SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Saat mengenang masa sekolah dasar atau SD, peribahasa “bersatu kita teguh, bercerah kita runtuh” selalu hadir dalam ingatan, bahkan kini sering dipelesetkan menjadi “bersatu kita teguh, bercerai kawin lagi”.

Makna mendalam tentang kekuatan dalam persatuan terasa begitu mulia, namun sungguh ironis ketika kita menyadari betapa sering nilai-nilai ini terlupakan dalam konteks pesta demokrasi seperti pemilihan umum atau pemilu.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Begitu penting persatuan dalam sejarah, terutama dalam perjuangan menuju kemerdekaan, hingga masuk sebagai sila ketiga Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia”. Paradoks muncul saat pemilu datang.

Beda pilihan menjadi pemicu konflik, bahkan di tingkat personal seperti dalam hubungan pernikahan. Ironis ketika dampak permusuhan pasca-pemilu sering kali sulit dihilangkan, menciptakan patahan-patahan yang merugikan masyarakat.

Pemilihan umum seharusnya menjadi panggung demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-niai keadilan, kebebasan, dan persatuan. Realitas menunjukkan sebaliknya. Beda pilihan memicu polarisasi, bahkan hingga tingkat keluarga.

Setelah pemilu berakhir, terkadang residu ketegangan masih tersisa. Ini membuktikan bahwa perpecahan politik menjadi penyakit sosial yang sulit diobati. Pertanyaan mendasar muncul: mengapa kita sering melupakan arti persatuan dalam konteks pemilu?

Para calon pemimpin, para calon wakil rakyat, meski diakui sebagai putra terbaik bangsa, tidak lepas dari kritik dan kelemahan. Setelah pemilu, apakah perpecahan harus terus dipertahankan?

Contoh positif—mungkin dengan pemaknaan tertentu—datang dari langkah Prabowo Subianto yang bergabung ke dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2019. Ini menunjukkan bahwa untuk memajukan Indonesia kita perlu mendukung pemimpin dari berbagai latar belakang.

Sejauh ini hasil Pemilu 2019 menunjukkan bahwa persatuan dua calon presiden yang sebelumnya berkompetisi dapat menciptakan stabilitas dan fokus dalam menghadapi tantangan besar.

Dalam situasi seperti pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi, persatuan dalam pemerintahan telah membuktikan kekuatannya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita bisa mengulangi fenomena ini di pemerintahan hasil Pemilu 2024, pemerintahan periode 2024-2029?

Faktor-faktor yang memengaruhi persatuan pemerintahan termasuk keputusan calon presiden yang  terpilih dan dinamika partai pendukungnya. Meskipun harapan akan persatuan tetap tinggi, realitas politik sering kali jauh lebih kompleks.

Kita dapat membayangkan dampak positif ketika tokoh-tokoh seperti Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo bersatu di pemerintahan. Kolaborasi ini, dengan kelebihan masing-masing, bisa membawa Indonesia menuju cita-cita mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan lebih cepat.

Tentu untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menjamin transparansi, peran DPR sebagai lembaga pengawas pemerintahan perlu diperkuat. Ini adalah langkah penting untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa keputusan pemerintah selalu diawasi dengan cermat.

Dengan langkah-langkah ini diharapkan kita dapat menjaga semangat persatuan tidak hanya dalam wacana, tetapi juga dalam tindakan, menciptakan fondasi yang lebih kukuh untuk pembangunan Indonesia yang maju dan berkelanjutan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya