SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini W.D. (Solopos/Istimewa)

 

Pemerintah Singapura memang satset dalam mengeksekusi sebuah rencana. Bukan termasuk kaum mendang-mending yang akhirnya justru kehilangan momentum baik menghasilkan cuan.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Saya ingat pepatah yang berbunyi seperti ini ”Di saat orang lain tidur, kita harus sudah bangun. Di saat orang lain bangun, kita harus sudah berjalan. Di saat orang lain baru berjalan, kita sudah berlari. Di saat orang lain berlari, kita sudah lari lebih kencang”. Pepatah ini menandakan supaya kita selalu satu langkah di depan orang lain.

Ini seperti yang dilakukan Singapura saat menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi persinggahan tur dunia Taylor Swift. Bukan hanya sehari, pelantun Cruel Summer itu bahkan tampil selama enam hari di Singapura!

Mbak Taylor menggelar The Eras Tour pada tanggal 2, 3, 4, 7, 8, dan 9 Maret di National Stadium, Singapura. Ini adalah satu-satunya perhentiannya di seluruh wilayah Asia Tenggara, dengan satu-satunya tempat di Asia lainnya adalah Jepang.

Menurut Maybank, total 300.000 penggemar menghadiri tur tersebut sepanjang pekan. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 70% berasal dari luar negeri, dan sebagian besar berasal dari negara tetangga seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina.

Selain jaraknya yang lebih dekat, visa ke Singapura tidak diperlukan sebagai anggota kawasan ASEAN, sehingga menjadikannya tempat pemberhentian yang paling mudah diakses oleh para Swifties, sebutan untuk penggemar Mbak Taylor, di Asia Tenggara.

Sementara Singapura mengalami peningkatan dalam bidang pariwisata berkat konser Taylor Swift, negara-negara Asia Tenggara lainnya justru gigit jari, termasuk Indonesia.  Menurut Edmund Ong, Manajer Umum Trip.com, penerbangan masuk Singapura melonjak sebesar 186% dan akomodasi hampir lima kali lipat antara 1-9 Maret.

General Manager Klook untuk Indonesia, Malaysia dan Singapura, Sarah Wan, menambahkan bahwa wisatawan akan menghabiskan rata-rata US$800 untuk membeli akomodasi lokal selain tiket konser mereka.

“Berdasarkan data kami, biasanya turis yang menghadiri konser atau acara dapat menambah pembelanjaan sebesar 5x lipat dari nilai tiket aslinya. Berdasarkan harga tiket rata-rata, kami memperkirakan wisatawan akan mengeluarkan tambahan $800 untuk hotel lokal, restoran, pengalaman, dll,” ujar Sarah Wan, Manajer Umum Klook untuk Indonesia, Malaysia, dan Singapura dikutip dari koreaboo.com.

Diperkirakan US$370 juta dihasilkan dari pariwisata oleh peserta konser The Eras Tour di luar negeri. Wow!

Desas-desus dengan cepat menyebar secara internal tentang manuver politik pintu belakang yang memungkinkan konser Taylor Swift hanya dilakukan di Singapura dan tidak digelar di negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand. Padahal sebelumnya, band Coldplay menyambangi sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia meski hanya kebagian konser satu hari.

Ekonom dan anggota parlemen Filipina Joey Salceda meminta Departemen Luar Negeri (DFA) setempat untuk menyelidiki rumor bahwa Singapore Tourism Board (STB) bekerja di belakang layar untuk menolak kesempatan AEG Presents, produser The Eras Tour, untuk menjadi tuan rumah tur di negara lain mana pun di kawasan ini.

Menurutnya, informasi datang dari Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin bahwa Singapura membayar Taylor Swift US$3 juta per pertunjukan untuk bikin kontrak eksklusif dengan mereka.

“Hibah sekitar US$3 juta diduga diberikan oleh pemerintah Singapura kepada AEG untuk menyelenggarakan konser di Singapura. Masalahnya adalah mereka tidak menampungnya di tempat lain di wilayah tersebut. Saya yakinkan mereka bahwa kebijakan tersebut berhasil. Permintaan regional terhadap hotel dan maskapai penerbangan Singapura naik 30% selama periode tersebut. Saya memperkirakan bahwa istilah eksklusivitas menyebabkan peningkatan pendapatan industri sebesar US$60 juta. Jadi, hibah tersebut menghasilkan aktivitas ekonomi 30 kali lebih banyak. Namun, hal ini harus ditanggung oleh negara-negara tetangga, yang tidak mampu menarik penonton konser asing, dan para penggemarnya harus pergi ke Singapura. Saya ragu ketentuan eksklusivitas ada pada kontrak hibah itu sendiri,” ujar Joey Salceda.

