SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Anda yang gemar berselancar di media sosial beragam platform pasti tidak asing dengan lagu yang dirilis Partai Amanat Nasional (PAN) berjudul PAN PAN PAN Selalu Terdepan.

Lagu ini dinyanyikan untuk menyambut para calon anggota legislatif (caleg) dari PAN untuk berkontestasi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Lagu yang terdengar easy listening ini tak membutuhkan waktu lama untuk menjadi viral di media sosial.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Dalam video yang viral itu terlihat beberapa caleg dari kalangan artis dan selebritas yang menginduk PAN, seperti Pasha Ungu, Desi Ratnasari, Elly Sugigi, Uya Kuya, dan lainnya. Lagu yang dibawakan para caleg selebritas itu sukses membuat engagement PAN meningkat di media sosial.

Setidaknya di akun media sosial partai itu, seperti di akun TikTok milik PAN @amanat_nasional, video yang menggunakan lagu itu telah ditonton lebih dari 2,5 juta kali dan mendapatkan hampir seribu komentar per Selasa (20/6/2023).

Keberadaan artis dan selebritas di panggung politik diyakini bisa menaikkan pamor dan popularitas partai politik di hadapan publik. Tujuan akhirnya popularitas itu bisa diubah menjadi elektablitas, partai mendapatkan suara dan banyak caleg bisa masuk ke DPR.

Fenomena artis dan pesohor menjadi caleg bukan hanya terjadi pada saat ini. Pada pemilu-pemilu sebelumnya partai politik juga mencalonkan banyak para pesohor untuk meraih suara publik. Pada Pemilu 2024 tampaknya semakin banyak partai politik yang mencalonkan para pesohor itu.

Kini hampir seluruh partai politik mencalonkan artis dan selebritas dalam kontestasi calon anggota legislatif. Ada pesohor lama, banyak selebritas baru yang dimunculkan.

Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ada komedian Sunarji, di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ada Elfonda Mekel alias Once Mekel, Marcell Siahaan, Denny Cagur, Tamara Geraldine, Lucky Perdana, Kris Dayanti, dan lainnya.

Di Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ada Reza Artamevia, Choky Sitohang, dan Anisa Bahar. Di PAN ada Eko Patrio, Sigit Purnomo Said atau Pasha Ungu, Muchtar Lutfi atau Opie Kumis, Ely Sugigi, Surya Utama atau Uya Kuya dan istrinya Astrid, Desy Ratnasari, Varrel Bramasta, Primus Yustisio, dan Tom Liwafa.

Di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ada Ahmad Dhani, Melly Goeslaw, Ari Sihasale, Rachel Maryam, dan Jamal Mirdad. Di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) muncul Tommy Kurniawan, Iyeth Bustami, Arzeti Bilbina, Camelia Lubis, dan Norman Kamaru.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajukan Giring eks Nidji dan Badai eks personel band Kerispatih. Partai Persatuan Indonesia (Perindo) mengajukan Ustaz Yusuf Mansur, Zee Zee Shahab, Venna Melinda, Vicky Prasetyo, Arnold Poernomo, dan lainnya.

Di Partai Demokrat ada Dede Yusuf, Inggrid Kansil, Dina Lorenza, Emilia Contessa, dan Arumi Bachsin. Di negara demokrasi pencalonan para artis ini sah-sah saja. Mereka memiliki modal sosial yang cukup besar untuk ikut kontestasi pemilu, yakni popularitas.

Partai politik sah-sah saja memasang para pesohor itu untuk maju sebagai caleg. Tentu dengan harapan mereka bisa mengatrol suara partai di tengah persaingan yang sangat ketat. Kecenderungan selebritas masuk ke panggung politik terlihat sejak sistem pemilihan langsung diterapkan pada 2004.

Kandidat dari kalangan selebritas yang dicalonkankan untuk pemilihan anggota parlemen pada Pemilu 2004 hanya 23 orang. Pada Pemilu 2009 menjadi 51 orang. Pada Pemilu 2014 naik lagi menjadi 82 selebritas dan pada Pemilu 2019 sebanyak 91 selebritas menjadi kandidat anggota legislatif.

Dengan mengandalkan ketenaran yang dibangun bertahun-tahun melalui dunia hiburan, para artis memang sukses untuk menggaet pemilih. Setidaknya pada Pemilu 2019, ada 14 artis yang masuk ke DPR. Angka yang bisa dibilang cukup banyak, mengingat ketatnya persaingan memperoleh kursi di DPR.

Berkaca dari hasil tersebut, tampaknya partai politik ingin mengomodifikasi para artis tersebut demi menambang suara pada Pemilu 2024. Eksploitasi selebritas di ruang politik memang tidak bisa dilepaskan dengan sistem pemilu demokratis yang dibangun di Indonesia.

Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen menjadi salah satu penyebab. Sistem ini menjadi persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi di DPR yang biasanya dilihat dari presentase perolehan suara di pemilu.

Partai politik tidak mau ambil pusing untuk meraih target tersebut supaya bisa mendapatkan kursi di DPR. Sebagai warga negara, para selebritas itu sah-sah saja ikut kontestasi pemilu. Pekerjaan sebagai seorang aktor, aktris, penyanyi, maupun pelawak menjadi latar supaya ruang di legislatif semakin beragam perspektifnya.

Pertanyaan yang muncul apakah para selebritas itu mampu untuk mengemban amanat sebagai wakil rakyat? Apakah para selebritas itu paham saat menjadi anggota DPR, kepentingan publiklah yang diperjuangan, bukan kepentingan kelompok atau partai politik? Apakah para selebritas itu tahu subtansi tugas dan fungsi anggota DPR?

Kegagalan Partai Politik

Pertanyaan-pertanyaan itu masih relevan pada Pemilu 2024 mengingat peran anggota DPR dari kalangan selebritas masih sangat minim dalam memperjuangkan hak-hak publik. Itu tampak dalam pengesahan Undang-undang Cipta Kerja yang ditolak banyak elemen publik.

Ke mana para anggota DPR dari kalangan artis? Mereka membebek dan seolah-olah tak memiliki taji untuk bersuara menolak undang-undang itu bersama rakyat yang diwakili.

Lihat saja di mesin pencari, banyak anggota DPR dari kalangan selebritas yang melakukan berbagai tindakan kontroversial dibandingkan dengan tindakan advokasi kepada publik. Pamer kekayaan dan ketenaran masih menjadi habbit para artis, meski mereka sudah menyandang status wakil rakyat.

Caleg dari kalangan artis sebenarnya menjadi tamparan keras bagi partai politik pengusungnya. Ini menjadi salah satu bukti partai politik telah gagal melakukan kaderisasi. Partai politik memilih merekrut selebritas tanpa seleksi ketat demi menghimpun suara pemilih.

Fungsi kaderisasi penting supaya para calon wakil rakyat yang ikut kontestasi pemilu bisa membawa nilai-nilai partai dan menjalankan fungsi secara baik. Kalau memang mau merekrut kalangan selebritas seharusnya mereka melewati proses kaderisasi seperti kader lainnya.



Mencalonkan artis maupun selebritas tanpa mempertimbangkan keahlian politik dan pemahaman terhadpa isu-isu publik tentu dapat memengaruhi kemampuan DPR dalam menjalankan fungsi legislatif.

Jangan sampai pencalonan para selebritas hanya menjadi boneka partai politik yang memanfaatkan popularitas mereka untuk kepentingan pribadi. Tentu ini dapat mengaburkan kepentingan publik dan mengurangi transparani dalam proses pengambilan keputusan politik.

Sebenarnya banyak pengamat politik mengkritik partai politik yang dengan mudah mencalonkan artis dan selebritas tanpa seleksi ketat. Fenomena ini benar-benar harus menjadi perhatian publik.

Jangan sampai keberadaan anggota DPR dari kalangan yang tak paham nilai-nilai demokrasi malah akan mereduksi kualitas perwakilan politik dan menurunkan kredibilitas DPR.

Partai politik dan pemilih harus mempertimbangkan kualifikasi pengetahuan politik serta pemahaman isu-isu publik dalam memilih anggota DPR. Ini untuk memastikan terciptanya demokrasi yang kuat dan berkualitas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Juni 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya