SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Sebelum  dan setelah memandu diskusi peluncuran novel karya seorang perempuan penulis pada Sabtu (2/12/2023) malam di Rumah Banjarsari, Jl. Syamsurizal No. 10, Setabelan, Banjarsari, Solo, saya mengobrolkan materi “berat banget” dengan beberapa orang dari kalangan generasi Y dan generasi Z.

Apa lagi yang kami obrolkan kalau bukan situasi politik termutakhir seiring tahapan Pemilihan Umum 2024 yang makin mendekati hari pemungutan suara. Kawan-kawan mengobrol saya itu, sebelum dan sesudah diskusi  tentang novel itu, mengemukakan keresahan tentang berbagai kontroversi yang belakangan mengemuka, namun tak berujung solusi.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Salah satu materi pembahasan “berat banget” malam itu adalah ucapan eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo tentang “intervensi” Presiden Joko Widodo kala KPK saat itu menyidik kasus korupsi dana proyek KTP-el dengan tersangka Ketua DPR (saat itu) Setya Novanto.

Presiden Jokowi meminta KPK menghentikan penyidikan proyek KTP-el yang menyerat Ketua DPR Setya Novanto. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, dalam keterangan tertulis kepada wartawan—dan diberitakan banyak media—menyebut momentum pertemuan Presiden Joko Widodo dan Agus Rahardjo itu tidak masuk agenda presiden.

Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden Joko Widodo. Ari menyebut kenyataannya proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada 2017 dan berujung vonis pidana 15 tahun penjara yang berkekuatan hukum tetap. Intinya tidak logis Presiden Joko Widodo mengintervensi KPK saat itu.

Ada kehendak yang saya tangkap dari kawan-kawan mengobrol saya itu bahwa ungkapan Agus Rahardjo itu bisa berkembang menjadi bola politik panas yang kemudian menyala dan membakar yang berujung koreksia atas kemunduran demokrasi kita.

Kawan-kawan saya saat mengobrol itu kemudian berkesimpulan—sembari mengingat-ingat—bahwa slogan yang pernah diteriakkan kalangan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil beberapa tahun lalu, yaitu “reformasi dikorupsi”, ternyata benar adanya.

Kami berkesimpulan bisa jadi “intervensi” kepada Ketua KPK Agus Rahardjo saat itu adalah pangkal dari revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berlangsung cepat pada 2019 dan berujung pelemahan KPK.

Kini, pada akhir 2023 ini, telah tampak makin jelas bukti “reformasi dikorupsi” itu. Dua lembaga negara hasil gerakan reformasi pada 1998 telah dilemahkan sedemikian rupa, tak lagi layak disebut sebagai pendukung demokrasi. Dua lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi (MK) dan KPK.

Pelemahan MK telah terindikasi pula sejak lama dan menunjukkan bukti dengan penyelidikan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menyimpulkan telah terjadi tindakan lancung dalam penetapan putusan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Sepulang dari Rumah Banjarsari ingatan saya tertuju pada tulisan Rama A. Setyo Wibowo, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,  di Majalah Basis Nomor 03-04,  Tahun Ke-68, 2019, berjudul Demokrasi Tumbak Cucukan.

Tema yang sama dia presentasikan di Sekolah Basis pada 25-27 Agustus 2023 di Omah Petroek, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Inti yang saya tangkap dari pendapat Rama Setyo itu adalah sekarang ini kita berhadapan dengan manusia demokratis yang mulai menjadi tiran-tiran kecil.

Basis pemikirannya berpangkal pada pendapat Platon. Menurut Platon, rezim demokrasi adalah rezim perpecahan. Demokrasi berujung pada munculnya tirani. Dalam pandangan Platon, demokrasi adalah rezim kebebasan dan kesetaraan.

Ekses dari kebebasan yang bablas dan kesetaraan yang tak tahu batas malah memunculkan  manusia-manusia tiranis. Penguasa produk demokrasi begitu percaya dengan kata-kata dan opininya sendiri.

Berbekal kebebasan dan kesetaraan kemudian menjadikan apa pun yang ia pikirkan boleh diwujudkan—ingat putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden—tanpa takut akan sanksi apa pun. Ia mengecilkan keugaharian dan tidak peduli pada kehati-hatian.

Sikap keras kepala dan tindakan ngawur justru dianggap maju, pelopor, dan orisinal. Orang yang berbicara dan bertindak terukur, toleran, dan hati-hati justru dianggap tidak keren, tidak laku, terbelakang, ketinggalan zaman, dan kehilangan akal sehat.

Manusia (apalagi penguasa) demokratis yang berevolusi menjadi manusia tiranis adalah individu terbelah jiwanya. Situasi ini mengkhwatirkan pada tataran sosial karena memecah belah masyarakat. Celakanya lagi, kejiwaan yang terbelah itu potensial berbuah mimpi akan hadirnya sang tiran betulan, ya dirinya sendiri yang berkuasa itu.

Kajian ilmu politik dan demokrasi selalu menyebut sistem demokrasi dipilih bukan karena ideal. Semua rezim politik buruk. Demokrasi pun buruk. Hari-hari ini, dan mungkin juga banyak hari ke depan, keburukan itu terlihat nyata.

Walakin, ibandingkan semua rezim yang buruk, demokrasi yang paling sedikit keburukannya. Demokrasi kita pilih karena lesser evil atau minus malum. Keburukannya lebih ringan daripada keburukan lainnya.

Demokrasi mengatur penguasa hanya boleh berkuasa maksimal dua periode. Semua tatanan bernegara dan berbangsa diatur dengan undang-undang, hukum harus tegak. Yang dibutuhkan hanya kerendahan hati menaati hukum. Jangan pernah merekayasa hukum, apalagi hanya demi kekuasaan.

Manusia-manusia demokratis tiranis selalu ada. Sejauh manusia-manusia tiranis tidak melanggar hukum, mereka harus dilindungi  hukum. Yang celaka adalah ketika manusia tiranis yang berkuasa itu malah mempermainkan hukum.

Demokrasi yang baik—keburukannya sedikit—mensyaratkan hukum harus baik dan tegak.  Manusia-manusia demokrasi tiranis akan terkendalikan ketiak pendidikan mengajarkan urgensi sopan santun (etika, moralitas). Bukankah hanya pendidikan yang memunculkan manusia beradab?

Kita masih punya harapan memperbaiki demokrasi kita apabila bersedia secara rendah hati menanamkan kembali urgensi sopan santun yang beradab kepada generasi muda. Kalimat yang berkali-kali kita dengar pada hari-hari ini, yaitu “biarkan rakyat yang memilih”,   sesungguhnya bagian nyata dari kerja manusia-manusia tiranis… yang tidak punya sopan santun.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Desember 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya