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Belakangan  publik di media sosial menggugat hukuman 20 tahun penjara bagi Jessica Kumala Wongso. Ada yang cuma berkomentar. Ada yang membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo menuntut keadilan bagi sang terpidana.

Semua berawal dari Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, tayangan dokumenter berdurasi satu jam 26 menit yang ditayangkan Netflix sejak 28 September 2023. Film dokumenter itu mengungkit kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang berakhir dengan vonis 20 tahun penjara bagi Jessica Wongso.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Film itu mengembalikan perdebatan lama tentang siapa yang bersalah dalam pembunuhan itu. Orang beramai-ramai mempertanyakan apakah Jessica benar-benar bersalah atau layak dipidana?

Melalui siniar, para influencer mendatangkan kuasa hukum dan ahli yang pernah dihadirkan dalam persidangan kasus itu. Saya tidak hendak memperdebatkan Jessica bersalah atau tidak. Serangkaian fakta hukum dihadirkan selama proses persidangan berbulan-bulan dan melelahkan.

Kebetulan saya menyimak hampir seluruh proses persidangan, dari pembacaan dakwaan hingga vonis yang dibacakan hakim pada 27 Oktober 2016. Tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis saat itu membuat saya mencatat setiap alat bukti yang digunakan jaksa penuntut umum (JPU) untuk menjerat Jessica.

Saya bukan termasuk bagian khalayak yang mempertanyakan vonis kasus itu. Bagi yang pernah melihat persidangan itu secara lengkap, bisa dipastikan tak akan mudah terpengaruh narasi di media sosial atau siniar-siniar.

Kalau publik kritis, mereka pasti tahu para ahli—termasuk dokter forensik—yang berbicara dalam berbagai siniar itu adalah ahli yang didatangkan kuasa hukum Jessica pada 2016. Mereka dihadirkan dalam persidangan untuk meringankan dakwaan bagi Jessica.

Argumentasi yang mereka sampaikan juga sama, Mirna meninggal bukan karena sianida atau tidak ada yang melihat langsung Jessica memasukkan sianida ke gelas Mirna. Argumentasi-argumentasi mereka seluruhnya patah di persidangan.

Para hakim dengan kebijaksanaan mereka memvonis Jessica bersalah karena tidak menemukan satu pun bukti yang bisa mengingkari keterlibatan dia. Tanpa saksi mata atau bukti keras yang melihat aksi Jessica, hakim tetap bisa memvonis bersalah dengan merangkai fakta-fakta yang muncul dalam berbagai alat bukti.

Kini argumentasi-argumentasi itu diulang di media sosial, siniar, dan petisi-petisi yang bertebaran. Tidak ada fakta baru, apalagi temuan hukum baru. Keyakinan khalayak telanjur mudah terdistraksi.

Mungkin mereka lupa persidangan pada 2016 itu atau bahkan mungkin tak pernah melihat persidangan itu secara utuh. Kasus pembunuhan dengan es kopi Vietnam memberikan satu pelajaran bagi manusia dalam dunia hukum dan cara berpikir yang lebih luas.

Kita tidak harus mengalami, melihat, mendengar, atau merasakan sendiri secara fisik untuk mengetahui segala sesuatu. Dalam kasus Jessica, pembuktian dilakukan tanpa saksi mata atau kamera CCTV yang merekam kejadian.

Dalam hukum positif, dasarnya adalah positivisme yang berangkat dari empirisme. Dalam empirisme, dasar pengetahuan adalah pengalaman seperti yang dikemukakan John Locke. George Berkeley menyebut tidak ada substansi materiil di dunia karena yang ada hanya hasil pengamatan.

Pembuktian

Manusia memiliki kemampuan memperkirakan, mengetahui, dan membuktikan sesuatu yang abstrak atau tidak berwujud. Yang tidak terlihat atau tidak terjangkau indra manusia bukan berarti tidak ada. Kemampuan inilah yang tidak dimiliki makhluk hidup selain manusia.

Kemampuan ini tidak dimiliki spesies sejenis manusia (homo) lainnya. Berdasarkan keyakinan dunia ilmiah, Homo sapiens tidak langsung memiliki kemampuan ini ketika muncul kali pertama di Afrika lebih dari 315.000 tahun lalu.

Baru pada sekitar 70.000 tahun lalu muncul manusia cerdas dengan kemampuan kognitif.  Sejarawan Israel Yuval Noah Harari menyebut itu “revolusi kognitif”. Jika homo-homo sebelum sapiens hanya bisa berburu, manusia modern mampu bertani, berlayar, berdagang, dan sebagainya karena kemampuan kognitif itu.

Mereka memperkirakan musim, curah hujan, potensi bahaya, hingga yang paling tak terjangkau indra: roh, zat-zat tak terlihat, dan Tuhan. Itulah yang kita lihat hari ini. Kita dapat mengetahui banyak kejadian pada masa lalu berdasarkan jejak-jejak yang muncul hari ini, fosil-fosil, lapisan tanah di bawah es Antarktika, dan lainnya.

Melalui temuan-temuan sederhana dan analisis yang rumit kita tahu Bumi yang kita pijak sekarang adalah bola gas berpijar miliaran tahun lalu.

Begitu pula yang terjadi pada masa depan. Ketika mengetahui yang terjadi pada masa lalu, manusia menemukan pola dan bisa memprediksi gempa, perubahan iklim, hingga akhir dunia.

Jalan berpikir empiris bisa menunjukkan hal-hal yang abstrak—bahkan metafisik seperti Tuhan—yang umumnya ditolak dalam empirisme. Dalam konteks hari ini, pengetahuan berbasis pengalaman bisa menjadi dasar manusia memprediksi banyak hal seperti pertumbuhan ekonomi, daya beli, resesi, bahkan hasil pemilihan umum (pemilu).

Hasil survei yang kredibel mampu memprediksi hasil pemilu meski hanya dengan 1.000-an responden. Hal itu juga berlaku ketika Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Anwar Usman mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Semua orang tentu paham frasa “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” merujuk pada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.

Di Indonesia ada sejumlah kepala daerah yang kini berusia di bawah 40 tahun, tetapi realitas politik menunjukkan hanya Gibran yang memiliki kesempatan maju dalam Pemilu 2024.

Tanpa harus menanti pengakuan orang-orang yang membuat putusan itu, akal sehat kita bisa memperkirakan Gibran maju sebagai calon wakil presiden lebih dari sepekan yang lalu, bahkan beberapa bulan sebelumnya.



Kita sudah menemukan pengalaman empiris yang sama persis meski tidak terjadi di negara ini. Di seberang utara Sulawesi, tepatnya Filipina, putri mantan Presiden Rodrigo Duterte, yakni Sara Duterte, dilantik sebagai wakil presiden pada 19 Juni 2023 lalu.

Sara mendampingi Ferdinand Marcos Jr.—putra diktator Filipina Ferdinand Marcos. Mereka menang telak dalam pemilu terakhir Filipina. Terlepas dari isu kecurangan, mereka mendominasi pemilu lewat popularitas di kalangan warga yang rata-rata lupa atau bahkan tak mengenal kediktatoran Marcos senior.

Begitu pula tentang people power yang menggulingkan Marcos senior pada 1986. Ini mirip dengan orang Indonesia yang mudah lupa peristiwa-peristiwa kelam masa lalu. Beberapa waktu lalu orang dengan mudah digoyahkan kalimat ”penak jamanku ta” bergambar wajah Soeharto—yang juga dikenal sebagai diktator.

Begitu pula dengan masa lalu Prabowo Subianto, sang mantan menantu, yang banyak dilupakan orang. Elektabilitasnya unggul dalam berbagai survei. Jangankan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat 1998, ingatan tentang kasus beberapa tahun lalu saja mudah digoyang hanya oleh tayangan Netflix berdurasi satu jam 26 menit.

Kita memang kerap ahistoris. Akankah Indonesia menjadi seperti Filipina? Belajar dari pembuktian kasus Jessica, kita tak harus melakukan perjalanan ke masa depan untuk melihatnya.

Pengalaman empiris di Filipina dan Orde Baru menjadi modal yang cukup untuk membacanya. Begitu pula jika kita ingin mencegahnya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Oktober 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya