SOLOPOS.COM - Ahmad Baihaqi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — “Saya terengah-engah dan tegang, tubuh saya tidak bisa digerakkan satu inci pun. Mereka yang terimpit di sekitar saya juga kesusahan bergerak. Bahkan, beberapa dari mereka tidak sadarkan diri. Saya mulai hanyut, seperti hendak menikmati detik-detik terakhir dalam hidup.”

Pernyataan tersebut dilontarkan Adrian Tempany, pendukung Liverpool yang merupakan penyintas tragedi Hillsborough, dalam wawancara dengan The Guardian pada 2009. Adrian adalah salah seorang suporter yang beruntung karena selamat dalam tragedi maut itu.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Tragedi Hillsborough terjadi saat pertandingan semifinal Piala FA antara Nottingham Forest melawan Liverpool pada 1989. Pertandingan itu digelar di kandang Sheffield Wednesday, Stadion Hillsborough. Tempat netral itu dipilih untuk menghindari bentrokan antarsuporter dalam big match tersebut.

Liverpool yang memiliki basis massa lebih banyak malah mendapat jatah tribune lepping lane dengan daya tampung lebih kecil dibanding tribune spion kop end untuk pendukung Nottingham Forest. Keputusan itu dianggap salah satu pemicu terjadinya tragedi.

Adrian yang saat itu berusia 19 tahun menonton pertandingan bersama beberapa temannya. Dia punya firasat yang tak bagus sebelumnya. Stadion penuh sesak dengan penonton. Antrean panjang di pintu masuk tak terhindarkan.

Aparat keamanan membuka pintu masuk lain untuk mengakomodasi suporter Liverpool yang masih di luar. Jumlah mereka melebihi kapasitas. Desak-desakan di dalam stadion terjadi. Para suporter terdorong hingga ke pagar pembatas tribune dan terimpit. Pagar pembatas roboh. Korban berjatuhan.

Adrian salah seorang yang terimpit kala itu. Dia awalnya pasrah. Keajaiban datang. Dia berhasil lepas dari impitan dengan tenaga sisa hingga selamat. Sebanyak 96 orang meninggal dunia dan lebih dari 600 orang mengalami luka-luka.

Pada 2021, korban bertambah satu orang menjadi 97 orang setelah pendukung Liverpool bernama Andrew Devine meninggal dunia karena mengalami kerusakan otak parah akibat tragedi tersebut.

Awalnya otoritas setempat menyimpulkan suporter Liverpool sebagai yang bersalah. Mereka disebut bertindak anarkistis, mabuk, dan berbuat kasar kepada polisi sehingga mengakibatkan kerusuhan. Media Inggris, The Sun, melaporkan narasi tersebut yang membuat suporter Liverpool terpojok.

Narasi itu bertahan lama hingga akhirnya kebenaran terungkap pada 2016 atau 27 tahun setelah kejadian. Tim investigasi membuat laporan utuh dan detail. Berdasar laporan itu, pengadilan memutuskan aparat keamanan yang bersalah karena dianggap tidak mampu mengontrol keramaian.

Membuka pintu masuk alternatif menjadi keputusan yang fatal karena membuat suporter Liverpool membeludak masuk dan berdesak-desakan karena tribune penuh. Peristiwa di Hillsborough 33 tahun itu seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menanangani tragedy di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) lalu.

Sebanyak 125 orang dilaporkan meninggal dunia akibat kerusuhan seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1. Suporter Arema yang turun dari tribune menuju lapangan, yang berujung kerusuhan, setelah kekalahan tim mereka memang tidak bisa dibenarkan.

Mendeteksi Provokator

Penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan harus diselidiki oleh tim investigasi. Penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di stadion dilarang FIFA selaku federasi sepak bola dunia melalui Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulatio.

Permintaan pengubahan waktu kick-off oleh kepolisian dan panitia pelaksana yang ditolak operator liga juga perlu didalami. Investigasi secara menyeluruh pasti bisa menguak fakta-fakta yang sebenarnya, seperti halnya Tragedi Hillsborough.

Kesalahan tak bisa seluruhnya dialamatkan kepada suporter. PSSI, aparat keamanan, dan operator liga juga harus bertanggungjawab. Indonesia juga bisa belajar dari Inggris dalam revolusi persepakbolaan. Setelah Tragedi Hillsborough, evaluasi besar dilakukan.

Otoritas sepak bola Inggris, FA, membuat regulasi bernama bernama Football Spectator Act (FSA). Setiap suporter harus memiliki kartu anggota dari klub yang didukung untuk mengantisipasi masuknya provokator ke stadion.

Regulasi ini juga memuat kelayakan stadion dalam menggelar pertandingan, termasuk memetakan keamanan. Stadion yang digunakan tanpa tribune berdiri dan pagar pembatas. Hal ini membuat banyak klub Inggris merenovasi stadion kala itu.

Selanjutnya, mengganti peran polisi di dalam stadion dengan steward. Steward selalu menghadap ke penonton dan memiliki kewenangan mengeluarkan suporter di dalam stadion yang membuat onar.

Steward juga berperan mendeteksi provokator lebih dini. Revolusi inilah yang membuat kompetisi sepak bola di Inggris kini menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Hal yang dilakukan FA memang tidak terjadi dalam sekejap.

PSSI wajib melakukan perubahan serupa. Evaluasi menyeluruh sistem yang telah dilakukan. MRgulasi, penjadwalan pertandingan, skema pengamanan, hingga penanganan suporter harus diperbaiki demi sepak bola Indonesia yang lebih baik, lebih aman, dan lebih nyaman ditonton.

Tragedi Stadion Kanjuruhan telah membuat masyarakat Indonesia takut. Takut menonton sepak bola yang pada dasarnya adalah hiburan seperti pertandingan olahraga lainnya. Jangan sampai rasa takut itu berubah menjadi benci lantaran nyawa melayang terus berulang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Oktober 2022. Penulis adalah Manajer Media Sosial Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya