SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — “Semoga kelak berguna bagi agama, bangsa, dan negara.” Dalam tradisi masyarakat di sekitar tempat tinggal saya sejak kecil, kalimat itu sering menjadi ucapan pengantar kotak makanan syukuran atas kelahiran bayi atau khitanan anak laki-laki.

Saya selalu menyimpan satu pertanyaan setiap kali mendengar atau membaca kalimat itu. Tidak ada masalah dengan harapan itu kecuali kata “negara”. Itu menggambarkan dengan jelas bahwa salah satu harapan besar banyak orang tua adalah anak-anak berguna bagi negara.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Saya tidak tahu persis apa maksud berguna bagi negara itu. Apakah mereka ingin anak-anak mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS)? Mungkinkah mereka ingin anak-anak menjadi apa pun asalkan bermanfaat bagi negara?

Untuk kemungkinan pertama, harapan itu sangat wajar mengingat jaminan masa depan yang terbayang di depan mata. Untuk kemungkinan kedua, itu adalah konsep yang abstrak dan kompleks.

Dalam sebuah negara masyarakat mengikuti aturan, undang-undang atau kesepakatan bersama (dalam demokrasi), aturan penguasa (dalam aristokrasi), kewajiban membayar pajak, serta hak menikmati fasilitas publik dan memilih pemimpin.

Konsep itu baik-baik saja dan mudah diterima. Setiap tahun kita membayar pajak, retribusi, dan pungutan. Jarang kita mengeluh dan memprotes—bahkan sekadar mempertanyakan—mengapa harus membayar pajak bumi dan bangunan, mengapa pajak pertambahan nilai semakin besar, dan mengapa penulis harus membayar pajak royalti atas karya mereka sendiri.

Seandainya mengeluh, mereka tetap membayar pajak dan menyetor surat pemberitahuan tahunan (SPT). Yang menghindar, mengemplang, dan berlaku curang justru mereka yang terlihat gagah dan tak pernah mengeluh.

Mereka rata-rata orang berkantong tebal dan korporasi besar seperti para pelanggan jasa Rafael Alun Trisambodo dan semacamnya. Soal pajak, seberapa pun beban yang diterima, masyarakat biasanya mafhum.

Yang dipahami khalayak adalah uang yang mereka bayarkan dari setiap kaleng minuman bersoda, tanah, hingga penghasilan mereka masuk ke kas negara. Uang itu digunakan untuk pembangunan negara dan untuk kepentingan negara. Kita percaya kepada negara.

Siapakah negara? The State is the external constitution of the social power. Negara adalah konstitusi eksternal dari kekuatan sosial. Demikian kata Pierre-Joseph Proudhon dalam The State: Its Nature, Object and Destination yang terbit pada 1849.

Konstitusi eksternal menunjukkan negara merupakan sesuatu yang terpisah dari masyarakat yang membentuknya. Rakyat tidak dapat memerintah dirinya sendiri. Sekarang seorang individu, kadang beberapa orang, dengan jabatan baik secara elektif maupun turun-temurun, diberi tugas untuk mengatur, mengatur urusan, melakukan negosiasi dan berkompromi atas namanya.

Singkatnya, dengan melakukan segala perbuatan [seperti] sosok ayah dalam keluarga, wali, pengurus, atau kuasanya, dengan disertai surat kuasa yang bersifat umum, mutlak, dan tidak dapat ditarik kembali.

Proudhon adalah ekonom Prancis dan filsuf sosialis yang kali pertama menyebut dirinya sebagai seorang “anarkis”. Dia menolak perjuangan melalui parlemen atau institusi negara lainnya. Dia tidak percaya kepada negara.

Proudhon yakin negara bukanlah ruang yang setara. Dalam sebuah negara selalu ada kelompok-kelompok tertentu atau orang yang punya akses lebih besar terhadap kekuasaan. Mereka memiliki konsentrasi kekayaan sehingga mengendalikan kekuasaan.

Konsentrasi Kekayaan

Merekalah yang disebut Indonesianis asal Amerika Serikat (AS), Jeffrey Winters, sebagai oligarki. Oligarki adalah mereka yang memiliki konsentrasi kekayaan luar biasa dan selalu hendak menjaga kepentingan.

Kaum oligarki selalu berhati-hati terhadap masyarakat demokratis yang mengancam kekayaan mereka. Oligarki di Amerika Serikat abad ke-20 tidak berkembang dalam kondisi “tidak normal”. Dalam situasi politik “normal”, kekuatan orang-orang kaya bisa memengaruhi hasil pemilu dan institusi politik.

Sistem kesejahteraan di negara demokrasi terbesar di dunia itu menghalangi oligarki meningkatkan konsentrasi kekayaan karena aturan pajak yang sangat tinggi bagi orang kaya. Sejak itu mereka mendirikan perusahaan-perusahaan cangkang demi melindungi kekayaan.

Dalam sebuah wawancara dengan peneliti Institute for Policy Studies, Omar Ocampo, Winters mencontohkan respons berbeda dari oligarki di Chile. Pada November 1970, Salvador Allende, politikus berhaluan kiri, memenangi pemilu dan menjadi presiden.

Belum genap tiga tahun berkuasa, pada 11 September 1973 Allende dibunuh dalam kudeta militer yang dipimpin Jenderal Augusto Pinochet. Winters menyebut kudeta terhadap Allende adalah respons oligarki yang disokong Amerika Serikat untuk menghancurkan kelompok kiri yang mengancam kepentingan oligarki.

Ada beberapa persamaan praktik oligarki yang menguasai negara. Pertama, mereka tidak menyukai demokrasi. Kedua, mereka menyukai konsolidasi kekuasaan dan kekayaan. Dalam negara tidak ada yang setara. Kian absurdlah harapan “berguna bagi negara” dalam benak orang Indonesia.

Di Indonesia kekuatan uang berkuasa dalam setiap pemilu, baik level pemilihan bupati/wali kota, gubernur, hingga pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres). Mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini menyeberang ke Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Fahri Hamzah, menyebut calon presiden (capres) minimal harus punya modal Rp5 triliun.

Laporan dana kampanye calon presiden pada Pemilu 2019 menunjukkan fenomena serupa. Total sumbangan yang diterima Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin lebih dari Rp626 miliar. Dari jumlah itu, 40,7% merupakan sumbangan kelompok masyarakat atau individu, senilai Rp255 miliar.

Sumbangan dari badan usaha atau swasta mencapai 40,03% atau Rp250,72 miliar. Dalam daftar individu penyumbang, ada deretan taipan beken di Indonesia. Itu belum termasuk sumbangan dari kelompok masyarakat atau individu yang diyakini terkait para pengusaha besar.

Kelindan kekuatan taipan dan politik membuat kita memahami konflik di Pulau Rempang, Batam, adalah konflik negara melawan warga. Suara dan protes warga kerap dianggap sebagai ancaman bagi keamanan negara.



Sudut pandang ini juga muncul dalam pembahasan revisi Undang-undang tentang Infiormasi dan Transaksi Elektronik yang sejak awal aneh karena digarap oleh Komisi I DPR—komisi yang membidangi pertahanan.

Bagaimana bisa sebuah rancangan undang-undang yang semestinya melindungi warga negara dibahas dengan sudut pandang pertahanan negara? Tidak mengherankan hasilnya mengandung banyak ancaman pidana bagi orang yang bersuara di media digital.

Wewenang negara memutus akses informasi sesuai kepentingan penyelenggara negara menguat. Kebebasan berpendapat adalah unsur utama demokrasi yang tidak pernah bisa bersahabat dengan oligarki. Jika yang bersuara adalah ancaman bagi negara, siapa yang berguna bagi negara?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 November 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya