SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Cak  Nun belum pulih dari sakitnya setelah mengalami perdarahan otak pada 6 Juli 2023 lalu. Cacian dan cercaan di media sosial, yang dimulai sejak hari pertama sakitnya itu, tak kunjung reda.

Budayawan bernama lengkap Emha Ainun Nadjib itu dianggap kualat karena sering mengkritik pemerintahan, lebih khusus Presiden Joko Widodo.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Aneka kata dan kalimat bernada keji yang tertuju kepada Cak Nun sangat masif di media sosial. Saya tak tega menuliskan ulang di sini.

Cacian yang sama pernah dialami Cak Nun saat potongan video dirinya yang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai Firaun viral pada Januari 2023 lalu. Cak Nun  dinesoni wong sak-Indonesia.

“Saya tidak marah kepada siapa pun yang menghina saya, yang merendahkan saya,” kata Cak Nun di tengah acara Macapat Syafaat dan Tawashshulan di Tamantirto, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (17/1/2023) malam.

Semua aktivitas Cak Nun, antara lain, Maiyahan, Macapat Syafaat, Tawashshulan, dan lain-lain selalu diunggah di kanal Youtube Caknun.com. Karena itu pulalah potongan video “Jokowi Fira’un” itu beredar luas tanpa diketahui siapa yang memotong dan mengunggahnya kali pertama.

Cak Nun sudah meminta maaf tentang potongan pernyataannya yang viral tersebut. Suami artis Novia Kolopaking itu mengaku kelepasan saat mengibaratkan Presiden Joko Widodo seperti Firaun dan Menteri Koordinatir Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan seperti Haman.

Buntut pernyataan itu, Cak Nun mengaku disidang oleh keluarganya. Cak Nun menyadari telah melanggar yang dia ajarkan. Sebagai bukti penyesalan, Cak Nun lantas membuat video bersama anak sulungnya, Sabrang Mowo Damar Panuluh, yang diberi judul Mbah Nun Kesambet.

Mara-mara cangkeme makpecothot [tiba-tiba dari mulut keluar] Firaun, Haman, Qorun, kuwi. Itu di luar rencana saya dan sama sekali di luar kontrol saya. Maka, tadi saya bikin video sama Sabrang, judulnya Mbah Nun Kesambet. Tolong dibaca,” kata Cak Nun.

Warganet yang “mahakuasa” tak mau peduli. Cak Nun harus dikecam. Ketika pada 6 Juli 2023 lalu ada berita Cak Nun tak sadarkan diri akibat perdarahan otak, mereka mendapat momentum untuk menghujatnya habis-habisan.

Kuwalat kowe…,” begitulah rata-rata kata mereka.

Seperti biasa, hoaks lalu bertebaran dengan masif. Salah satunya mengedit foto mantan Presiden B.J. Habibie saat dijenguk Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu yang diganti dengan foto Cak Nun.

Keterangan foto itu yang bikin miris, dengan kata-kata yang tidak pantas untuk ditulis di sini. Presiden Joko Widodo memang menjenguk Cak Nun, namun fotonya tidak pernah disebar oleh siapa pun, baik dari keluarga Cak Nun maupun dari tim kepresidenan.

Cerita Cak Nun ini mirip dengan yang terjadi pada koleganya dulu, Nurcholish Madjid alias Cak Nur. Ketika Cak Nur jatuh sakit pada Agustus 2005, sebagian masyarakat muslim (saat itu belum ada media sosial) menyebutnya kualat akibat pemikiran-pemikirannya yang dianggap sekuler.

Yang membuat heboh ketika itu adalah saat ada sekelompok orang yang datang menjenguk dan meminta Cak Nur untuk bertobat. Cendekiawan muslim itu tutup usia pada Senin, 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Kala itu sebagian orang masih menghujatnya. Tak terbayangkan jika saat itu sudah ada media sosial. Keadaan mungkin akan lebih mengerikan lagi. Betapa jahatnya jagad media sosial. Warganet menjadi mahakuasa.

Kuasa untuk berkata apa saja, menulis apa saja, berbuat semaunya. Tak perlu ilmu, yang penting berani dan tak butuh malu. Sekelas profesor berhadapan dengan orang tak berilmu di media sosial. Digoblok-goblokkan oleh orang yang sedikit membaca, tapi banyak bicara.

Intelektualitas

Itu realitas yang suka tidak suka harus diterima pada era media sosial. Sedih memang tapi itulah yang terjadi kini. Susah membayangkan di era media sosial meniru langkah Faisal Ismail yang melawan pemikiran Cak Nur dengan menulis buku berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid (2008).

Mengedepankan intelektualitas dibandingkan hanya sumpah serapah. Kini, itu jelas susah diwujudkan. Mayoritas masyarakat kita lemah literasi, malas membaca. Malas membaca otomatis minim pengetahuan, tapi nafsu bicaranya besar.

Jadilah hujat sana hujat sini sesuka hati. Menyembunyikan wajah dan identitas diri di balik media sosial. Media sosial menjadi tempat warganet atau netizen saling berinteraksi tanpa harus mengenal, mengetahui identitas, atau saling bertemu.

Lalu menumpuklah sampah kata-kata. Lalu menjamurlah ujaran kebencian. Ujaran kebencian di media sosial termasuk ke dalam cyberbullying. Mengutip laman https://egsa.geo.ugm.ac.id/, dampak ujaran kebencian berupa cercaan dan hinaan bagi para korban dapat sangat berbahaya.

Media sosial merupakan tempat yang terbuka sehingga ujaran kebencian yang dilontarkan terlihat oleh khalayak ramai. Para korban dapat mengalami tekanan sosial, stres, trauma, hingga bunuh diri. Tentu saja Cak Nun tak akan sampai pada tahap ini.

Maqam Cak Nun bukan sekelas korban perundungan yang lalu murung dan bunuh diri. Ungkapan-ungkapan kasar yang ditujukan terhadap budayawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, pada 27 Mei 1953 di tengah sakit seriusnya itu, tetaplah tidak elok karena seolah-olah menjadi kebiasaan nan lumrah.

Dalam perspektif agama Islam, Nabi Muhammad SAW mengajarkan tentang akhlakul karimah, budi pekerti. Semua yang mencaci, meludahi, bahkan hingga mengancam nyawa beliau maafkan dan didoakan yang baik, padahal jelas yang dihadapi adalah orang-orang munafikun wal musyrikun yang berniat membunuhnya.



Apalagi Cak Nun, Cak Nur, atau Cak-cak yang lain yang masih sebangsa, seagama. Pilu rasanya jika jiwa kita dipenuhi dengan dendam kesumat kepada saudara sendiri. Sakit atau sehat adalah wilayah kekuasaan Tuhan.

Ada sedikit wilayah yang Tuhan memberikan kuasa, misalnya tentang penyebab sakit, melalui analisis medis para dokter. Kita juga bisa mengira-ngira penyebab sakit melalui analisis aktivitas yang kita lakukan sebelum sakit.

Makan apa, habis melakukan apa, dan lain sebagainya. Memvonis bahwa seseorang itu sakit karena kualat, apalagi berlanjut dengan mencercanya, itu sungguh perilaku yang tidak beradab. Seolah-olah kita mengambil alih fungsi Tuhan yang boleh menghukum seorang manusia.

Kalau toh kita punya keyakinan seperti itu, etisnya hanya untuk konsumsi diri sendiri. Bukan untuk diungkapkan di muka publik berikut dengan sumpah serapah. Keyakinan kita pada agama seharusnya menjadikan kita lebih beradab.

Tidaklah Nabi Muhammad diutus ke dunia kecuali untuk menyempurnakan perilaku manusia, menjadi berakhlak mulia. Fungsi agama adalah membuat manusia lebih beradab, membedakannya dengan makhluk lain bernama binatang yang bergerak hanya berdasar nafsu dan insting.

Pencerdasan kepada masyarakat tentang pentingnya adab di dunia maya, khususnya di media sosial, harus terus dikampanyekan. Kita tahu itu sulit, sesulit menjadikan membaca buku sebagai budaya di negeri ini. Tapi, tradisi menghujat itu harus dilawan agar menjadi minoritas lalu musnah…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Juli 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya