SOLOPOS.COM - Hijriyah Al Wakhidah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – DPR dan pemerintah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (4/6/2024).

Salah satu isu utama dalam undang-undang tersebut adalah hak cuti melahirkan. Ibu hamil yang bekerja berhak mendapat cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Undang-undang itu juga mengatur seorang ibu yang sedang cuti karena melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaan dan tetap memperoleh hak, termasuk mendapat upah penuh untuk tiga bulan.

Dari sudut pandang kesehatan, khususnya pemenuhan kebutuhan laktasi, cuti hingga enam bulan memang berdampak baik bagi ibu dan anak, khususnya untuk memberikan daya ungkit terhadap pemberian air susu ibu atau ASI eksklusif.

Cuti dengan periode lebih lama diyakini mampu mengoptimalkan status kesehatan ibu dan bayi hingga berdampak positif pada ketahanan keluarga. Beristirahat lebih lama di rumah setelah melahirkan juga diharapkan mengurangi risiko depresi dan stres ibu setelah melahirkan.

Pengesahan RUU ini menjadi undang-undang tentu patut diapresiasi. Ibu dan anak adalah bagian paling penting dari keluarga dan keluarga adalah institusi terkecil, tapi yang utama berperan membangun sumber daya manusia Indonesia.

Keluarga adalah wadah penting yang menentukan kualitas dan perkembangan generasi muda penerus bangsa. Merujuk nama Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang diubah menjadi Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan, perlu ditanamkan paradigma penting bahwa urusan anak bukanlah hanya menjadi urusan ibu.

Kesejahteraan ibu dan anak akan optimal jika ada peran penuh ayah turut serta memberikan perlindungan, pertolongan, dan yang paling penting pendampingan dan mengurus anak. Kenapa ayah juga harus menjadi subjek strategis kebijakan ini?

Mungkin beberapa di antara kita masih ingat kisah pilu di Jakarta Selatan tentang bayi laki-laki berusia tiga bulan yang ditenggelamkan ibunya dalam ember. Si ibu diduga mengalami baby blues syndrome dan depresi sehingga tega melukai buah hatinya sendiri dengan cara keji.

Komisi Nasional Perlindungan Anak saat itu menyampaikan baby blues terjadi karena sang ibu stres dan harus merawat tiga anak sekaligus, semuanya masih berusia di bawah lima tahun atau balita.

Pada September 2019, seorang ibu di Bandung membunuh anak perempuannya, bayi berusia tiga bulan, dengan pisau dapur karena baby blues. Seorang ibu di Sukabumi melukai suaminya dengan senjata tajam.

Hal itu dilakukan lantaran kesal sang suami kerap meminta berhubungan seksual, padahal saat itu sang ibu baru melahirkan anak ketiga, dua bulan sebelumnya. Usut punya usut, sang ibu tersebut mengalami depresi setelah melahirkan yang disebabkan baby blues.

Pada awal 2019, di Cilacap, seorang ibu berusia 32 tahun bunuh diri sambil membawa bayinya terjun dari jembatan Sungai Serayu yang mengakibatkan keduanya meninggal dunia. Baby blues lagi-lagi jadi pemicu.

Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dirilis pada awal 2024 menunjukkan 57% ibu-ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues atau depresi setelah melahirkan. Angka tersebut menjadi yang tertinggi di Asia.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) mencatat 10%–15% perempuan di dunia mengalami depresi setelah melahirkan. Baby blues syndrome, stres, dan depresi, tidak hanya disebabkan perubahan hormon.

Adaptasi terhadap rutinitas serta peran baru setelah melahirkan kerap menjadi pemicu. Jika proses adaptasi itu tidak disokong perhatian dan kepedulian keluarga, khususnya suami, potensi stres akan lebih besar.

Kasus-kasus itu terjadi karena minimnya kehadiran suami di tengah adaptasi yang berat yang dialami seorang perempuan setelah melahirkan. Cuti panjang hingga enam bulan yang belakangan disambut positif oleh kebanyakan calon ibu mungkin akan sia-sia jika peran ayah tidak menjadi subjek yang strategis.

Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan mungkin sudah menekankan tentang pentingnya peran ayah, bahkan di undang-undang lain yang menyangkut ketahanan keluarga dan kesehatan.

Agama Islam mengajarkan peran seorang ayah yang sedemikian rupa. Sayangnya, peran ayah di Indonesia dalam pengasuhan anak rupanya masih sangat minim. Laman kemenpppa.go.id menginformasikan Indonesia masuk peringkat ketiga fatherless country di dunia atau negara yang “kehilangan” peran ayah.

Fenomena fatherless ini membutuhkan perhatian khusus karena dampak minimnya peran ayah cukup besar bagi masa depan anak. Saya berharap pengesahan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang mampu menepis kekhawatiran para aktivis perempuan sesaat sebelum RUU disetujui.

Jangan sampai undang-undang tersebut akhirnya membakukan peran domestik perempuan dan melanggengkan konsep bahwa urusan anak adalah urusan ibu.

Ini bukan semata-mata soal bisa cuti enam bulan, namun bagaimana enam bulan itu benar-benar menjadi waktu yang berkualitas, bukan hanya untuk ibu dan anak, tapi juga keluarga, dan menjadi awal mula penciptaan generasi emas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya