SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Saya  iseng mengamati para penjual atau sellers yang berlomba-lomba mencari pembeli secara live di platform marketplace atau lokapasar yang mayoritas menjajakan produk-produk fesyen, terutama pakaian.

Satu penjual yang relatif ramai  dalam satu menit hingga lima menit bisa menjual paling tidak satu potong baju. Dalam satu jam dia bisa menjual 12 potong baju, bahkan bisa lebih.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Belum lagi dengan sistem check out (CO) mandiri. Dalam sistem ini penjual menyediakan stok ratusan potong baju yang bisa dibeli ratusan bahkan ribuah pembeli secara bersamaan.

Bagi penjual yang telah memiliki ratusan ribu pengikut atau followers di lokapasar, untuk menjual ratusan bahkan ribuan potong baru dalam satu hari bukan hal yang sulit.

Itu hanya sekelumit gambaran cepatnya perputaran roda bisnis fesyen yang kian cepat pada era digital terutama melalui platform e-commerce. Di Indonesia, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah salah satu sektor unggulan yang mencatatkan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pada triwulan I tahun 2022, industri TPT berkontribusi 6,33% terhadap total produk domestik bruto (PDB) sektor industri pengolahan nonmigas. Sumbangan ekspor industri TPT terhadap total ekspor nasional pada 2021 sebesar 5,67% dan selama Januari-Mei 2022 menyumbangkan 5,33%.

Pertumbuhan investasi sektor ini tercatat sebesar Rp6,5 triliun pada 2021 dan Rp2,4 triliun pada triwulan I tahun 2022. Secara global, produksi busana sedunia meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000 dan rata-rata peningkatan konsumen membeli pakaian 60% tiap tahun.

Fesyen adalah salah satu industri terbesar di dunia yang menjadi bagian penting dalam kehidupan dan terbukti memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi para pelaku industri ini.

Cepatnya berputaran tren fesyen memunculkan fenomena fast fashion. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, fast fashion menganut model bisnis dengan memproduksi pakaian dalam waktu yang sangat cepat dan biaya yang rendah.

Tujuannya menyuplai tren terbaru  dan terjangkau konsumen dalam waktu singkat. Di balik kenyamanan dan keuntungan ekonomi yang menjanjikan, industri fast fashion menjadi bumerang dengan dampak negatif pada lingkungan dan bumi.

Perilaku konsumen berubah seiring perubahan zaman. Menurut survei McKinsey, jangka waktu penyimpanan pakaian oleh konsumen semakin singkat sebelum akhirnya dibuang. Pada 2010, Amerika Serikat menghasilkan 11 juta ton limbah pakaian. Di Australia, setiap orang membeli 27 kilogram pakaian per tahun dan 23 kilogram di antaranya berakhir di tempat sampah.

Fibre2Fashion menginformasikan pada2 020 saja sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir yang kemudian berakhir di laut. Rata-rata konsumen membuang 60% pakaian mereka hanya setahun setelah membeli.

Jika hal ini terus berlanjut, pada 2050 diperkirakan limbah tekstil di seluruh dunia mencapai 300 juta ton, lebih banyak daripada sampah plastik. Bumi ini akan penuh dengan sampah plastik dan tekstil,  tidak ideal untuk ditinggali lagi.

Proses produksi pakaian fast fashion juga menggunakan sumber daya yang besar, seperti air, energi, dan bahan kimia yang berbahaya. Banyak pakaian fast fashion dibuat dari bahan sintetis yang tidak dapat diurai oleh alam dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terurai.

Merujuk UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019, fesyen disebut sebagai industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan. Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fesyen.

Ketua Umum Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Poppy Dharsono menyebut fast fashion atau industri mode cepat dapat merusak bahkan menghancurkan lingkungan.

Selain merusak lingkungan, industri mode cepat juga menyaingi merek-merek yang mengusung konsep sustainability fashion, fesyen berkelanjutan, khususnya produk lokal. Kebanyakan produk lokal Indonesia masih menggunakan bahan ramah lingkungan, seperti bahan daur ulang serta bahan alami.

Industri fast fashion juga berdampak buruk pada kondisi kerja di sektor produksi pakaian. Banyak produsen kecil yang terdesak oleh harga yang sangat rendah dari pakaian fast fashion, yang dapat mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Kesadaran Antitesis

Kondisi kerja yang buruk, upah yang rendah, dan kurangnya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja sering terjadi dalam industri fast fashion. Untunglah, kesadaran menangkal dampak buruk fast fashion kian menggema seperti munculnya gerakan antitesis yang disebut slow fashion.

Istilah ini diperkenalkan Kate Fletcher, seorang profesor di bidang keberlanjutan fesyen di Centre for Sustainable Fashion, Universitas Arts London. Ia dikenal sebagai salah seorang pemimpin intelektual dalam gerakan slow fashion dan telah melakukan banyak penelitian dan publikasi tentang keberlanjutan dalam industri fesyen.

Slow fashion adalah gerakan di industri yang bertujuan mengurangi dampak negatif produksi fesyen pada lingkungan dan masyarakat dengan mempromosikan keberlanjutan, transparansi, dan etika dalam produksi pakaian.

Slow fashion mengutamakan kualitas dan keberlanjutan dibandingkan dengan jumlah produksi dan penjualan yang tinggi. Gerakan ini mendorong konsumen memilih pakaian yang tahan lama, diproduksi secara etis, dan berasal dari bahan-bahan yang ramah lingkungan.

Slow fashion juga mempromosikan pendekatan produksi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan dengan menghindari penggunaan tenaga kerja murah dan praktik kerja yang tidak aman.

Gema itu juga memunculkan Circular Fashion System di industri fesyen yang mengedepankan konsep recyclable material dalam proses desain dan produksi. Hingga saat ini ratusan merek mode ternama di dunia telah bergabung dalam program yang bertajuk 2020 Circular Fashion System Commitment.



Dalam Circular Fashion System, pakaian dan bahan fesyen didesain dan diproduksi dengan mempertimbangkan masa depan, yaitu meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan memaksimalkan nilai ekonomi dan sosial.

Caranya dengan mengembangkan produk dan material yang tahan lama, mudah dipulihkan atau didaur ulang, serta meningkatkan keterlibatan pelanggan untuk mengurangi pemborosan dan meningkatkan keterampilan perawatan pakaian.

Sebagai konsumen kita dapat membantu mengurangi dampak negatif fast fashion dengan membeli pakaian dari bahan yang ramah lingkungan atau mendukung produsen yang memprioritaskan praktik berkelanjutan dan adil dalam produksi.

Kita dapat memperpanjang umur pakaian dan mengurangi pembelian pakaian baru yang tidak perlu. Ini tidak hanya mengurangi dampak negatif pada lingkungan, tetapi juga membantu mengurangi tekanan psikologis pada konsumen untuk selalu mengikuti tren terbaru. Tak perlu mengikuti tren. Kita juga bisa jadi trendsetter dengan menjadi konsumen yang cerdas dan bijak.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Mei 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya