SOLOPOS.COM - Ika Yuniati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Guru  bimbingan dan konseling (BK) Bu Prani yang kariernya sedang menanjak tiba-tiba harus menginjak rem dalam-dalam. Momentum ketika dia berselisih paham dengan pengunjung pasar saat mengantre membeli kue putu menjadi viral.

Masalah yang mengemuka kemudian adalah sudut pandang konten yang menjadi viral—merekam Bu Prani yang berselisih dengan seseorang—tersebut tidak sesuai kenyataan.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Bu Prani tampak seolah-olah sangat jahat karena mengumpat penjual kue putu. Kenyataannya, ia tidak salah karena mengoreksi pengunjung lain yang sebelumnya angkuh dan menyerobot antrean.

Kariernya sebagai guru BK hancur hingga batal promosi menjadi kepala sekolah. Bisnis kedua anaknya yang baru dirintis ikut kena dampak. Bu Prani benar-benar habis-habisan.

Ia sudah berupaya mengatasi masalah dengan membuat video klarifikasi, tetapi lagi-lagi justru kena bullying. Bu Prani yang merupakan salah seorang tokoh dalam film Budi Pekerti itu banjir pujian.

Tentu saja juga karena isu yang diusung sangat kontekstual dan relevan dengan situasi sekarang. Tak mengherankan flim ini masuk dalam deretan aneka nomine penghargaan bergengsi.

Saya paham betul kenapa konflik dalam film itu seolah-olah menjadi masalah bersama. Pada era sekarang hidup dan mati kita seolah-olah ditentukan oleh media sosial.

Baik dan buruknya seseorang hanya tergantung dari framing konten yang muncul di Instagram, Tiktok, atau lainnya. Era digital memang menjadi dua sisi mata uang yang sangat mematikan.

Kecepatannya mampu menembus batas-batas jarak, ruang, dan waktu. Hal ini mendorong perkembangan seseorang hingga ke level yang tak terbatas. Di sisi lain, hal yang serbacepat juga membuat masyarakat lupa tentang proses.

Seolah-olah yang paling penting adalah pencapaian dalam angka. Begitu juga yang dialami Bu Prani dan anak-anaknya. Warganet tentu saja tak sempat mencari tahu lebih dalam atau skeptis pada kasus video Bu Prani yang berselisih paham dengan penjual kue putu.

Emosi yang tak terbendung di media sosial secara masif membuat pengguna Internet tak sadar melakukan hal merugikan, yakni cancel culture atau aksi boikot. Karier dan masa depan keluarga guru berprestasi ini jadi taruhannya.

Cancel culture merupakan praktik yang sedang populer dan lazim di media sosial.  Warganet berusaha mengumpulkan dukungan untuk menolak seseorang yang dianggap telah melakukan sesuatu yang ofensif maupun tidak menyenangkan.

Seruan bersama-sama memboikot seseorang ini tentu saja jadi dua sisi mata uang yang sama-sama berisiko, apalagi jika objek atau sasarannya salah. Sebuah artikel di jurnal Communication and the Public menjelaskan cancel culture terdapat dalam konsep Habermas tentang ruang publik yang menganggap wacana publik adalah ranah elite (1962).

Cancel culture mengacu pada penolakan individu melalui pengaduan online yang mengakibatkan pengucilan dan mempermalukan orang. Konon, warganet Indonesia jagonya kalau urusan berperang di media sosial.

Beberapa figur publik di negeri ini diboikot sejumlah televisi dan lainnya karena dorongan warganet. Gofar Hilman kehilangan kontrak kerja sama dengan sejumlah jenama setelah diboikot warganet karena dugaan pelecehan seksual pada masa lalu.

Gerakan cancel culture pada aktor Rizky Billar juga kencang disuarakan publik pada 2022 ketika dia melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sejumlah stasiun televisi memboikot Billar.

Ini menjadi satu-satunya gerakan penolakan KDRT yang diserukan bersama-sama oleh masyarakat, padahal biasanya banyak yang tak acuh terhadap kasus kekerasan di ruang keluarga tersebut.

Hati-hati Antipati

Dalam konteks yang lebih luas, banyak juga dampak negatif yang muncul akibat cancel culture berlebihan. Terlebih jika aksi masif tersebut tanpa didasari disiplin verifikasi.

Kasus yang baru-baru ini terjadi, doxing dan aksi memboikot mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), MF, 21, di akun  X (sebelumnya Twitter). MF dituding melakukan pelecehan seksual kepada juniornya di badan eksekutif mahasiswa (BEM).

Tudingan itu dilengkapi dengan tangkapan layar chatting MF dan si korban via Whatsapp hingga mengundang kemarahan warganet, namun belakangan pelecehan seksual tersebut adalah hoaks.

Mahasiswa UNY lainnya, RAN, 19, sengaja membuat kasus fiktif untuk menjatuhkan nama baik MF. RAN yang ditangkap aparat Polda DIY mengaku sakit hati kepada MF hingga akhirnya melakukan aksi tersebut.

Emosi warganet seolah-olah diaduk-aduk dalam kasus viral yang ramai di X ini. Setelah seharian dibikin marah dan kesal oleh MF, selanjutnya harus berempati karena dia ternyata menjadi korban persebaran hoaks.

Hal paling dikhawatirkan dalam kasus ini adalah perasaan nir-empati pada satu kasus tertentu yang pernah menjadi konten hoaks. Isu pelecehan seksual bakal diabaikan karena laporan-laporan yang ada tak lagi dipercaya, apalagi jika laporannya di media sosial.

Kini, bagi sebagian orang, media sosial jadi ruang mencari keadilan. Terutama bagi mereka yang tak lagi mendapat ruang yang adil di dunia nyata.  Oleh karena itu, ada satu hal penting yang perlu dilakukan bersama-sama agar cancel culture berada pada jalur benar, yakni skeptis.



Jangan hanya percaya pada satu sisi yang tampak di dunia maya. Penting sekali melakukan verifikasi dan klarifikasi mendalam sebelum ikut mengampanyekan yang tengah viral, tapi belum tentu jelas kebenarannya.

Merujuk dari kata dasarnya, yakni maya, jelas tak ada yang perlu benar-benar dipercaya dari hal yang maya atau fana. Jika terbelenggu hal-hal di dunai maya, dampaknya juga bakal terasa hingga di kehidupan kita di dunia nyata.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 November 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya