SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kabupaten  Sragen masih menjadi daerah lumbung padi di Jawa Tengah, bahkan jadi andalan nasional. Di Soloraya tidak ada yang bisa mengalahkan produktivitas padi di Kabupaten Sragen.

Sebagai perbandingan, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), produktivitas padi di Kabupaten Sragen pada 2022 mencapai 683.496 ton, unggul jauh dari Kabupaten Wonogiri yang berada di peringkat kedua dengan 380.055 ton.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Disusul Kabupaten Klaten 367.724 ton, Kabupaten Sukoharjo 308.688 ton, Kabupaten Boyolali 302.311 ton, Kabupaten Karanganyar 277.554 ton, dan Kota Solo 156 ton.

Di Jawa Tengah, produktivitas padi di Kabupaten Sragen pada 2022 hanya kalah dari Kabupaten Grobogan (787.275 ton) dan Kabupaten Cilacap (772.113 ton). Secara geografis ada sejumlah faktor pendukung yang membuat produktivitas padi di Kabupaten Sragen terus terjaga.

Pertama, lahan pertanian di Kabupaten Sragen jauh lebih luas dibandingkan daerah lain di Soloraya yakni 113.183 hektare.

Bandingkan dengan luas lahan pertanian di Kabupaten Wonogiri (67.439 hektare), Kabupaten Klaten (64.958 hektare), Kabupaten Sukoharjo (48.207 hektare), Kabupaten Boyolali (51.555 hektare), Kabupaten Karanganyar (44.750 hektare), dan Kota Solo (27hektare).

Kabupaten Sragen juga dilintasi Bengawan Solo yang bisa diandalkan untuk menyuplai air di sepanjang wilayah aliran sungai. Keberadaan tujuh waduk dan 46 embung juga menjadi faktor pendukung produktivitas padi di Bumi Sukowati.

Faktor geografis bukan semata-mata yang menjadi penunjang tingginya produktivitas padi di Bumi Sukowati. Ada faktor lain yang barangkali sulit ditemukan di daerah lain.

Sejauh pengamatan saya, petani di Kabupaten Sragen cukup kreatif dan inovatif. Walau sebagian besar hanya tamatan SD atau SMP, mereka cukup solutif dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi selama bercocok tanam.

Pendidikan tinggi bukan tolok ukur bagi petani bisa survive walau ancaman gagal panen selalu datang mengancam. Sama seperti orang Jawa kebanyakan, para petani di Kabupaten Sragen hanya memanfaatkan ilmu titen.

Dalam falsafah Jawa, ilmu titen n sebagai pengetahuan yang bertumpu pada kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam. Ilmu titen biasa digunakan untuk membaca gejala alam yang mendahului datangnya bencana seperti gagal panen bagi petani.

Tentu saja ilmu titen bukan ilmu yang berdasar hasil penelitian ilmiah, melainkan berupa kumpulan pengamatan selama bertahun-tahun.

Inovasi Petani

Sama seperti kabupaten lain di Jawa Tengah, sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Sragen pada dasarnya adalah tadah hujan. Keberadaan Bengawan Solo sedikit banyak bisa membantu ketersediaan air.

Petani bisa menyedot air dari sungai terpanjang di Jawa itu dengan mesin pompa diesel. Dibutuhkan biaya tidak sedikit untuk menyedot air dari sungai ini. Terlebih bagi petani yang punya lahan yang cukup jauh dari sungai.

Berangkat dari persoalan itu, petani di Kabupaten Sragen punya ide membangun sumur submersible di area pertanian. Ongkos untuk membuat sumur ini sebetulnya tidak sedikit.

Untuk membangun sumur submersible, rata-rata petani merogoh kocek Rp20 juta hingga Rp25 juta. Walau besar di ongkos, sumur submersible menjadi investasi jangka panjang yang bisa menjamin ketersediaan air.

Sumur submersible menjadi solusi untuk menghadapi masa paceklik. Dana itu sudah termasuk untuk pemasangan instalasi listrik. Instalasi listrik yang diminta petani di Kabupaten Sragen berdaya minimal 1.300 VA dan maksimal 11.000 VA.

Para petani lebih suka meminta instalasi listrik dengan daya 3.500 VA hingga 5.500 VA. Untuk memasang listrik berdaya 3.500 VA, petani harus merogoh kocek di atas Rp3 juta untuk biaya sambung, Rp105.000 untuk biaya sertifikat laik operasi (SLO), dan pulsa perdana dengan nominal sesuai kebutuhan.

Terhitung sejak Februari 2018 hingga Februari 2019, sebanyak 2.597 instalasi listrik dengan total daya 7.966.100 VA terpasang di area persawahan di Kabupaten Sragen.

Sementara terhitung sejak Januari—Oktober 2019, PLN Sragen melayani pemasangan sekitar 1.300 unit instalasi listrik dengan total daya 5,2 juta VA.

Hingga 2019, lebih dari 6.000 sumur submersible yang dibangun petani di area pertanian. Dengan sumur submersible itu, petani di Kabupaten Sragen masih bisa menanam padi walau musim kemarau sekalipun.

Terlepas dari munculnya masalah lain akibat semakin banyaknya sumur submersible, ancaman gagal panen akibat musim kemarau berkepanjangan atau dampak El Nino bisa diantisipasi dengan baik oleh petani di Kabupaten Sragen.

Di satu sisi, masuknya listrik ke area persawahan menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Faktanya, lebih dari 25 orang meninggal dunia akibat penyalahgunaan listrik di area persawahan di Bumi Sukowati.

Petani tidak hanya menfaatkan listrik untuk menghidupkan pompa air guna mengairi sawah. Mereka juga memanfaatkan listrik untuk membuat jebakan tikus. Jebakan tikus itu memakan korban jiwa, sebagian adalah petani pemasang jebakan tikus berlistrik itu.

Entah dari mana petani di Kabupaten Sragen belajar membuat jebakan tikus yang dialiri listrik. Barangkali ide itu muncul saat petani dalam situasi yang terdesak alias kepepet.

Ibarat MacGyver ala ndesa, petani di Kabupaten Sragen memanfaatkan peralatan yang ada untuk tetap survive. Cara ini tidak banyak dipakai oleh petani lain di luar Kabupaten Sragen. Ini menjadi bukti petani di Kabupaten Sragen cukup kreatif dan inovatif.

Konversi Elpiji

Kreativitas juga ditunjukkan petani di Kabupaten Sragen yang tidak mau mengeluarkan biaya besar untuk membangun sumur submersible dengan tenaga listrik.

Mereka punya cara yang lebih murah untuk tetap bisa mengairi lahan mereka pada musim kemarau. Caranya dengan memanfaatkan elpiji ukuran tiga kilogram sebagai bahan bakat pengganti solar untuk pompa air bermesin diesel.

Satu tabung elpiji ukuran tiga kilogram bisa dibeli seharga rata-rata Rp20.000. Satu tabung itu bisa digunakan hingga tujuh jam. Jika menggunakan Pertalite, petani bisa mengeluarkan dana dua kali lipat untuk mengairi sawah.

Tentu diperlukan teknik khusus untuk merakit elpiji supaya bisa digunakan untuk menghidupkan pompa air bermesin diesel. Umumnya petani mendapat pengetahuan tentang teknik merakit elpiji itu dari seorang teknisi bengkel.

Guna mengikuti pelatihan merakit elpiji menjadi bahan bakar mesin diesel itu, petani membayar Rp50.000 kepada teknisi bengkel tersebut.

Untuk menghubungkan elpiji dengan mesin diesel itu, petani  hanya perlu menggunakan selang infus bekas lengkap dengan roda kecil pengatur tekanan.

Selang infus dari elpiji itu dihubungkan dengan selang karburasi di mesin diesel. Untuk menghidupkan mesin diesel dengan bahan bakar gas itu juga diperlukan keahlian khusus.



Pertama-tama mesin diesel dihidupkan dengan bantuan bahan bakar solar. Setelah menyala, keran selang solar ditutup sehingga membuat mesin mati beberapa saat kemudian.

Ketika mesin menunjukkan tanda-tanda akan mati, gas segera dimasukkan sedikit demi sedikit dengan menggunakan alat pengatur tekanan.

Setelah itu mesin diesel akan menyala dengan bahan bakar gas. Mesin diesel bekerja dan ancaman gagal panen karena musim kemarau bisa diantisipasi oleh petani di Kabupaten Sragen.

Petani di Kabupaten Sragen tak perlu risau dengan ancaman gagal panen akibat dampak El Nino sebagaimana dikhawatirkan pemerintah dan negara lain.

Setelah banyak dipakai petani untuk mengairi sawah, elpiji ukuran tiga kilogram kerap habis dalam hitungan jam. Banyak petani yang antre memanfaatkan pompa air bermesin diesel berbahan bakar elpiji pada musim kemarau kali ini.

PT Pertamina kemudian melegalkan penggunaan elpiji tiga kilogram untuk keperluan pertanian di Kabupaten Sragen pada 2019. Konsekuensinya, Pertamina menambah pasokan elpiji di Kabupaten Sragen setiap musim kemarau.

Alokasi tabung elpiji tigha kilogram atau gas melon di Kabupaten Sragen ditambah sebanyak 5.250 tabung pada awal Agustus 2023. Buah kreativitas petani di Kabupaten Sragen ini juga mendapat dukungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Pada 2019, Kementerian ESDM mengonversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) dengan menyasar 1.000 petani di Kabupaten Sragen.

Dalam hal bercocok tanam, petani di Kabupaten Sragen juga punya cara berbeda dengan petani di daerah lain. Banyak petani yang menjual tanaman padi siap panen kepada penebas.



Dengan cara ini para petani tidak perlu pusing mencari buruh tani karena memang semakin jarang ditemui kala musim panen tiba. Umumnya penebas ini adalah juragan beras yang punya modal besar.

Saat memanen padi, mereka biasa menggunakan peralatan modern seperti combine harvester untuk mengatasi masalah sulit mencari buruh tani.

Para juragan beras di Kabupaten Sragen cukup banyak. Mereka tak hanya memasok beras secara nasional, tetapi juga ke luar negeri. Pasangan suami istri juragan beras di Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen, bisa mengekspor beras ke sejumlah negara seperti Brunei Darussalam dan Arab Saudi.

Tentu keberhasilan menembus pasar ekspor tidak bisa dilepaskan dari kreativitas petani untuk menjaga peluang bisa panen dengan hasil maksimal. Kreativitas yang muncul dalam situasi kepepet atau jerjepit.

Kreativitas yang muncul bukan berdasar hasil penelitian ilmiah, tetapi hasil pengamatan atau ilmu titen. Dengan kreativitas itu, petani di Kabupaten Sragen tidak perlu risau dengan ancaman gagal panen akibat kemarau berkepanjangan atau dampak El Nino.

Cara inovatif yang barangkali bisa jadi sumber inspirasi bagi siapa saja untuk bisa survive dalam menghadapi setiap ancaman bahaya.

(Versi lebih singkat esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya