SOLOPOS.COM - Vina Eka Aristya (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden pada 14 Februari 2024 bertujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pemenuhan pangan menjadi bagian visi dan misi sekaligus tema besar yang diusung tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden.

Peningkatan kesejahteraan petani sebagai pahlawan pangan membutuhkan sokongan realitas kebijakan. Proporsi tenaga kerja di sektor pertanian yang berkisar 40,69 juta (15% dari seluruh warga negara Indonesia) membutuhkan dukungan politik yang pro petani.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Fenomena urbanisasi dan pembangunan perkotaan telah menyita lahan pertanian. Laju pertumbuhan perkotaan yang pesat dalam 30 tahun terakhir (1,1% per tahun) menyebabkan konversi lahan pertanian secara global seluas 1,2 juta hektare per tahun.

Pada saat yang sama, produksi pangan perlu dieskalasi 60% untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat akibat laju pertambahan penduduk. Intervensi kebijakan pertanian terhadap perubahan fungsi lahan dapat menghindari fluktuasi harga pangan.

Tren menunjukkan peningkatan pasokan pangan pokok lebih bergantung pada perluasan areal tanaman dibandingkan intensifikasi pertanian sehingga membalikkan fokus pada dekade sebelumnya.

Sebelum terbentuk rantai pasok pangan dan sistem transportasi modern sebagian besar kota mendapat pasokan pangan dari lahan pertanian di sekitarnya. Inilah alasan banyak kota besar dunia didirikan di tanah subur dan curah hujan yang cukup.

Strategi ini dalam sejarah menjamin pasokan pangan warga lokal. Pertumbuhan populasi merupakan pendorong utama perubahan lahan pertanian. Total area produksi pangan menurun signifikan di wilayah kota yang pertumbuhannya pesat.

Lahan pertanian produktif sebagai penghasil pangan pokok berubah guna menjadi area fasilitas perkotaan yang bernilai lebih tinggi. Perubahan spasial lahan pertanian ini memengaruhi kapasitas produksi dan stabilitas pangan.

Lahan pertanian yang beralih fungsi realitasnya 30%–40% lebih produktif dibandingkan lahan baru. Jika lahan pertanian baru, termasuk tanah marginal, dengan sumber air terbatas atau terletak di wilayah dengan iklim ekstrem dibandingkan lahan pertanian yang dikonversi kemungkinan menurunkan potensi hasil dan tercekam tekanan abiotik dan biotik.

Sebagian besar ekspansi pangan juga mengorbankan habitat alami hutan, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mematikan sumber air. Kebijakan melindungi lahan pertanian abadi dari ekspansi urbanisasi akan membantu mengurangi tekanan terhadap perluasan pertanian ke ekosistem alami.

Secara ekonomis penurunan potensi produksi komoditas dapat ditutup melalui impor dengan asumsi negara memiliki daya beli. Siklus lonjakan harga dan embargo ekspor pangan yang berulang kali dilakukan oleh negara pengekspor utama global menjadikan negara berpenduduk padat seperti Indonesia menetapkan kebijakan swasembada pangan pokok untuk menghindari gangguan pasokan pangan.

Kualitas lahan pertanian produktif ditentukan sifat tanah dan iklim. Pergeseran pertanian ke lahan marginal umumnya terkendala teknologi budi daya tanaman dan keterbatasan akses petani terhadap input, pasar, peralatan, layanan pendukung, teknologi, serta informasi yang semuanya akan menurunkan hasil panen.

Pertanian Berkelanjutan

Dampak pertanian yang dikonversi ke lahan pertanian marginal menurunkan produksi pangan. Potensi hasil padi nasional menunjukkan penurunan produksi, semula di lahan yang dikonversi sebesar 15,2 ton per hektare per tahun menjadi hanya 11,8 ton  per hektare per tahun di lahan baru.

Indonesia memiliki daerah sawah irigasi yang sangat produktif di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Zona dengan pertumbuhan penduduk tercepat (122 jiwa per kilometer per tahun ini telah dikonversi untuk penggunaan lain.

Areal sawah diperluas ke wilayah pertanian yang lebih marginal dengan pertumbuhan penduduk yang lebih lambat, seperti di Sumatra. Wilayah Sumatra memiliki sistem padi pasang surut dan rawan banjir yang hanya memungkinkan menanam padi satu musim per tahun.

Paparan banjir dan kekeringan juga menyebabkan potensi hasil menjadi rendah. Simulasi potensi dan stabilitas hasil panen dengan data pengelolaan tanaman, tanah, dan cuaca lokal menunjukkan rasio hasil nasional antara lahan pertanian yang dikonversi dan yang baru dikembangkan adalah  1,3 untuk padi di Indonesia.

Rasio hasil nasional tertimbang luas wilayah menunjukkan dibutuhkan lebih banyak lahan pertanian secara proporsional untuk menggantikan potensi produktif satu hektare lahan sawah yang hilang.

Ketergantungan konversi lahan baru untuk memenuhi permintaan pangan diperparah oleh hilangnya lahan potensial. Estimasi dampak alih fungsi lahan terhadap kapasitas produksi pangan memerlukan kebijakan penggunaan lahan pertanian pada skala nasional serta global untuk mencapai keseimbangan antara tujuan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan.

Konversi lahan pertanian untuk keperluan perkotaan sangat bermanfaat jika diperoleh keuntungan finansial dari pengembangan lahan tersebut, namun konversi lahan tidak selamanya menghasilkan benefit lebih baik dibandingkan lahan pertanian.

Konversi hutan dan padang rumput juga dapat mengorbankan keanekaragaman hayati dan peran ekosistem alami. Deforestasi di kawasan pertanian berdampak menyumbang 17% emisi gas rumah kaca global dan berkontribusi terhadap efek climate change atau perubahan iklim.

Urbanisasi lahan pertanian dengan infrastruktur irigasi dan perluasan lahan pertanian di daerah tadah hujan membuat produksi pangan lebih rentan perubahan iklim, termasuk pola hujan yang tidak menentu dan ekstrem.

Pada sistem tadah hujan, stabilitas panen menjadi lebih rentan dan berkontribusi terhadap kelambatan laju peningkatan hasil. Pertanian di lahan baru juga harus memperhatikan biaya operasional yang tinggi.

Investasi infrastruktur (jalan, sistem drainase) dan input produksi (pupuk, tenaga kerja, transportasi) perlu dipertimbangkan mengingat ekspansi produksi pangan di daerah terpencil, padahal permintaan beras di Indonesia akan meningkat secara signifikan.

Kebijakan nasional di sektor pembangunan pertanian dan penggunaan lahan berdasarkan hasil panen saat ini tidak hanya akan menutupi potensi dampak perubahan spasial pada lahan pertanian. Pembangunan wilayah perkotaan juga perlu kebijakan penggunaan area yang melestarikan lahan pertanian penghasil pangan utama.



Keberpihakan politik pada sektor pertanian dapat meningkatkan hasil pada kondisi lahan terbatas melalui intensifikasi berkelanjutan. Upaya ini sekaligus konservasi ekosistem alam dan mengatasi ancaman perubahan iklim. Stabilitas lahan pertanian abadi mencegah gangguan ketahanan pangan nasional.

(Esai ini trebit di Harian Solopos edisi 29 Februari 2024. Penulis adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya