SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Rakyat Indonesia menghadapi realitas politik dengan banyak tumpukan kekecewaan pada politik harapan dari pemilihan umum ke pemilihan umum (pemilu).

Ironisnya, justru partai politik dan politikus yang maju dalam pemilu pasti dan selalu mengembuskan angin segar politik harapan: dari perubahan sampai kemajuan, dari penyejahteraan sampai percepatan layanan, dari yang gratis-gratis sampai penegakan keadilan untuk semua, dan seterusnya.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Dalam sistem pemilu yang kampanye adalah keniscayaan, ada satu ciri khas yang selalu menjadi bawaan dasar: perang tawaran harapan. Seperti dalam perang periklanan atau perjudian, semakin sengit pertarungan dan pertaruhan, maka akan dibuat sangat menggiurkan harapan-harapan itu, entah bisa direalisasikan atau tidak.

Dalam pemilu, yang adalah sebentuk legalisasi konflik politik, semua tawaran harapan bisa dieksplorasi dan dieksploitasi. Demi kemenangan politik, bukan pemenuhan janji!

Tentu saja antara tawaran harapan dan pelaksanaan setelah pemilu adalah urusan yang sangat berbeda. Sungguh sangat berbeda sekali. Camkanlah bahwa yang hendak berkuasa dan yang memegang kekuasaan tidak pernah orang yang sama lagi.

Kekuasaan mengubah manusia dan sungguh sangat jarang yang sebaliknya. Kita sudah beberapa kali menyaksikan dan membuktikan hal ini dengan sedalam-dalamnya, seironis-ironisnya.

Dalam filsafat politik, sudah masyhur yang disebut kesalahan Plato: mencari sosok penguasa-pemimpin yang maha-adil, negarawan nan filsuf bijaksana, atau politikus pelaksana program partai yang amanah bertanggung jawab, the right man in the right position.

Tanpa terlalu memikirkan mekanisme dan intrik politik dan adikuasa kekuasaan an sich, semua ini hanya omong kosong berbahaya! Dalam sejarah politik, kekuasaan tak pernah cukup membuktikan keberhasilan ideal platonik itu.

Tak pernah cukup bukti bahwa ada manusia agung bijaksana bestari sungguh dalam politik kehidupan manusia di muka bumi. Dalam kampanye politik berapa banyak janji muluk penuh harapan palsu digelontorkan jor-joran. Sejak reformasi 1998 sampai sekarang, tak ada rakyat Indonesia yang percaya begitu saja pada janji politik.

Kekecewaan sudah bertumpuk-tumpuk dan bertubi-tubi. Toh, politikus yang terpilih juga tak perlu mempertanggungjawabkan secara transparan apa yang dijanjikan dan jadi kebijakan. Tak ada undang-undang apalagi partai politik yang mewajibkan pelaksanaan janji politik.

Kecewa di atas kecewa yang tampak percuma saja. Rakyat sering kecewa pada politikus, tapi tentu saja tidak bisa menolak kehadiran politik(us) dalam kehidupan. Penguasa bertindak sesuai keinginan, bukan berdasarkan janji kampanye, atau berdasarkan kehendak mayoritas yang tidak menguntungkan posisi dan finansialnya.

Demokrasi berdasarkan kuasa hukum hanya sedikit mengerem hasrat kuasa para pemimpin. Sistem demokrasi adalah sistem yang paling waspada pada kuasa pemimpin politik.

Negatif Utilitarian

Adalah sungguh baik untuk mulai disadari rakyat Indonesia bahwa daripada sok hendak meningkatkan kebahagiaan rakyat, lebih baik berusaha mengurangi kekecewaan dan kesengsaraan rakyat.

Itulah yang sebaiknya jadi pedoman utama dalam menyalurkan aspirasi politik pada pemilihan umum. Sejarah abad ke-20, yang penuh pertarungan ideologi yang keras nan sangat sengit, mengajarkan bahwa semakin besar hasrat untuk menghadirkan kebahagiaan surgawi di bumi, yang terjadi justru semakin mengarah pada penghadiran neraka di bumi.

Abad ke-21 seharusnya mengambil pelajaran sangat berharga itu dengan membaliknya: jauh lebih utama nan mendesak mengusahakan penghapusan atau meminimalkan kesengsaraan daripada berhasrat memberikan kebahagiaan.

Sayangnya, mindset utama para politikus, khususnya dalam tiap pemilu, justru sebaliknya: sangat berhasrat memaksimalkan kebahagiaan, seraya abai pada meminimalkan kesengsaraan rakyat.

Antara menghibur rakyat dan menghilangkan kesengsaraan itu perlu tindakan yang berbeda. Dalam praktik kebijakan politik, perbedaan dua pola pemikiran itu sungguh nyata. Jika fokusnya menghapus atau sekadar meminimalkan kesengsaraan rakyat, yang akan jadi fokus kebijakan adalah semua kebutuhan fundamental menjadi prioritas.

Penguasa terpilih wajib memantau atau memperbaiki ketersediaan kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang, menyediakan atau memperbaiki fasilitas publik yang fundamental seperti lembaga pendidikan, jalan raya yang aman dan baik, sistem keuangan yang memihak rakyat tak punya, layanan kesehatan yang optimal, pemenuhan hak dasar pendidikan, dan lain-lain.

Semua ini tak perlu janji-janji, tapi harus jadi kebijakan bagi siapa pun penguasa yang terpilih. Dalam praktik politik yang lebih mengedepankan harapan dan kebahagiaan sebanyak mungkin rakyat, yang sering terjadi justru penghamburan sumber daya vital yang akhirnya justru lebih menguntungkan kepentingan lingkaran elite penguasa-pengusaha.

Hal ini terlihat dari pembangunan fasilitas-fasilitas publik tanpa tujuan meminimalkan kesengsaraan rakyat, tapi demi melunasi janji keuangan. Hiburan kolosal nasional yang dibiayai dari pajak rakyat, olahraga spektakuler penuh fanatisme yang menggairahkan, pada atau fasilitas-fasilitas lain yang berusaha menghibur sebanyak mungkin rakyat.

Termasuk, jangan perlu lupa, untuk membayar utang propaganda pencitraan demi memoles kecemerlangan penguasa yang tidak beres. Yang paling parah dan tragis, para penguasa kemudian berkata: rakyat sudah sengsara, kasihan kalau tidak disuguhi hiburan. Ini sungguh omongan ngawur nan edan!

Maka, langkah awal untuk meminimalkan kekecewaan pada politik harapan adalah mengganti tema obrolan perihal kampanye: bukan fokus pada sosok politikus, tapi bicarakanlah perihal bagaimana strategi kebutuhan mendasar untuk menghilangkan kesengsaraan sosial, ekonomi, hukum.

Seperti menyediakan perumahan yang baik dan beres, jaminan kesehatan dasar yang terlaksana dengan baik, pemenuhan hak dasar pekerja, pendidikan yang baik, air bersih, transparansi pajak yang beres, sampai perihal kesetaraan gender dan pelayanan publik terhadap minoritas.

Sekali lagi, di hadapan kuasa politik yang keras, jauh lebih baik mengamankan dan memastikan kebijakan politik antikekecewaan daripada mengharapkan pemenuhan janji-janji politik.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Januari 2024. Penulis adalah peminat pedagogi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya