SOLOPOS.COM - Muhammad Afif Nur Hanan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2045. Tidak lama lagi. Bonus demografi adalah momentum ketika penduduk berusia produktif (15 tahun hingga 64 tahun) lebih banyak daripada yang berusia nonproduktif (65 tahun keatas).

Ini bisa jadi adalah momentum yang tentu ditunggu para founding parents negara tercinta ini. Seratus tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Apakah kita mampu mendapatkan momentum bonus demografi ini dengan maksimal?

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Tentu pertanyaan ini harus dijawab oleh semua anak muda, generasi milenial dan generasi Z. Bonus demografi memungkinkan sebagai momentum suatu negara mengalami kemajuan. Momentum yang sangat langka tentu.

Ketika penduduk usia produktif mampu memaksimalkan berbagai potensi, tentu akan menghasilkan sesuatu yang baik. Bonus demografi dipandang saat ini seperti telur di ujung tanduk. Kemungkinannya hanya jatuh—lalu pecah dan tak berguna—atau menetas.

Telur adalah simbol anak muda saat ini dengan berbagai potensi yang mungkin tependam, namun mudah digoyang oleh budaya atau pengaruh luar yang diibaratkan angin. Angin dapat menjatuhkan telur dengan berbagai potensi yang ada di dalamnya.

Saat ini berbagai budaya atau tren masa kini telah banyak bermunculan yang mungkin dapat memengaruhi cara pandang dan perilaku anak muda. Tentu kita mengetahui bagaimana corak anak muda saat ini yang selalu sarat akan pencarian eksistensi, foya-foya, ikut-ikutan, tidak berpendirian, pragmatis, dan seterusnya.

Apakah angin dapat menggoyang telur tersebut? Kembali ke diri kita sendiri sebagai kaum muda tentu saja. Dalam sektor demokrasi, misalnya, anak muda seolah-olah abai dengan realitas pesta demokrasi.

Budaya yang muncul dan berkembang adalah anak muda dalam memandang pesta demokrasi terbagi menjadi dua, yakni apatis dan fear of missing out atau FOMO. Budaya FOMO saat ini menjadi tren baru di kalangan anak muda.

Ini jelas kosakata asing di mata kaum yang lebih tua. Sederhananya FOMO adalah sifat gampang terpengaruh karena ingin mengikuti tren. Tidak berpendirian, gampang terpengaruh, dan ikut-ikutan. Termasuk dalam pesta demokrasi yang baru saja berlalu, anak muda yang FOMO menjadi segmen empuk dalam memperoleh suara.

Sebaliknya, kaum apatis, salah satunya dalam pemilu yang baru berlalu, tidak tertarik mengikuti—siapa pun presiden dan wakil rakyat yang terpilih tidak ngaruh pada kehidupan saya, misalnya—dan biasanya akan menjadi bagian golongan putih atau golput.

Apatisme ini mungkin karena karut-marutnya perpolitikan di negeri ini sehingga muncul trust issue yang berbiah apatisme. Tentu ketika kondisi budaya apatis dan FOMO dilanjutkan memunculkan pertanyaan: bagaimana kita dapat membawa negara ini ke arah lebih baik?

Disuruh memilih saja tidak niat, apalagi paham esensi pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Bagaimana dapat menetukan masa depan? Mungkin secara mekanisme pemilu hanyalah mencoblos surat suara, namun secara substansi bukanlah sesederhana tersebut.

Secara substansi, pemilu adalah bagian dari demokrasi. Di dalamnya mengandung berbagai nilai. Nilai kecerdasan dalam memilih berbasis gagasan atau program yang dibawa para kandidat pemimpin dan kandidat wakil rakyat.

Memilih yang demikian ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh kaum bermotif apatis atau FOMO. Perlu dilandasi kecerdasan dan kemampuan menganalisis.

Pengetahuan tentu terlibat di dalamnya. Ketika seluruh anak muda berpikir dan membudayakan sikap semacam itu, tentu akan memiliki kemampuan berpikir kritis.

Tentu saja kekhawatiran akan kualitas kaum muda pada 2045 akan meningkat dengan basis analisis hanya dari urusan partisipasi dalam demokrasi. Bagaimana dengan sektor lain? Apakah bonus demografi malah menjadi beban negara?

Telur terjatuh oleh angin atau sebaliknya akan bertahan kuat, menetas, dan bertumbuh? Ketika beraktivitas di media sosial jauh lebih lama daripada membaca buku, ketika forum diskusi semakin menurun di kalangan mahasiswa maupun anak muda, ketika angka menjadi orientasi utama, ketika eksistensi lebih dihargai, ketika berani berbeda akan terdampak sosial, dan lain sebagainya, masihkan kaum muda menjadi harapan bangsa?

Masih layakkah berharap kepada anak-anak muda? Generasi muda kini memang layak menjadi sorotan dalam segala lini kehidupan. Apakah kaum muda Indonesia masa kini akan membiarkan budaya yang tidak baik menjadi kebiasaan yang mengakar? Tentu tidak.

Tidak ada kata terlambat untuk menjadi berani berbeda dalam hal kebaikan. Jangan benarkan yang biasa, akan tetapi biasakan yang benar, walaupun  berbeda.

Jika kaum muda hanya mengikuti tren yang sifatnya pragmatis, apatis, FOMO, eksistensi, dan sebagainya, bagimana dengan kualitas anak muda pada masa mendatang.

Tentu budaya baik harus kita bangun. Mulai dari diri sendiri dan tularkan kepada lingkungan sekitar. Berani berbeda dalam hal baik, menantang arus buruk budaya yang sedang mengalir. Kemajuan negara ditangan kita semua. Mari wujudkan bonus demografi yang berkemajuan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Februari 2024. Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya