SOLOPOS.COM - Danang Nur Ihsan (Solopos/Istimewa)

Awal pinjamnya dulu jajan, beli barang-barang dan jalan-jalan, akhirnya kesulitan buat membayar. Pinjamnya di dua aplikasi yang legal, totalnya sebesar Rp4 juta. Akhirnya tergiur untuk pinjam di ilegal karena lebih cepat dan pasti disetujui.

Begitu kata Gilang, salah satu mahasiswa di Kota Solo ihwal dirinya bersinggungan dengan aplikasi pinjaman online atau pinjol. Beberapa mahasiswa juga memiliki kisah yang tak jauh beda. Memanfaatkan aplikasi pinjaman online untuk berbagai kebutuhan mulai dari jajan, jalan-jalan, hingga menuntaskan gairah gaya hidup. Tidak sedikit mahasiswa yang harus gali lubang tutup lubang. Pinjaman di salah satu aplikasi pinjol dipakai untuk menutup pinjaman di aplikasi lainnya.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Fenomena mahasiswa di Kota Solo yang ngutang di aplikasi pinjaman online seperti diulas di Harian Solopos dan Solopos.com dalam beberapa hari terakhir ini memantik kenangan saya di era awal tahun 2000-an kala masih menjadi mahasiswa. Dulu agak sering utang ke angkringan atau wedangan depan tempat indekos untuk “bertahan hidup” saat uang saku habis. Atau paling banter ngutang ke teman indekos saat punya kebutuhan mendesak. Senekad-nekadnya ya menyekolahkan (baca: menggadaikan) komputer Intel Pentium 4 ke Pegadaian dekat kampus. Saat sudah punya dana segar, komputer bisa kembali ditebus.

Zaman sudah berubah. Pesatnya perkembangan teknologi, melajunya dunia digital mengubah tatanan hidup manusia bahkan sampai pada hal yang remeh temeh. Cara belanja, cara menikmati informasi, cara kulineran, termasuk juga cara berutang yang kini jauh lebih simpel dan mudah. Cukup dari smartphone, memilih aplikasi pinjaman online, mengunggah data diri (biasanya KTP) dan bersedia memberi akses “kontak” yang kita punya kepada pengelola aplikasi, dana segar bisa cair dalam hitungan menit.

Fenomena anak-anak muda yang “akrab” dengan pinjaman online ini tidak lepas dari tipikal Generasi (Gen) Z yang memang sejak lahir sudah familier dengan platform digital atau istilahnya tech savvy. Ini sedikit berbeda dengan generasi sebelumnya yaitu generasi milenial yang cenderung mixing antara konvensional dan teknologi.

Gen Z cenderung bisa mengoperasikan peralatan teknologi, cepat mengaplikasikan berbagai layanan dalam platform digital termasuk pinjaman online itu tadi. Kondisi ini kian lengkap dengan kekhasan mereka dalam urusan finansial. Keuangan menjadi salah satu hal yang diprioritaskan oleh Gen Z, termasuk mereka merasa bahwa uang adalah hal yang dapat memenuhi kebahagiaan mereka.

Ihwal finansial pada Gen Z ini sebenarnya ada fenomena menarik lainnya selain soal pinjol yaitu maraknya investor muda di berbagai varian investasi, khususnya yang berbasis platform digital. Misalnya saja kini kian banyak Gen Z—bahkan sejak SMA—yang akrab dengan investasi saham hingga reksa dana.

Suatu ketika saya pernah ngobrol dengan seorang mahasiswa yang kuliah di Malang. Dia begitu fasih ngomongin kode emiten pasar modal, cas cis cus berbagai istilah investasi saham dari initial public offering (IPO) atau penawaran umum perdana, auto reject atas (ARA) sampai nyebut istilah boncos saat saham yang dibeli turun dan akhirnya rugi. Termasuk juga cerita tentang pemikiran Warren Buffet hingga Le Kheng Ho soal investasi saham.

Menariknya Gen Z yang punya pemahaman finansial seperti mahasiswa itu jumlahnya banyak. Menjelang tutup tahun 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut jumlah investor pasar modal di Indonesia menembus 10,3 juta investor dan itu didominasi Gen Z dan milenilal.

Pertumbuhan jumlah investor ritel hampir 10 kali lipat dibandingkan 5 tahun terakhir. Lagi-lagi pertumbuhan investor ini ditopang investor muda yang usianya di bawah 30 tahun yaitu 58,74 persen. Tak main-main aset Gen Z di pasar modal menembus Rp80,97 triliun.

Fenomena ini juga tidak lepas dari mudahnya Gen Z mengakses layanan investasi yang mereka inginkan di berbagai platform digital. Buka e-commerce misalnya, langsung ada tawaran untuk join investasi reksa dana mulai puluhan ribu rupiah. Atau nabung emas juga banyak ditawarkan. Aplikasi mobile banking juga menjadi super apps karena menawarkan berbagai layanan keuangan yang superkomplet dari transfer, cek saldo, bayar ini itu, reksa dana, sampai saham yang bisa dimulai dari Rp100.000 saja.

Maraknya pinjol di kalangan muda hingga menjamurnya investor muda ini menjadikan literasi finansial hal yang sangat penting. Soal pinjaman online misalnya, data Statistik Fintech Lending periode November 2022 yang diterbitkan OJK pada 3 Januari 2023 mencatat nilai kredit macet dengan tunggakan di atas 90 hari rentang usia 19–34 tahun mencapai Rp766,40 miliar atau berkontribusi 53,9 persen.

Ini potret adanya risiko kredit macet atau gagal bayar utang di kalangan Gen Z dari pinjol. Soal benar atau salah Gen Z—khususnya yang belum punya penghasilan—punya utang di pinjol tentu panjang untuk diperdebatkan. Atau soal uang hasil ngutang itu digunakan untuk sekadar “bertahan hidup” atau untuk menuntaskan gairah gaya hidup juga bisa diperdebatkan. Hal yang pasti dari itu semua adalah pentingnya pemahaman Gen Z tentang risiko berutang seperti kemampuan bayar. Berani ngutang, harus bisa mengalkulasi kemampuan bayarnya khususnya bila belum punya penghasilan sendiri.

Banyak pakar keuangan yang menyebut rasio utang idealnya di bawah 35% dari penghasilan. Bagaimana dengan Gen Z yang belum punya penghasilan tetap dan sudah punya utang, tentu risikonya lebih besar. Paling gampangnya dikejar-kejar tukang tagih pinjol untuk segera melunasi hingga tersebarnya data pribadi karena urusan ini.

Begitu pula dengan investor dari kalangan Gen Z. Menjamurnya investor muda adalah kabar baik yaitu anak muda kian melek investasi, namun literasi finansial tetap harus ditanamkan. Misal saat mereka berinvestasi saham tentu harus memahami berbagai risiko investasi seperti konsep high risk high return. Mau cepat-cepat dapat hasil memasukkan banyak uang saku ke pasar modal, saat merugi tidak lagi punya uang saku. Bingung akhirnya mengajukan pinjol. Kan repot bila seperti ini.

Penguatan literasi finansial ini menjadi penting karena Kemendikbud menyebut ada enam literasi dasar yang harus dikuasai untuk menghadapi era industri 4.0, salah satunya literasi finansial. OJK, pemerintah, Bursa Efek Indonesia, lembaga keuangan dan finansial dari perbankan, fintech, sampai sekuritas punya peran yang sama untuk menguatkan literasi finansial dan mencegah Gen Z menjadi generasi boncos.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya