SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Seorang  pengemis di India bernama Bharat Jain memiliki kekayaan bersih nyaris Rp15 miliar. Ia  disebut pengemis terkaya di dunia. Bharat lahir di keluarga yang terbatas secara finansial. Ia tidak dapat mengenyam pendidikan formal.

Bharat menggantungkan hidup dari belas kasihan orang yang ditemui di jalanan. Dari sanalah ia bisa memiliki kekayaan bersih US$1 juta atau sekitar Rp15 miliar. Penghasilan bulanan 60.000 rupee hingga 75.000 rupee atau Rp10 juta hingga Rp13 juta.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Dia pengemis yang memiliki insting pengusaha. Dia bukan sembarang pengemis. Uang hasil mengemis dia investasikan di real estate. Bharat memiliki flat dua kamar tidur di Mumbai dan dua toko di Thane yang menghasilkan pendapatan sewa bulanan Rp5 juta.

Bharat tetap menganggap penting pendidikan. Ia menjamin pendidikan dua anaknya. Sejauh ini Bharat tidak kesulitan membiayai pendidikan dua anaknya. Semua biaya kebutuhan pendidikan ia ambilkan dari penghasilannya sebagai pengemis.

Mengemis barangkali menjadi passion Bharat Jain. Dengan kekayaan bersih Rp15 miliar, sebetulnya ia bisa dengan mudah meninggalkan pekerjaan sebagai pengemis. Ia bisa menanggalkan baju lusuh yang biasa ia pakai dengan pakaian mahal.

Bharat Jain tetaplah Bharat Jain. Tidak ada yang bisa mengajaknya berhenti mengemis, meski itu keluarga sendiri. Ia terus mengemis di jalanan Mumbai. Banyak yang berpendapat dedikasinya mengemis didorong kombinasi kebiasaan dan rasa kebersamaan atau solidaritas dengan sesama pengemis.

Ada juga yang menganggap mengemis adalah kepuasan emosional setelah berinteraksi dengan orang-orang yang memberinya sedekah. Cerita pengemis kaya banyak mengemuka. Di Indonesia uga banyak ditemukan pengemis “kaya”.

Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Daerah Istimewa Yogyakarta pernah menemukan pengemis yang membawa uang Rp27 juta, hasil mengemis sepekan. Uang itu ditemukan di kantong plastik yang dibawa seorang pengemis di kawasan Malioboro.

Dalam kondisi sepi, pengemis itu bisa meraup keuntungan Rp500.000 per hari. Pendapatan para pengemis dalam kondisi sepi bisa mencapai Rp15 juta per bulan. Seorang pengemis bernama Cipto Wiyono Sukijo, 74, di Kabupaten Sragen pada 2019 kedapatan membawa uang tunai Rp12 juta dan tabungan deposito Rp25 juta.

Belakangan, seorang teman melalui akun Facebook mengabarkan dirinya urung memberikan uang kepada seorang pengemis yang ia temui di depan sebuah toko modern di tengah malam. Awalnya, ia merasa iba dengan pengemis itu sehingga bermaksud memberi sejumlah uang.

Mendadak ia berubah pikiran setelah mendapati pengemis itu memainkan sebuah ponsel Android yang tergolong masih bagus. Kisah Bharat Jain dan sejumlah pengemis “kaya” itu membuka mata kita. Pengemis yang biasa menerima bantuan sedekah ternyata hanya kedok semata.

Pengemis yang kerap mengundang rasa iba ternyata dikomersialkan. Mengemis ternyata bisa jadi ladang bisnis yang menghasilkan uang melimpah. Tak mengherankan mereka mendapat julukan pengemis kaya atau tajir.

Munculnya fenomena pengemis tajir tidak bisa dilepaskan dari status Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Indonesia dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index (WGI) pada 2018, 2021 dan 2022.

WGI dikeluarkan oleh badan amal Charities Aid Foundation (CAF). Dalam laporan WGI 2022, CAF mengukuhkan Indonesia di peringkat pertama dengan skor 68%, lebih rendah 3% dibanding skor pada tahun sebelumnya.

Menurut laporan WGI, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga kategori atau indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang uang, menyumbang kepada orang asing atau tidak dikenal, dan partisipasi dalam kegiatan kesukarelawanan atau volunterisme.

Hasil penelitian CAF menunjukkan 84% orang Indonesia menyumbang uang pada 2021, jauh lebih tinggi daripada skor rata-rata global (35%). Persentase warga Indonesia yang berpartisipasi dalam kegiatan kerelawanan juga tinggi (63%), hampir tiga kali lebih besar daripada angka rata-rata global (23%).

Warga yang menyumbang untuk orang asing 58%, sedikit lebih rendah daripada angka rata-rata global (62%). Eks Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita dalam sebuah wawancara menyebut pada 2019 diperkirakan ada 77.500 gelandangan dan pengemis yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

Agus menyebut jumlah gelandangan dan pengemis itu kemungkinan jauh lebih besar mengingat pendataan menemui banyak kendala. Banyaknya pengemis di Indonesia bisa jadi adalah dampak tak diinginkan dari status Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia versi WGI.

Banyak pengemis memilih menggantungkan hidup di jalanan. Mereka berharap belas kasihan warga yang melintasi jalanan kota, entah itu di depan toko, pusat perbelanjaan, pintu gerbang masjid, persimpangan jalan, dan lain-lain.

Kita tidak akan pernah tahu mana pengemis yang jujur dan pengemis yang tidak jujur. Jujur dalam arti dia mengemis karena benar-benar terpaksa untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tidak jujur berarti dia mengemis hanya untuk menambah pundi-pundi rupiah yang sebenarnya sudah lebih dari cukup.

Barangkali di antara para pengemis itu terdapat beberapa pengemis kaya yang memiliki harta melimpah layaknya Bharat Jain. Jika benar begitu, uang yang kita sedekahkan kepada pengemis itu hanya akan menambah pundi-pundi kekayaan dia.

Bisa jadi kita yang merasa kasihan hingga mau mengulurkan selembar uang justru memiliki nasib yang tidak semujur pengemis yang diberi uang. Bisa jadi dia adalah pengemis yang bukan sembarang pengemis seperti Bharat Jain.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Agustus 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya