SOLOPOS.COM - Muhammad Fatikh Anwari (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kini makin banyak di kalangan mahasiswa. Gayanya khas. Kekinian. Bermerek terkenal dari ujung kepala sampai kaki. Warna-warni serta harganya pasti mahal. Di tangan mereka tergenggam gawai pintar keluaran terbaru.

Selalu bergerombol sampai belasan orang. Kalau ngomong seolah-olah rahang mereka tak bisa mengatup. Topik pembahasan beraneka ragam, namun jauh dari pembahasan yang berbobot.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Setidaknya begitu gambaran kehidupan (sebagian) mahasiswa di tengah gempuran budaya pop. Saat ini kampus tak hanya menjadi menara gading intelektual, namun juga bertransformasi menjadi pusat mode bagi kehidupan mahasiswa.

Banyak mahasiswa yang berubah setelah masuk kampus. Selera lidah, gaya berpakaian, maupun pergaulan berubah. Banyak di antara mereka berkiblat pada yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.

Pada dasarnya (sebagian) mahasiswa hanya mengikuti selera pasar demi label keakuan dan agar tidak dipandang ketinggalan zaman. Sindiran telak dilantukan band Efek Rumah Kaca lewat tembang dengan judul Belanja Terus Sampai Mati.

akhir dari sebuah perjalanan / mendarat di sudut pertokoan / buang kepenatan.. / atas bujukan setan hasrat yang dijebak zaman / kita belanja terus sampai mati…

Menghamburkan uang pada hal-hal demikian sah-sah saja untuk dilakukan, tetapi alangkah lebih bijak menentukan skala prioritas dan membelanjakan sesuai kebutuhan.

Kehidupan budaya pop bukanlah sesuatu yang baru di tengah hiruk pikuk kehidupan kampus. Mahasiswa sejak dahulu memiliki ketertarikan yang cukup besar untuk mengikuti mode di pasaran.

Majalah Gatra edisi 3 Januari 1998 menjelaskan, berdasarkan hasil survei tim majalah tersebut, pengeluaran untuk jajan menjadi prioritas utama (49,4%) disusul pengeluaran untuk nongkrong (30,8%) mengisi waktu luang mereka.

Hanya sedikit untuk membeli peralatan penunjang pembelajaran (19,5%). Ironis memang. Hedonisme mahasiswa pada akhirnya menggerus budaya intelektual di dalam kampus.

Mahasiswa saat ini mulai kehilangan obrolan bermutu. Tak terdengar lagi hiruk pikuk diskusi di kalangan mahasiswa seperti yang digambarkan Leila S. Chudori dalam novel Laut Bercerita (2017).

Ketika kita menelisik cerita terdahulu, para filsuf berkumpul di kafetaria untuk mendiskusikan aneka masalah. Jean Paul Sartre dan Simone De Beauvoir mendiskusikan berbagai masalah dan memunculkan banyak ide di  Les Deux Magots.

Konon revolusi Prancis bermula dari obrolan kecil para aktivis kemerdekaan Prancis di kafetaria. Kafetaria yang sebelumnya menjadi tempat paling demokratis kini berubah menjadi tempat penuh omong kosong.

Tan Malaka dalam buku Madilog (2022) pernah berkata selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa terbentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu pakaian dan makanan dikurangi.

Sangat kontras dengan yang terjadi hari ini. Kebutuhan perut dan rasa ingin terlihat fashionable mengalahkan rasa ingin mengasah kecerdasan. Tan Malaka juga pernah berkata tujuan pendidikan untuk mempertajam kecerdasan.

Dengan pengeluaran demi tren lebih banyak daripada membeli buku, seharga segelas kopi yang mereka pesan di kedai kopi langganan, secara tidak langsung mereka terisolasi dan terasing dari buku-buku bacaan yang dapat mempertajam kecerdasan.

Pengaruh besar semacam ini nyaris tak terbendung. Daya literasi menjadi penting untuk dipertanyakan kembali. Pemandangan membaca di bawah pohon rindang hilang dari kehidupan kampus.

Sangat jarang kita temukan mahasiswa yang di dalam tas berisi buku-buku bacaan atau ketiaknya mengapit buku-buku. Kehidupan hedonis dan modis juga menciptkan elitisme pada mahasiswa.

Elitisme ini bukan berarti mereka jauh dari rakyat, namun lebih pada sisi psikologis mereka yang mendorong menjadi sosok yang megalomania. Dengan label sebagai agent of change banyak di antara mereka yang tanpa sadar masuk jebakan untuk mencapai top level position.

Sikap semacam inilah yang akhirnya menciptakan jarak antara mahasiswa dan kaum duafa—rakyat, padahal sebagai elemen people power mahasiswa seharusnya jangan sampai jauh dari rakyat.

Pola-pola seperti itu akan menciptakan kecenderungan bersikap individualistis dan cuek. Kehidupan pascakampus menghadapkan mereka dengan kondisi rill, bertahan dengan idealisme atau bertahan untuk terus hidup di tengah masifnya hedonisme.

Hedonisme sesungguhnya telah menjangkiti semua sendi kehidupan, bahkan pola berpikir. Upaya menghindari kecenderungan negatif ini sangat butuh peningkatan kesadaran di kalangan mahasiswa.

Kesadaran ini sebagai antitesis kehidupan elitis mahasiswa akibat habitus kehidupan materialistis-hedonis. Kesadaran ini dapat tercipta melalui peningkatan literasi yang masif—budaya literer, membaca dan menulis—sehingga mahasiswa terhindar dari pola pikir yang hanya panas di luar namun senyap di dalam.

Sebagai agent of change sebaiknya mahasiswa tidak menganggap diri lebih tinggi dan jauh dari kehidupan sosial masyarakat, seperti pesan Tan Malaka dalam memoar Dari Penjara ke Penjara (2017).



Apabila kaum muda yang  telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Oktober 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya