Belajar dari Mbak Taylor

Solopos.com, SOLO – Akhir pekan lalu saya nge-date dengan anak wedok, mengantar dia menonton film konser penyanyi Taylor Swift, The Eras Tour, di salah satu bioskop. Saya sempat rada khawatir, ini yang menonton kalangan remaja yang seumuran si gendhuk, atau anak-anak kuliahan, kebanyakan cewek.

Wah, jadi the only bapack-bapack yang nonton dong, tapi setelah masuk, saya menikmati juga film itu. Suasananya seperti menonton konser beneran karena para penonton spontan bertepuk tangan, menjerit-jerit menyambut kemunculan Taylor Swift di panggung, berjingkrak-jingkrak, dan menyanyi bareng lagu-lagu yang populer.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Di deretan belakang kursi saya ada sekelompok remaja perempuan. Mereka kompak menyanyikan hampir semua lagu yang dibawakan Taylor Swift di sepanjang film konser yang berdurasi hampir tiga jam itu.

Memang unik betul rasanya menonton film konser ini. Dengan ditayangkan di bioskop maka orang mau tidak mau akan fokus ke layar, no distraction at all. Tata suara bioskopnya mendukung gelegar musik dari konser, membuat atmosfer konser betul-betul terbentuk.

Taylor Swift: The Eras Tour diproduseri oleh sang penyanyi dan digarap sutradara Sam Wrench. Film tersebut diambil dari konser The Eras Tour yang berlangsung di SoFi Stadium, Los Angeles, Amerika Serikat, pada Agustus 2023.

The Eras Tour bisa dibilang wujud rangkuman kehidupan Taylor Swift. Segala ups and downs biduan yang juga piawai memainkan instrumen musik dan menggubah lagu ini digambarkan lewat lagu-lagunya.

Popularitas Taylor Swift yang bisa dibilang konstan memicu fenomena unik di media sosial, khususnya Tiktok di Indonesia. Ada istilah “Mbak Taylor” yang kini ngetren, yang dipakai untuk unggahan-unggahan bernada curhat.

Misalnya “Mbak Taylor, aku mau cerita ……” Unggahan curhat itu biasanya lalu diiringi dengan lagu-lagu Taylor Swift yang populer. Nah, menurut ”sejumlah tafsir” di beberapa media, istilah “Mbak Taylor” ini dipakai karena para pengguna merasa related atau terhubung dengan cara Taylor Swift curhat soal hidupnya melalui lagu-lagunya.

Putus sama pacar, dia bikin lagu. Lagi senang, juga dibikin lagu. Masa sturm und drang alias “gonjang-ganjing” saat SMA, ada lagunya.  Being related alias jadi terhubung seperti inilah yang sebenarnya jadi kunci popularitas. Pada kita ada istilah sobat ambyar, yang berangkat dari lagu-lagu bertema pilu ala Didi Kempot.

Dalam konser-konser yang menampilkan lagu-lagu sang maestro pop Jawa ini orang merasa bebas menumpahkan perasaan. Susah seneng dijogeti. Being related ini bisa kita terapkan dalam dua hal yang juga sedang populer saat ini.

Yang pertama, terkait maraknya kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan anak muda belakangan ini. Rata-rata dari mereka adalah mahasiswa.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Sri Ariyanti Kristianingsih, seperti dikutip dalam pemberitaan Solopos beberapa waktu lalu, menyebut selama ini mereka yang melakukan bunuh diri biasanya merasa telah kehilangan support system hingga pikiran mencapai kebuntuan untuk menyelesaikan persoalan hidup.

Dengan being related ke sesuatu, orang yang merasa tertekan dan depresi kemungkinan bisa menyalurkan perasaan sehingga mengurangi tekanan dalam diri. Sebaliknya, orang-orang terdekat di sekitarnya juga bisa being related kepadanya, memberinya dukungan, memberinya apa yang disebut Tommy Page dalam lagu A Shoulder to Cry On.

Tentu, untuk membangun relasi ini, orang-orang juga jangan judgmental atau menghakimi. Tak harus bisa memberi solusi, cukup mendengarkan dan memberi simpati dan empati sebenarnya sudah bisa berarti banyak.

Being related yang kedua jika dikaitkan dengan popularitas “Mbak Taylor” adalah tautan ke lingkup keseharian. Nah, kalau ini saya ingin kaitkan dengan Kota Solo yang baru saja mendapat predikat sebagai kota kreatif dari lembaga kebudayaan dan ilmu pengetahuan PBB, UNESCO.

Solo masuk ke dalam kategori cities of crafts and folk arts atau kota kerajinan dan seni rakyat. Alasan Solo bisa lolos ke dalam kategori ini adalah karena kerajinan dan seni (budaya) rakyat ini memang hidup dan berkembang di Solo dan masih lestari hingga sekarang.

Semua bentuk kerajinan dan kesenian ini kebanyakan berkembang secara mandiri, dihidupkan oleh insan-insan pelaku, dan didukung komunitas-komunitas yang bergerak dalam kesadaran untuk melestarikan.

Hal ini tak mungkin terjadi jika masyarakat Solo tidak related dengan seni dan budayanya. Being related ini harus terus dikembangkan dari waktu ke waktu agar generasi-generasi yang tumbuh kemudian juga masih punya kesadaran dan pemahaman untuk melestarikan semua kekayaan seni dan budaya ini.

Pelestarian bukan melulu bertujuan menampilkan di panggung-panggung pertunjukan, di galeri-galeri pameran, apalagi untuk dikonteskan demi penghargaan. Pelestarian yang sesungguhnya adalah ketika tanpa motivasi apa pun orang secara sadar tergerak untuk mempelajari, memahami, dan menghidup-hidupkan terus segala bentuk seni budaya itu karena merasa semua itu being related dengan hidupnya.

Jadi begitulah. Matur nuwun nggih, Mbak Taylor, atas inspirasimu.