PM Thailand Srettha Thavisin sebelumnya mengungkapkan Taylor Swift hanya akan menggelar konser di Singapura dan tidak akan menggelar konser di negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Thailand. Kesepakatan ini membuat para penggemarnya di Thailand (Thai Swifties) dan negara-negara lainnya merasa kecewa.

Dilansir Sky News, tawaran yang diberikan oleh pemerintah Singapura sebesar US$2 juta atau setara dengan Rp31 miliar hingga US$3 juta atau setara dengan Rp46 miliar untuk setiap pertunjukan.

“Pemerintah Singapura cerdik,” ujar Srettha dalam iBusiness Forum 2024 di Bangkok, dikutip dari Sky News.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengakui mereka “menegosiasikan kesepakatan” dengan tim Taylor Swift untuk menjadi mitra eksklusif timnya di Asia Tenggara.  “Agensi [kami] menegosiasikan perjanjian dengannya untuk datang ke Singapura dan tampil dan menjadikan Singapura satu-satunya tempat persinggahannya di Asia Tenggara,” ujar Lee Hsien Loong.

Meski mem-booking Mbak Taylor secara eksklusif untuk pentas enam hari, Pemerintah Singapura juga berkomitmen tinggi atas keamanan dan kenyamanan selama penyelenggaraan konser tersebut. Terbukti, saat penyelenggaraan tidak terjadi chaos. Penonton bisa keluar dari tempat konser dengan tertib. Mereka juga bisa segera terangkut oleh transportasi umum keluar dari lokasi konser.

Meski hari kedua konser Mbak Taylor diwarnai hujan hingga menyebabkan banjir di lokasi konser, saya salut penonton bisa tetap tertib dan tidak ada kemacetan. Ribuan penonton bisa langsung terangkut kereta api dalam waktu 15 menit.

Saya bertanya-tanya seandainya Pemerintah Indonesia bisa mem-booking Mbak Taylor secara eksklusif untuk tampil hanya di Indonesia, mampukah kita melakukan manajemen serapi Singapura? Saya kok agak pesimistis ya.

Meski bukan Swifties, jujur saya sedih juga melihat Mbak Taylor justru tampil eksklusif hanya di Singapura. Padahal jika kita melihat potensi Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Singapura, misalnya jumlah penggemar Mbak Taylor tentu lebih banyak, jumlah hotel di Jakarta tentu juga lebih banyak dibandingkan Singapura. Alternatif tempat makan untuk turis tentu lebih berlimpah di Jakarta. Namun, mengapa kita kalah satset?

Menengok ke belakang saat Coldplay akhirnya menggelar konser di wilayah Asia Tenggara, Indonesia juga hanya kebagian satu hari, sementara Singapura enam hari, Thailand dan Filipina kebagian jatah dua hari. Mengapa Live Nation selaku promotor Coldplay tidak bersedia mengabulkan permintaan Indonesia untuk menambah jawal konser? Ini yang jadi pertanyaan.



Apakah karena di negara kita terlalu banyak calo sehingga bikin promotor konser kelas dunia malas? Atau ada penyebab lain misal jalur birokrasi terlalu berbelit, jaminan keamanan kurang, sarana transportasi kurang memadai, manajemen risiko juga dinilai kurang andal? Entahlah. Ini semua harus jadi bahan evaluasi.

Gara-gara ”kecolongan” konser Mbak Taylor, Kemenparekraf  akhirnya menyiapkan dana sekitar Rp2 triliun untuk menjamu artis internasional. Namun, yang perlu diingat untuk mendatangkan artis dunia sekelas Taylor Swift atau BTS tentu saja bukan sekadar dengan iming-iming hibah uang, melainkan pihak promotor tentu melihat berbagai aspek seperti manajemen transportasi, manajemen risiko, venue, dan sebagainya.

Indonesia harus belajar dari Singapura. Dengan demikian Indonesia juga bisa menangguk cuan dari konser artis dunia seperti dilakukan Singapura.

Artikel ini  telah dimuat di Koran Solopos, edisi 26 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya