SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri (FOTO/Dok)

M Fauzi Sukri (FOTO/Dok)

Santri Bilik Literasi
Bergiat di Bale
Sastra Kecapi Solo

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Ruang kelas sekolah mengisahkan anak bangsa Indonesia dengan segala perjuangan, pemberontakan, pengerdilan, penghilangan diri, bahkan kematian jiwa dan fisik. Sejarah biografis anak Indonesia ada dalam kelas. Kelas menjadi arena sihir pukau modernitas yang menjadi babak dimulainya kebangkitan bangsa ini menuju ”kemadjoean”.
Yang paling banyak mengalami semua ini adalah para pejuang kemerdekaan-kebangsaan Indonesia seperti Soetomo, Soekarno, Haji Agus Salim, RA Kartini dan seterusnya.  Sejarawan George McTurnan Kahin (1952) yang menulis Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia adalah Kartini bukan Boedi Oetomo.
Tapi, kepeloporan Kartini harus diawali oleh pemberontakan, pengkhianatan dan trauma. Tak boleh seorang bocah perempuan masuk sekolah! Ini adalah, seperti ditulis Kartini kepada Estella Zeehandelaar, 25 Mei 1899, suatu ”pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan keluar rumah untuk belajar…”
”Di kelas, orang-orang Belanda menertawakan kami dan mengejek kebodohan kami tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah…,” kata Kartini mengenang.
Dalam satu fragmen suratnya  kepada Nyonya Abendanon (Agustus 1900), Kartini menceritakan pengalaman traumatis yang, seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer (2010: 63), kelak ternyata menjadi kunci dari perjuangannya yang tak kenal menyerah.
Di bawah pohon-pohon yang sedang berkembang kuning di pelataran taman sekolah, Kartini mendapatkan pertanyaan ganjil dari teman kelasnya, Lesty, yang tak pernah terbayangkan oleh seorang bocah Jawa pada zamannya dan sebelum dia,”Coba katakan, Ni, kau tak pernah ceritakan padaku, kau mau jadi apa kelak?” Si Jawa itu menggelengkan kepala dan menjawab pendek,”Tidak tahu.”
Tapi, pertanyaan kawannya, gadis kulit putih itu, meninggalkan kesan dalam padanya. Pertanyaan itu menyiksanya, tak henti-hentinya berdengung pada kupingnya,”Kau mau jadi apa kelak?” Ia berpikir dan berpikir. Hari itu ia menjalani banyak hukuman di sekolah, ia begitu kacau memberikan jawaban-jawaban bodoh kalau ditanyai dan melakukan kesalahan-kesalahan yang paling tolol dalam pelajarannya.
Kartini begitu tergugah oleh pertanyaan kawannya itu sehingga tak memedulikan pelajaran dan pertanyaan gurunya. Dan kelak pertanyaan kawan Kartini itu menjadi pertanyaan wajib di dalam kelas sampai hari ini.

Sihir Angka
Dan tak hanya itu, Kartini melaporkan,”Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid berhak menerimanya.” Kisah ini tak hanya sampai pada masa Kartini. Dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams (1966: 39), presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, juga punya cerita menjengkelkan tentang nilai angka di dalam kelas.
Soekarno mengatakan,”Kami memunyai suatu pemeo mengenai angka-angka ini: angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk profesor, angka delapan untuk anak yang luar biasa, tujuh untuk Belanda, dan enam untuk kami. Angka sepuluh tidak pernah diterima oleh anak Bumiputera.”
Aktivis mahasiswa Soe Hok Gie (2011: 58) juga pernah mencatat hal yang sama pada 4 Maret 1957. ”Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan Ilmu Bumiku delapan tapi dikurangi tiga jadi tinggal lima. Aku tak senang dengan itu. Aku iri karena di kelas merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidak-tidaknya aku yang terpandai dalam Ilmu Bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu. Kertasnya aku buang. Biar aku dihukum, aku tak pernah jatuh dalam ulangan.”
Pada zaman penjajahan Belanda angka menjadi kutukan dan pencemoohan untuk membentuk complex colonial,  inferiority complex, serangan psikologis terus-menerus agar diinternalisasi bahwa orang Indonesia sebagai bangsa pemalas dan bodoh. Angka menyeruakkan dendam, pemberontakan dan tekad untuk melawan kemunafikan dan ketidakadilan.
Angka juga menjadi dambaan meski dengan jalan manipulasi, menipu dan menyontek massal, bahkan seorang guru bisa berlaku tidak sepantasnya demi angka yang akan meluluskan anak didiknya dan sebagainya. Itulah kenapa tidak akan pernah ditanyakan kepada seorang siswa atau bahkan mahasiswa tingkat doktoral satu pertanyaan sederhana ini: gagasan atau karya apa yang telah kamu hasilkan dan sumbangkan untuk Indonesia atau dunia? Semua ini berangkat dari ruang kelas.

Ironi Keindonesiaan
Hal tersebut sebenarnya tidak begitu mengherankan. Sampai saat ini bersekolah berarti mencari dan berusaha mencapai angka dalam tarikan yang tertalu nasionalistik-keindonesiaan bukan keilmuan dan kemanusiaan. Untuk murid sekolah, ruang kelas adalah ruang mengalami keindonesiaan.
”Kini masa sekolah mengandung makna sebagai pengalaman nasional yang mendasar, yang di dalamnya anak-anak belajar bahasa Indonesia dan menjadi orang Indonesia,” kata Saya Sasaki Shiraishi (2009:197) dalam disertasinya, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik.
Dalam ruang kelas, yang meskipun seperti ruang kelas Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2005) seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh, narasi imajinasi keindonesiaan terus ditanamkan: potret para pahlawan nasional dan potret presiden dan wakil presiden dipajang di dinding, seolah sedang menatap para murid dan guru, pelajaran bahasa Indonesia, sejarah perjuangan kebangsaan, nyanyian pembangkit nasionalisme dan lain-lain. Hal-hal yang bisa melampaui tiga hal dalam imajinasi para pencetus Sumpah Pemuda 1928. Kelas lebih menjadi ruang politik, bukan ruang keilmuan.
Di dalam kelas, pada masa Orde Baru (sampai sekarang?), belajar terdiri dari pengulangan dan mereproduksi suara dan tulisan resmi, tak boleh keluar dari itu yang akan mengancam stabilitas politik. Maka, seperti diamati antropolog Saya Sasaki Shiraishi (2009: 226-227), belajar adalah merekonfirmasi: belajar adalah mengulang dan menyalin, belajar adalah menyatu dalam suara resmi dalam keresmian… Proses ini secara efektif mengandung makna bahwa tidak ada hal yang tidak diketahui.
Inilah model pendidikan yang tak boleh ada pertanyaan menggugah-menggugat, pertanyaan penjelajahan keilmuan, penjelajahan yang keluar dari buku teks pemerintah, atau sikap penuh ingin tahu yang kritis yang menyeleweng dari tatanan yang sudah dikehendaki oleh rezim (ilmu dan politik): roh jiwa invensi dan eksplorasi ilmu. Di ruang kelas hasrat keilmuan, kecendekiaan dan intelektualitas tak boleh tumbuh dini dalam ruang (kelas) kebangsaan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya