SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Jika  melihat sekilas sekeliling kita, secara kasatmata tampak pembangunan perumahan di mana-mana, terutama di kawasan urban. Banyak area persawahan yang dulu hijau menyejukkan mata berubah menjadi tembok-tembok kukuh hasil pembangunan perumahan.

Di balik itu ada masalah backlog perumahan yang masih menghantui negeri ini. Backlog terjadi ketika permintaan perumahan yang layak melebihi pasokan yang tersedia. Akibatnya banyak orang yang tidak memiliki tempat tinggal layak atau tinggal di perumahan dengan kondisi tidak memadai atau bahkan menghadapi kesulitan mencari tempat tinggal.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 273,8 juta jiwa. Meski laju pertumbuhan cenderung melambat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada 2045 akan mencapai 324 juta orang atau bertambah 54,42 juta orang dibandingkan dengan pada 2020.

Pertambahan jumlah penduduk dan rumah tangga di semua wilayah, khususnya di wilayah perkotaan (urban) akibat urbanisasi, menyebabkan kebutuhan hunian atau tempat tinggal  terus meningkat, bahkan pertumbuhan penduduk melebihi tingkat pembangunan rumah/hunian baru.

Akibatnya backlog semakin lama semakin membengkak sehingga dapat menimbulkan persoalan permukiman, terutama di perkotaan. Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) mencatat angka backlog atau kekurangan perumahan di Indonesia tak kunjung menunjukkan penurunan signifikan.

Dalam satu dasawarsa belakangan backlog perumahan disebut hanya susut 6%. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog perumahan pada 2010 tercatat sebesar 13,5 juta unit, sedangkan pada 2020 angkanya 12,7 juta unit.

Akumulasi tingginya angka kelahiran, besarnya demografi penduduk Indonesia, dan probabilitas penduduk tinggal di perkotaan yang akan mencapai 66,6% pada 2035 bakal menjadi batu sandungan dalam mengatasi masalah backlog perumahan.

Menurut DPP REI, tingginya angka backlog yang tak kunjung menyusut ditengarai oleh beberapa faktor, antara lain, rumit dan sulitnya perizinan yang diperlukan pengembang untuk membangun kompleks perumahan.

Selain kendala perizinan, penyebab lain backlog adalah minimnya anggaran perumahan yang disediakan pemerintah. Saat ini anggaran untuk perumahan tidak sampai 10% dari total anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang pada 2023 mencapai Rp154,36 triliun.

Kondisi ini diperparah dengan buruknya perencanaan program perumahan sehingga biaya yang harus dikeluarkan pemerintah karena rumah jauh dari tempat kerja justru lebih besar lagi, yakni mencapai Rp71,4 triliun atau 2,2 juta per hari.

Anggaran sebesar itu dipakai pemerintah untuk menyuntik subsidi bahan bakar minyak (BBM) karena kemacetan parah, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Masalah backlog juga tak lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan rumah untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal.

Angkatan kerja di sektor informal merupakan yang terbesar, tetapi dukungan pembiayaan perumahan justru menjadi yang paling kecil dibandingkan sektor lainnya. Sementara mekanisme pembiayaan ditangani perbankan yang seolah-olah selalu mencari aman dengan memprioritaskan para pekerja atau mereka yang bekerja di sektor formal saja.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disebutkan target penyediaan rumah layak huni minimal mencapai 70%. Saat ini target tersebut baru mencapai 56,7% rumah layak huni di Indonesia atau sebanyak 7,8 juta rumah tangga.

Kolaborasi dan Inovasi

Demi mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045 tanpa backlog perumahan, pemerintah harus mendorong penyediaan perumahan setidaknya 1,5 juta setiap tahun. Saat ini pemerintah baru dapat mendorong penyediaan rumah sebanyak 200.000—300.000 unit per tahun.

Sektor properti, termasuk di dalamnya perumahan, selama ini memberi kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 14% hingga 16%, berkontribusi terhadap APBN sebesar 9%, dan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 30% hingga 50%.

Sektor properti juga berkaitan erat dengan sekitar 185 industri lainnya di sektor riil yang memiliki daya ungkit bagi perekonomian nasional. Sebagai bisnis padat karya, sektor properti disebut-sebut mampu menyerap tenaga kerja sekitar 10 juta hingga 12 juta orang dari berbagai sektor.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengurai permasalahan backlog perumahan ini lewat sejumlah program, antara lain, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi bantuan uang muka (SBUM), dan tabungan perumahan rakyat atau tapera.

Tiga program ini masih kurang untuk membantu pemenuhan penyediaan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Masalah backlog perumahaan ini  harus menjadi fokus dan perhatian pemerintah mengingat rumah menjadi bagian penting dalam membangun ketahanan nasional karena rumah adalah tempat pertama untuk membentuk karakter dan kualitas hidup generasi penerus bangsa.

Untuk dapat memupus backlog perumahan, terutama di perkotaan, dibutuhkan langkah-langkah serius mengantisipasi tingginya urbanisasi. Peningkatan dan pemeratan infrastruktur yang baik, seperti jalan, air bersih, listrik, dan sanitasi hingga ke pelosok diperlukan untuk meningkatkan pembangunan daerah sekaligus mengurangi urbanisasi dan kepadatan perkotaan.

Diperlukan kebijakan dan regulasi yang jelas dan konsisten guna mendukung pertumbuhan sektor perumahan. Ini termasuk mempercepat dan menyederhanakan proses perizinan, memberikan insentif kepada pengembang, dan menciptakan kebijakan yang mengatur penyewaan perumahan kolektif seperti rumah susun sederhana sewa (rusunawa).

Pemerintah juga perlu berinvestasi dalam infrastruktur dasar, terutama di daerah yang potensial untuk pengembangan perumahan. Ini akan membuat daerah tersebut lebih menarik bagi pengembang perumahan dan mempercepat pembangunan perumahan yang terjangkau.

Program subsidi perumahan adalah alat yang efektif untuk membantu warga yang berpenghasilan rendah dan menengah membeli atau menyewa perumahan yang terjangkau. Pemerintah dapat memberikan bantuan finansial, pembebasan pajak, atau bantuan pembiayaan kepada individu atau keluarga yang memenuhi syarat.

Ini akan membantu mengurangi kesenjangan akses ke perumahan. Keterlibatan sektor swasta mengikis angka backlog perumahan sangat penting. Pemerintah perlu terus meningkatkan kolaborasi atau kemitraan dengan pengembang swasta untuk membangun perumahan yang terjangkau.



Ini dapat diwujudkan melalui insentif, seperti pembebasan pajak, yang mendorong sektor swasta berinvestasi dalam perumahan yang terjangkau. Pemanfaatan teknologi dan inovasi dalam konstruksi perumahan harus diakselerasi guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya.

Metode konstruksi yang canggih, seperti pencetakan tiga dimensi atau material bangunan yang lebih efisien energi, dapat membantu mempercepat pembangunan perumahan dan mengurangi biaya. Tak kalah penting, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memiliki rumah yang layak juga menjadi kunci dalam mengatasi backlog perumahan.

Pemerintah, perbankan, dan pihak-pihak terkait perlu memberikan edukasi tentang pentingnya memiliki hunian yang layak, menerapkan manajemen keuangan, dan cara memanfaatkan program-program perumahan.

Mengatasi backlog perumahan adalah tantangan yang harus dijawab dengan kerja sama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Mencari solusi berkelanjutan adalah cara terbaik untuk mengatasi backlog perumahan dan meningkatkan kualitas hidup generasi sekarang dan generasi mendatang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Oktober 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya