SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Suatu hari, di sebuah sekolah dasar (SD) di Kota Solo, belum lama ini, muncul dialog antara guru dan murid dalam mata pelajaran agama. Sang guru bercerita tentang kiamat dan kehidupan setelah itu, termasuk tentang malaikat, setan, surga, dan neraka.

Menurut sang guru, kelak orang-orang yang memiliki banyak dosa akan ”dibersihkan” terlebih dahulu siksa di neraka sebelum mereka masuk surga.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

”Pak, kalau sudah bersih dosanya, apakah nanti orang ini harus menelepon malaikat di surga untuk mengeluarkan dirinya dari neraka?” seorang murid bertanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan sang murid yang benar-benar ingin tahu dan berdiskusi, sang guru malah menghardik si murid itu.

”Heh! Jangan menggunakan agama untuk bahan candaan!” kata sang guru.

Sseisi kelas menjadi hening. Para murid saling menoleh dan bertanya siapa yang sedang bercanda.

”Saya tidak bercanda, saya hanya bertanya,” ujar si murid yang bertanya.

Pada akhir pelajaran, si murid masih resah atas sikap sang guru agama yang di luar ekspektasinya.

”Pak, kenapa pertanyaan saya tidak dijawab?” ujar si murid.

”Karena pertanyaanmu jelek!” kata sang guru dengan suara ketus.

Saya meyakini situasi itu sering terjadi di berbagai sekolah dengan berbagai konteks yang berbeda-beda. Banyak pendidik enggan berubah. Mayoritas guru masih memosisikan diri sebagai otoritas pemegang kebenaran di sekolah.

Tak ada diskusi. Hanya ada doktrinasi. Ini terjadi dalam semua mata pelajaran. Untuk menghitung luas lingkaran, semua harus mengikuti rumus L = ? × r × r tanpa perlu memahami kenapa harus memakai ? dan mengapa ? sama dengan 3,14.

Ketika murid bertanya kenapa demikian, banyak guru yang menjawab ”ikuti saja rumusnya”. Kita kerap lupa bahwa bertanya adalah salah satu manifestasi aktivitas berpikir sebagai hakikat manusia.

Di kelas-kelas filsafat, mahasiswa tidak asing dengan pernyataan terkenal Al Ghazali, al insanu hayawanun nathiq, manusia adalah hewan yang berpikir. Rene Descartes menyebut cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada.

Esensi manusia terdiri atas badan dan jiwa. Manusia memiliki badan layaknya makhluk lain, termasuk hewan, tetapi manusia juga punya jiwa yang jauh lebih kompleks daripada makhluk lain karena memiliki tujuan, kesadaran, dan kemampuan berpikir—termasuk mengajukan pertanyaan.

Kemampuan berpikir dan bertanya adalah kemewahan. Manusia tidak begitu saja mendapatkannya. Homo sapiens muncul 100.000 tahun yang lalu berdasarkan berbagai temuan arkeologi.

Manusia modern diyakini baru muncul 70.000 tahun lalu setelah mengalami ”revolusi kognitif” yang membuat mereka mampu keluar dari Afrika untuk kali pertama dan menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Revolusi itu adalah kemampuan berpikir sebagai manusia cerdas, memikirkan tujuan, masa depan, hingga pertanyaan paling abstrak tentang siapa Tuhan atau Sang Pencipta. Melarang orang berpikir dan bertanya sama saja membunuh hakikat manusia.

Sayangnya, itulah masalah mendasar yang tak pernah selesai di negara ini. Keburaman atmosfer di kelas-kelas sekolah hanya secuil gambaran tentang kemiskinan budaya berpikir dan bertanya.

Kemiskinan budaya berpikir itu terlembaga dalam norma-norma hukum yang mengekang. Ini juga tercermin dari watak pejabat publik yang berkuasa.

“Kalau pemerintah sudah bilang hoaks, ya hoaks. Kenapa membantah lagi?” kata Johnny G. Plate—saat masih menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika—menanggapi protes publik terhadap Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Oktober 2020.

Norma-norma yang mengekang kebebasan berpikir tersebar dalam berbagai UU dan sulit dihilangkan. Norma-norma itu, antara lain, muncul dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dua kali revisi UU itu tidak mengubah watak pengekangan. Pasal 27 ayat (3) dalam UU itu dihapus, tetapi diganti dalam bentuk lain dalam Pasal 27A. Pasal 28 ayat (2) juga direvisi tetapi hanya berubah dalam hal penekanan tindak pidana.

Malah muncul ayat baru, Pasal 28 ayat (3), yang mengancam siapa pun yang menyebarkan “pemberitaan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat”. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, pasal-pasal dengan norma yang mirip juga bermunculan.



Salah satunya Pasal 263 tentang penyiaran dan “berita atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan kerusuhan”. Ancaman pidananya enam tahun penjara. Ucapan Plate dan norma dalam pasal-pasal tersebut bermasalah dalam logika.

Pertama, siapa yang bisa menentukan sebuah informasi sebagai kebenaran atau kebohongan? Kedua, apa hak negara mengatur yang benar dan yang salah. Ini adalah watak pengekangan negara yang juga tercermin dalam dialog guru dan murid SD tersebut.

Para pembentuk undang-undang senang dengan norma-norma sejenis. Dalam KUHP lama atau UU Nomor 1 Tahun 1946, ancaman tersebut muncul dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Dua pasal ini kerap menjadi dakwaan alternatif dalam berbagai kasus pelanggaran UU ITE maupun kasus yang menjerat aktivis atau oposisi.

Norma-norma ini dibentuk pada masa kolonial sebagai kontrol atas penduduk pribumi dan diadopsi dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk mengontrol publik pada masa transisi pascakemerdekaan.

Negara terlihat masih ingin menikmati kuasa dari norma-norma hukum itu lebih lama. Pada Kamis, 21 Maret 2024, Pasal 14 dan 15 KUHP lama itu dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam uji materi yang diajukan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti bersama  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) itu, MK menyebut larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Putusan MK tersebut layak disebut kemenangan kecil untuk demokrasi. Putusan ini semestinya berlaku bagi norma-norma sejenis dalam KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang akan berlaku mulai Januari 2026.

Norma sejenis dalam UU ITE masih ada dan menjadi ancaman pengekangan. Larangan penyebaran berita bohong adalah salah satu celah hukum untuk mengekang, mengkritik, bertanya, dan berpendapat. Kita harus terus mengkritik dan bertanya sebelum—siapa tahu—semua akan kembali dikekang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya