SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sejarah bertaburan kisah. Sejarah memerlukan pengisahan. Indonesia bergerak di arus sejarah. Para pengisah memberi rujukan untuk pembukaan  kembali halaman-halaman masa silam.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Kompetensi dan penggunaan bahasa dari para pengisah menentukan keberterimaan atau curiga. Kita justru bisa ada di persimpangan jalan saat para pengisah menyuguhkan perbedaan dan pertentangan.

Mohammad Hatta dalam artikel Legende dan Realitet Sekitar Proklamasi 17 Agustus di Mimbar Indonesia, No 32/33, 17 Agustus 1951, mengakui proklamasi adalah ”kedjadian besar jang menentukan djalan sedjarah Indonesia”.

Klaim ini menerangkan kebenaran dan kerancuan sejarah. Mohammad Hatta menganggap bahwa pengetahuan publik atas sejarah proklamasi sering terjebak oleh ”dongeng” dan ”legenda”. Mohammad Hatta mengajak publik bisa mempertimbangkan kebenaran dalam pengisahan proklamasi di buku Adam Malik berjudul Riwajat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (1950).

Mohammad Hatta dan Adam Malik memang pelaku dalam sejarah Proklamasi tapi memiliki perbedaan peran. Perbedaan ini memicu kerancuan pengisahan.

Sanggahan Mohammad Hatta atas pengisahan Adam Malik adalah kemunculan tokoh Sajuti Melik sebagai ”seorang jang memberikan kata jang penghabisan tentang isi proklamasi”. Kita bisa membuka kembali buku Adam Malik untuk membuat perbandingan efek pengisahan proklamasi.

Adam Malik di halaman ”Sepatah Kata” menjelaskan bahwa penulisan buku dimaksudkan untuk membersihkan segala kedustaan dan kebohongan dari berbagai sumber sejarah dan kesaksian.

Niat dieksplisitkan dengan pengharapan agar ”generasi jang akan datang djangan sampai tertipu atau dapat dibohongi tjerita-tjerita fantasi belaka.” Ingatan dan bukti disuguhkan tapi masih menyisakan ”kesalahan”. Mohammad Hatta meralat demi pembasmian ”dongeng” dan ”legenda” di sekitar sejarah proklamasi.

Adam Malik saat itu representasi kaum muda heroik bersama Wikana, Chaerul Saleh dan Sukarni. Mereka memang bergairah untuk mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Indonesia.

Siasat kaum muda dan kehendak Soekarno-Hatta berbeda. Situasi genting pun diresepsi oleh mereka dengan keputusan dan tindakan cepat. Barangkali persoalan waktu dan ketergesaan memengaruhi ingatan Adam Malik dan Mohammad Hatta saat mengisahkan Proklamasi Kemerdekaan RI setelah sekian tahun dari peristiwa.

Mereka bisa dalam situasi hampir sama di ruang dan waktu historis tapi perbedaan peran juga ”memisahkan” perspektif diri. Pengisahan pun mengandung perbedaan narasi situasional dan emosional.

Mohammad Hatta meralat buku Adam Malik dengan mengeluarkan buku bertajuk Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (1970). Buku ini memiliki aksentuasi pengisahan mengacu ke mata-historis Mohammad Hatta sebagai sosok intelektual dan politisi santun.

Ketenangan diri dalam menghadapi berbagai situasi politik menentukan pengisahan. Mohammad Hatta mengisahkan dengan alur runtut dan tenang. Pengisahan jauh dari emosional atau pembiasan narasi. Hatta mengaku bahwa penulisan buku tipis itu memerlukan riset dokumen di Honolulu selama enam bulan.

Mohammad Hatta pun masih membuat kesalahan terkait sikap pemerintah militer Jepang dan peran Admiral Patterson. Informasi Hatta salah dalam hal waktu dan pengaruh. Ralat diajukan oleh P Swantoro dengan tambahan penjelasan dari S Tasrif.

Ingatan manusia memang terbatas. Mohammad Hatta mengakui kesalahan itu di edisi cetakan kedua. Mohammad Hatta adalah pelaku tapi tak bisa mengisahkan secara utuh berbagai hal tentang proklamasi. Kehadiran buku Mohammad Hatta sebagai sanggahan atas buku Adam Malik adalah mekanisme mewariskan ingatan sejarah di jalan literer.

Pengisahan proklamasi melalui buku juga dilakukan oleh Ahmad Soebardjo dengan judul Lahirnya Republik Indonesia (1978). Tokoh ini terlibat dalam sejarah proklamasi meski berbeda peran dari Mohammad Hatta dan Adam Malik.

Buku ini memuat kata pengantar dari Mohammad Hatta dan Adam Malik. Pujian diberikan oleh Adam Malik: Buku ini cukup mempunyai alasan dan fundamen yang kuat sebagai buku sejarah karena penulisnya sendiri ikut serta sebagai pelakunya, maupun sebagai peninjau dan juga sebagai penyelidik.

Kesaksian Ahmad Soebardjo berbeda dari narasi Adam Malik dan Mohammad Hatta. Kita bisa simak dalam adegan percakapan antara Soekarno dan Ahmad Soebardjo saat proses penulisan teks proklamasi.

 

Rentan

Soekarno bertanya tentang kalimat-kalimat di Pembukaan UUD 1945. Ahmad Soebardjo mengaku ingat tapi tak utuh. Soekarno mengambil secarik kertas dan menulis kalimat dari pengucapan Ahmad Soebardjo: Kami, rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami.

Rumusan kalimat terakhir diajukan dan ditulis sendiri oleh Soekarno: Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Keterangan ini berseberangan dengan keterangan di buku Adam Malik dan Mohammad Hatta. Adam Malik mengajukan nama dan peran Sajuti Melik. Mohammad Hatta (1952) pernah mengingatkan bahwa kalimat pertama dalam proklamasi ”menjatakan kemauan bangsa, jang dari itu ke atas menentukan nasibnja sendiri”.



Kalimat kedua ”bukanlah perkataan jang teringat sekonjong-konjong, melainkan adalah pertimbangan jang telah matang dipikirkan.” Deskripsi adegan Ahmad Soebardjo jadi ”meragukan” jika dibandingkan dengan pengakuan Hatta. Mereka memang hadir bersama dan terlibat dalam proses penulisan teks proklamasi.

Kejanggalan tampak di buku Ahmad Soebadjo dalam penulisan kalimat-kalimat teks proklamasi: Kami rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Kita bisa membandingkan dengan kalimat-kalimat berikut ini: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Perbedaan ini fatal dalam urusan bahasa dan makna. Gejala perubahan dan perbedaan kalimat juga menjadi kecurigaan Sudiro. Sekian naskah dengan keredaksian bahasa berbeda mungkin telah beredar ke negara-negara asing melalui pemberitaan wartawan saat meliput peristiwa-peristiwa di sekitar proklamasi.

Sudiro dalam buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 (1972) mengingatkan tentang keotentikan kalimat-kalimat dalam teks proklamasi. Curiga Sudiro adalah tanda seru untuk sekian pengisahan oleh para pelaku sejarah.

Penerbitan buku-buku pengisahan proklamasi adalah rujukan tertulis dengan berbagai perbedaan perspektif. Kita bisa membaca dan memberi refleksi tentang ”keburaman” dan ”kerancuan” sejarah.

Pengajuan empat buku dari Adam Malik, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, Sudiro merupakan representasi pengisahan sejarah yang rentan klaim dan kesalahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya