SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kejujuran  belakangan ini menjadi topik pembicaraan banyak orang di berbagai penjuru negeri ini. Tema pembicaraan soal kejujuran menggema seiring bergulirnya kasus pembunuhan berencana yang didalangi Ferdy Sambo (eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri) terhadap anak buahnya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Kasus yang menempatkan 11 orang (sembilan polisi dan dua warga sipil) di kursi pesakitan (kasus pembunuhan dan obstruction of justice) itu menyita perhatian publik pada periode 8 Juli 2022 (saat peristiwa terjadi) hingga pertengahan Februari 2023 (sidang vonis Ferdy Sambo dan kawan-kawan).

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Dalam kasus itu terdapat dua dimensi, yakni dimensi kejujuran yang merepresentasikan kebaikan dan dimensi ingkar yang merepresentasikan keburukan. Setidaknya itu yang terlihat dari luar.

Publik memiliki penilaian masing-masing dalam melihat peristiwa hukum tersebut. Ada kelompok yang melihat Bharada Richard Eliezer berada pada dimensi kejujuran yang diyakini benar (dalam konteks ucapan yang tergambar pada semua keterangan di persidangan).

Ferdy Sambo dan kawan-kawan berada pada dimensi yang mengingkari kebenaran. Ini karena sejak awal yang terlihat adalah tindakan menyusun skenario pembunuhan berencana dan memberi perintah bawahan-bawahannya melakukan sesuatu untuk mengaburkan/menyembunyikan kebenaran.

Mencermati kasus itu mengingatkan pada wejangan orang tua yang tak pernah letih menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak. Nilai-nilai kejujuran memang berada di tempat strategis dalam petuah-petuah kebaikan.

Petuah tentang kejujuran disampaikan dengan kalimat heroik sekaligus manis, seperti kejujuran tetap harus ditegakkan meski berkonsekuensi kepedihan. Kejujuran adalah pintu pertama menuju kedamaian.

Ada petuah klasik katakanlah dengan jujur meski terasa pahit. Ungkapan lainnya adalah kejujuran bakal berbuah manis. Pada prinsipnya peristiwa apa pun bisa dijadikan pelajaran, termasuk kasus itu. Setidaknya kita bisa belajar banyak tentang kejujuran dan pengingkaran dalam peristiwa hukum tersebut.

Kejujuran atau sikap jujur adalah sumber kebaikan yang memproduksi sesuatu yang berguna/bermanfaat. Bersikap jujur adalah pilihan. Setiap individu memahami konsep jujur yang terpatri dalam nurani. Tinggal bagaimana individu mengaktualisasikan konsep itu dalam perbuatan maupun lisan/ucapan.

Sebenarnya setiap individu memahami konsekuensi pilihan atas konsep jujur itu. Setiap individu—yang berakal sehat—tahu betul berbuat/berucap jujur bakal mendatangkan kebaikan/keselamatan. Begitu pula sebaliknya, setiap individu paham bertindak/berucap yang mengingkari/memanipulasi kebenaran hanya akan memproduksi keburukan.

Meski demikian, tak semua individu memilih jalur yang bermuara pada kebaikan, justru banyak yang memilih berseteru dengan nurani untuk mencapai tujuan. Dalam kasus itu, orang-orang yang dipersalahkan menentukan pilihan mereka masing-masing.

Eliezer maupun terdakwa lainnya memilih memegang nilai kebaikan yang mereka yakini. Bisa jadi Eliezer memilih berkata benar sesuai yang diyakininya agar terselamatkan. Ferdy Sambo juga memilih berucap benar dalam versinya sendiri agar terselamatkan pula, meski akhirnya orang melihat sebaliknya.

Eliezer sejak awal mengemukanya kasus menyatakan bakal mengatakan dengan jujur untuk mengungkap fakta yang dikaburkan Ferdy Sambo dan kawan-kawan. Anggota Brigade Mobil Polri itu berani menanggung risiko meski yang dia lawan adalah atasannya, Ferdy Sambo, yang notabene memiliki kekuatan besar.

Berbuah Manis

Dalam perjalanan kasus, Eliezer yang merupakan eksekutor/penembak Yosua atas perintah Ferdy Sambo itu menjadi saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator. Eliezer mengungkap sejumlah fakta yang dia yakini kebenarannya, bahwa Yosua ditembak bukan tertembak dalam baku tembak seperti dinarasikan sebelumnya.

Pembunuhan direncanakan Ferdy Sambo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan menyusun skenario-skenario. Ferdy Sambo turut menembak Yosua (dari awal hingga akhir babak persidangan Ferdy Sambo mengaku tak ikut menembak). Fakta lainnya masih banyak.

Kejujuran Eliezer berbuah manis. Konsistensinya berkata jujur dari penyidikan hingga persidangan membuat banyak pihak memberi dukungan meski Eliezer adalah eksekutor—pembunuh. Dukungan itu datang dari masyarakat biasa hingga menteri. Belasan ribu orang menandatangani petisi agar pengadilan membebaskan Eliezer.

Keluarga Yosua memaafkan perbuatannya yang telah merenggut nyawa Yosua. Mereka seperti memaklumi tindakan Eliezer yang menembak Yosua dari jarak dekat karena hanya melaksanakan perintah Ferdy Sambo. Buah manis yang dipetik Eliezer bukan hanya itu.

Majelis hakim “menghadiahi” vonis ringan untuknya, yakni satu tahun enam bulan atau 1,5 tahun penjara. Itu jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut pidana 12 tahun penjara. Dalam pertimbangan vonis, majelis hakim menetapkan dia sebagai saksi pelaku yang bekerja sama.

Kejujuran Eliezer menjadi salah satu pertimbangan hakim sebagai hal yang meringankan. Di sini hakim melihat Eliezer berada pada dimensi kejujuran seperti yang diyakini orang-orang. Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung akhirnya menerima vonis itu.

Biasanya jaksa penuntut umum langsung menyatakan upaya hukum banding ketika vonis hakim di pengadilan tingkat pertama jauh lebih ringan dibanding tuntutan. Eliezer juga menerima vonis tersebut mengingat vonis yang dijatuhkan kepadanya ringan. Dengan demikian putusan majelis hakim berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Institusi kepolisian menerima kembali Eliezer sebagai polisi berdasar putusan komisi kode etik profesi. Artinya, setelah selesai menjalani masa hukuman yang kurang dari setahun karena dia sudah menjalani tahanan sejak Agustus 2022, Eliezer bakal kembali menjadi polisi.

Ferdy Sambo dan kawan-kawan yang terlihat berada pada dimensi ingkar harus menelan pil pahit. Majelis hakim memvonis dia dengan pidana mati. Vonis itu lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut yang menuntut  dengan pidana penjara seumur hidup.

Terdakwa lainnya, seperti Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal, juga diganjar dengan vonis lebih berat dibanding tuntutan. Dalam pertimbangan vonis, hakim menilai mereka tidak terus terang/tidak jujur selama persidangan.

Hal itu menjadi salah satu hal yang memberatkan mereka. Atas vonis itu mereka menyatakan banding sehingga vonis belum inkrah. Posisi mereka mengingatkan pada petuah klasik Dorothy Allisan.



Dia mengatakan segala sesuatu menjadi berantakan begitu mudah ketika mereka disatukan dengan kebohongan. Ada pula petuah yang disampaikan orang tua kepada anak bahwa kebohongan hanya akan membawa pada kehancuran dan membuat hidup tidak tenteram.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Maret 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya