SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Setelah  selesai memilah dan memilih buku, saya kemudian menuju kasir untuk membayar. Ketika belanjaan saya sedang dihitung, ada pemuda yang menyatakan,”Wah, ini buku berat semua”. Saya hanya tersenyum menanggapinya.

Momentum ini terjadi ketika saya mengunjungi bursa buku Patjarmerah. Sebuah festival kecil literasi dan pasar buku keliling Nusantara. Kota Solo, tepatnya Ndalem Djojokoesoeman, menjadi tempat berlangsungnya festival tersebut sampai 9 Juli 2023.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Apakah yang dimaksud buku berat itu? Mengapa disebut buku berat? Setahu saya tidak ada yang disebut buku berat itu. Di Patjarmerah yang saya kunjungi, saya dan patjarboekoe—sebutan bagi pencinta buku—juga tidak menemukan kategori buku berat.

Di sana yang ada adalah kategori buku indi fiksi. Indi nonfiksi. Patjarpilihan. Dan sebagainya. Terus, kemudian, mengapa ada orang yang menyatakan buku yang saya beli itu buku berat?

Saya membeli lima buku. Empat buku nonfiksi dan satu buku fiksi. Jika ditimbang, beratnya tidak sampai dua kilogram. Berat tersebut jika diangkat orang dengan bobot 80 kilogram seperti saya pastilah masih terasa ringan. Lalu, beratnya di mana?

Mungkin pemuda itu memindai buku yang saya beli dari judulnya. Saya membeli buku berjudul Dekat dan Nyaring (fiksi, Sabda Armandio), Kebebasan dan Kebudayaan: Gagasan tentang Masyarakat Bebas (nonfiksi, Tibor Machan), Irama Orang-orang (Menolak) Kalah: Dangdut Koplo, Politik, dan Kemapanan (nonfiksi, Irfan R. Darajat), Yang Tak Kunjung Padam: Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman (nonfiksi, Soe Tjen Marching), dan Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis (nonfiksi, Dan Hancox).

Apakah isinya juga berat sebagaimana tersirat dari judulnya? Ya, belum pasti. Saya belum membacanya. Bagi saya, buku berat itu tidak ada. Pemuda yang berkata kepada saya itu mungkin seorang mahasiswa yang sering mengerjakan tugas dengan membaca buku-buku berat.

Bukan hanya mencomot dari Internet. Atau, saya yang sudah ”kuno” harus membaca buku berat terlebih dahulu agar bisa menulis makalah dan/atau skripsi. Kini, tinggal bertanya di Mbah Google atau ChatGPT, mahasiswa sekarang sudah bisa menyusun makalah dan/atau skripsi.

Pengalaman saya tentang buku berat itu kali pertama ketika harus membaca buku-buku berbahasa Inggris dan/atau buku-buku eksakta. Sebagai mahasiswa ilmu hukum yang hanya terbiasa membaca undang-undang, pastilah saya akan kesulitan mencerna buku-buku dari kelompok matematika, teknik, dan kedokteran.

Saya hampir tidak pernah menyentuhnya. Satu-satunya buku teknik yang pernah saya baca adalah Wastu Citra karangan Y. B. Mangunwijaya, Pr. Sewaktu masih berstatus mahasiswa saya terengah-engah juga membaca buku-buku yang ditulis para begawan hukum karena nalar yang belum sampai.

Membaca buku-buku ideologi dari marxisme sampai kapitalisme pun juga tidak ada yang nyantol. Pokoknya asal membaca buku saja karena punya waktu dan semangat untuk itu. Setelah punya gelar sarjana, saya membaca ulang buku-buku tersebut.

Saya tidak lagi merasa berat dan makin mudah memahaminya. Saya bukan pembaca pemilih. Saya membaca apa saja yang saya minati, meskipun akhir-akhir ini saya hanya membaca buku-buku keluaran penerbit tertentu, bahkan temanya pun tertentu saja.

Dengan demikian, buku-buku yang saya baca pun tidak saya rasakan berat lagi dari sisi substansi, tetapi lebih berat pada masalah menyisihkan waktu untuk membacanya. Kini saya akan serius membahas buku berat yang dimaksud itu.

Bukan hanya berat karena kita tidak terlatih dan tidak memiliki waktu untuk membaca buku. Komporis perbukuan Indonesia, Bambang Trim, menyebut sepuluh topik pencetak hit adalah kesalehan (religi), kaya-karier (bisnis-entrepreneur), kanak-kawula (anak-remaja), kesehatan-kecantikan, kesenangan-keterampilan (hobi), kependidikan (edukasi), keluarga (parenting), kisah (fiksi dan faksi), komputer, dan kontroversi.

Lazimnya, buku-buku pencetak hit ketika dibaca tidak perlu harus mengernyitkan dahi. Mengikuti kategorisasi Bambang Trim, judul-judul buku yang saya beli hanya satu yang tidak termasuk pencetak hit, yaitu Kebebasan dan Kebudayaan: Gagasan tentang Masyarakat Bebas (nonfiksi, Tibor Machan).

Buku-buku yang saya beli itu masuk dalam kategori kisah. Lalu di mana bagian beratnya? Bagian beratnya jika buku-buku itu tidak diterbitkan. Saya membeli buku-buku itu dari penerbit indi yang berkualitas.

Pengerjaan buku itu pastinya melewati kurasi yang ketat dalam pemilihan, penyuntingan, sampai pada penerbitan naskah menjadi buku. Penerbit indi yang saya beli produknya ini bukan vanity publishing, yang membebankan proses pengerjaan naskah kepada penulis sehingga muncul sinisme bahwa setiap naskah yang diterima akan diterbitkan.

Salah satu akibatnya adalah garbage in, garbage out (masuk sampah, keluar sampah). Mengapa buku-buku demikian memiliki peluang tidak bisa diterbitkan? Sudah jamak bahwa Indonesia saat ini sedang produktif-produktifnya menerbitkan buku, terutama dosen untuk mengejar kum atau angka kredit.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 316.912 dosen di Indonesia pada 2022. Bayangkan jika sepertiga dosen itu menerbitkan buku yang naskahnya berasal dari hasil penelitian mereka.

Hasilnya, 100.000 international standard book Number (ISBN) baru keluar setiap tahun. Kondisi ISBN di Indonesia sudah terpakai 600.000-an padahal jatah ISBN itu satu juta untuk 10 tahun. Ini menyebabkan ISBN makin seret dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional Indonesia.

Hal di atas banyak dikeluhkan oleh penerbit indi yang bersusah payah menerbitkan buku berkualitas dan menjualnya di Patjarmerah. Observasi sekilas saya menghasilkan kesimpulan subjektif Patjarmerah yang saya kunjungi relatif sepi dari vanity publishing.

Artinya, buku-buku terbitan vanity publishing inilah yang masuk dalam kategori berat. Buku-buku mereka garbage in, garbage out, hanya memenuhi kepentingan kum/naik pangkat, dan menggerus jatah ISBN. Jika bisa ditambahkan, buku berat itu ciri-cirinya pengarang dan ISBN ada, tetapi buku dan pembacanya tidak ada.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Juli 2023. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya