SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Saya selalu menikmati perjalanan turun dengan mobil dari tempat wisata Tawangmangu Karanganyar pada malam hari. Langit gelap dengan barisan kerlip lampu yang menyala bagai kunang-kunang, kafe-kafe eksotis seperti dalam dongeng, musik yang terdengar samar, serta ratusan manusia yang lalu lalang atau bergerombol di pinggiran jalan, pun di tempat makan, selalu mampu menyuguhkan suasana magis melegakan sekaligus menenangkan. Dari balik kaca mobil saya melihat bapak di kursi belakang juga sama takjubnya.

Saya membuka percakapan dengan Bapak perihal betapa indahnya suasana itu dan begitu yakin bahwa pandangan kami sama. Namun, ternyata tidak. Dugaan saya salah karena jawaban bapak ternyata tidak terkait langsung dengan suasana yang sedang saya nikmati saat itu.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Bapak, di sisi lain, malah menyoroti tentang begitu banyaknya manusia di sana. Mata bijaksana bapak justru menangkap wajah-wajah gembira yang melapisi wajah kesedihan mereka.

“Orang-orang kota yang kelelahan. Orang-orang kota yang tertekan. Orang-orang kota yang mencari kebahagiaan. Semua berkumpul di sini.” Demikian bapak berkomentar sambil menatap saya. Sorot matanya mengatakan saya termasuk di dalamnya.

Saya tak mengomentari pendapat bapak karena perkataannya itu sungguh-sungguh memukul sesuatu dari dalam diri saya. Saya menyadari tempat wisata selalu menjadi pelarian sempurna pada akhir pekan seperti juga sebuah toko buku di Jogja favorit saya.

Yang tidak saya pikirkan sungguh-sungguh adalah ketika orang lain, yang juga banyak jumlahnya, merasakan kegelisahan maupun kelelahan yang sama besarnya seperti yang saya rasakan atau bahkan mungkin lebih besar. Saya mulai melihat kelelahan itu kini berwujud. Dia menjadi semacam pandemi atau sel kanker yang menyebar dengan sangat cepat dan memangsa manusia hingga meninggalkan sisa-sia kerentanan yang begitu menyedihkan.

Manusia-manusia pada akhir pekan adalah manusia-manusia kesakitan. Mereka membutuhkan semacam vaksin berkala untuk membuka sebuah kesadaran bahwa mereka bukanlah benda yang telah mereka perankan dengan sangat baik selama sepekan sebelumnya. Mereka harus sadar dari drama mereka sendiri!

Anda tahu kenapa saya menyamakan manusia dengan benda atau komoditas? Saya teringat ilustrasi yang Jean Paul Sartre tuliskan tentang tangan. Sartre menulis saat tangan Anda menggandeng seseorang yang sebetulnya tidak Anda sukai, namun Anda tetap menggandengnya, itu sama dengan memosisikan tangan Anda seperti benda. Sartre juga menuliskan kebendaan dirinya ketika menjadi tentara, sesuatu yang tidak disukainya, namun harus dia jalankan.

Menjadi benda jelas menjauhkan esensi manusia dari subjek atau dirinya sendiri, melawan kodrat manusia sebagai makhluk yang bebas memilih makna hidupnya dengan beragam risiko dan konsekuensinya tentu saja. Menjadi benda adalah sebuah situasi yang menggelisahkan dan tentu saja nmenyedihkan.

Jadi saya pikir akhir pekan sejatinya bukan hanya merepresentasikan hari libur, namun lebih dalam dari itu semua. Akhir pekan adalah simbol hari kebebasan sejenak untuk berperan sebagai subjek. Hari yang patut dirayakan manusia modern, terutama kelas pekerja.

Lalu saya berpikir lagi. Dengan satu atau dua hari libur pada akhir pekan, mengapa usia kebahagiaan itu begitu singkat? Tidak bisakah saya merasakan kebahagiaan yang lebih lama? Bisakah saya merebut lebih banyak kebahagiaan dengan pilihan-pilihan yang bebas dari risiko menyedihkan? Bisakah saya bersikap semaunya sendiri sambil berharap orang lain memakluminya? Apakah boleh begitu? Bukankah itu tidak logis? Jadi bagaimana saya memaknai ini?

Baca Juga: Mengasuh Anak dengan Logika Pasar

Perjalanan perenungan itu mengantarkan saya pada konsep kebahagiaan yang ditawarkan Aristoteles. Ada dua kebahagiaan yang dialami manusia menurut Aristoteles, yaitu eudaimonisme dan hedonisme.

Singkatnya hedonisme adalah kebahagiaan yang tercipta dari kesenangan sesaat, sebuah upaya meminimalisasi rasa sakit. Rasa puas setelah menikmati wisata kuliner atau menikmati konser musik termasuk jenis ini. Berlibur ke Tawangmangu juga masuk kategori ini. Meski instan, namun manusia membutuhkan kebahagiaan jenis hedonisme ini.

Konsep kebahagiaan kedua adalah eudaimonisme. Pencapaian kebahagiaan ini membutuhkan proses lebih lama karena berbasis pencarian makna. Kehidupan dengan kemudahan sekaligus kerumitannya menjadi sumber makna yang tak pernah habis untuk digali. Oleh sebab itu kebahgiaan jenis ini akan terus mengalir di sepanjang hidup kita dengan catatan kita bisa menemukannya. Sebuah pertanyaan muncul lagi di kepala, lantas bagaimana kita bisa menemukan makna?

Beberapa hari mencari sudut padang perihal makna ini, upaya saya pada akhirnya tertambat pada sebuah tulisan Nietzsche tentang keberanian sekaligus kepedihan manusia. Kelegaan yang saya rasakan saat menemukan tulisan ini tentu saja sangat subjektif.

Dalam Genealogi Moral, Nietzsche menulis bahawa manusia adalah hewan yang berani. Kenapa demikian? Itu karena manusia berani menghadapi penderitaan, bahkan mencarinya, untuk mendapatkan makna hidupnya. Kehidupan, kata Nietzsche, sebagus, senyaman, dan sesempurna apa pun kelihatannya, namun tanpa makna, hanya akan menjadi neraka.

Dari pendapat Nietzsche tadi, ada dua hal yang saya garis bawahi. Keduanya adalah penderitaan yang setara dengan kebahagiaan atau dengan kata lain sama-sama pentingnya. Sesuatu yang paradoks. Bagaimana bisa demikian? Kini sekali lagi saya paksa diri saya menapaki lagi jalan-jalan pengorbanan yang telah saya lalui untuk menemukan bagaimana penderitaan dan kebahagiaan itu bisa berjalan beriringan.

Bekerja yang sering kali lupa waktu dan lupa kesehatan adalah pengalaman pertama yang melintas di kepala saya tentang penderitaan. Hasilnya adalah sebuah akhir pekan di luar kota yang bisa mengundang tawa dua anak saya. Saya rasa itu adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa ditukar dengan apa pun. Contoh lain adalah saat saya mengambil cuti untuk mengantar anak-anak saya berwisata bersama teman-teman sekolah mereka, menemani mereka tidur, mendengar berbagai cerita mereka, membelikan mereka hadiah ulang tahun, dan masih banyak lagi, juga tidak terkira rasanya. Itu adalah saat-saat saya merasa sangat gembira.

Dengan semua ingatan tersebut, kini saya mulai menarik kesimpulan dengan hati-hati bahwa garis merah maknawi perihal kebahagiaan dan penderitaan atau pengorbanan ini sejatinya terkait dengan hasrat berbagi. Konsep bahagia selalu berhubungan dengan upaya mengajak orang lain merasakan kegembiraan yang kita rasakan, menyertakan orang lain, entah siapa pun itu, tak harus orang yang kita sayangi (bisa juga orang yang tidak kita kenal) agar mereka tersenyum seperti kita. Jadi kebahagiaan bukanlah sesuatu yang individual, sesuatu yang egois, dan memang selamanya kebahagiaan tidak akan pernah menjadi sesuatu yang egois.

Saat kepala saya berpikir, saya rasa hati saya perlahan tahu bahwa paradoks perihal penderitaan dan kebahagiaan itu kini memang telah bertemu. Jadi jika saya ditanya apakah saya bahagia, saya kira jawabannya adalah saya menderita sekaligus bahagia. Hidup memang paradoks.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Agustus 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya