SOLOPOS.COM - Mohammad Nur Rianto Al Arif (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa waktu terakhir industri perbankan syariah (ejaan baku bahasa Indonesia: syariat) mendapatkan beberapa kabar menggembirakan yang diharapkan akan mengakselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia.

Kabar pertama ialah realisasi spin-off unit usaha syariah (UUS) Bank Sinarmas menjadi Bank Nano Syariah. Kemudian diikuti dengan rencana akuisisi Bank Mumalat Indonesia oleh Bank BTN. Akuisisi ini dilakukan agar bisa digabungkan dengan UUS BTN. Terakhir, rencana spin-off UUS Bank CIMN Niaga.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Pangsa pasar industri perbankan syariah terhadap perbankan nasional saat ini baru mencapai 7,3%. Industri perbankan syariah di Indonesia baru dapat melepaskan diri dari jebakan 5% pada 2016, seiring dengan konversi yang dilakukan oleh Bank Aceh Syariah pada 2016.

Konversi penuh menjadi bank umum syariah ini diikuti oleh Bank NTB Syariah pada 2018 dan Bank Riau Kepri Syariah pada 2022. Persaingan industri perbankan syariah saat ini dinilai tidak sehat oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Bank Syariah Indonesia (BSI) memiliki pangsa aset besar, sementara bank syariah lainnya memiliki aset tergolong kecil. BSI merupakan hasil merger tiga bank (Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank BRI Syariah) mencatatkan aset per September 2023 sebesar Rp319,85 triliun.

Aset BSI sangat berbeda jauh dibandingkan bank umum syariah lainnya, seperti Bank Muamalat Indonesia (Rp66,2 triliun), Bank Riau Kepri Syariah (Rp28,24 triliun), Bank Aceh Syariah (Rp28,23 triliun), dan Bank BTPN Syariah (Rp21,95 triliun).

Dominasi satu bank akan menimbulkan ketidaksehatan industri perbankan syariah. Ketika terjadi kejadian operasional luar biasa seperti yang dialami oleh BSI beberapa waktu lalu, akan mengganggu industri keuangan syariah secara keseluruhan.

Selain itu, ketiadaan pesaing yang setara akan menjadikan pasar yang tidak sehat karena sebagai market leader BSI akan punya posisi lebih tinggi dibandingkan dengan bank syariah lainnya.

Begitu pula jika kita bandingkan dengan UUS dari bank konvensional. UUS yang memiliki aset terbesar ialah UUS CIMB Niaga (Rp61,46 triliun). Aset yang dimiliki UUS CIMB Niaga ini hampir setara dengan aset yang dimiliki oleh Bank Muamalat Indonesia.

Spin-off yang akan dilakukan oleh CIMB Niaga diharapkan mampu melahirkan pesaing baru bagi BSI. Sebaiknya rencana korporasi ini tidak hanya berhenti sampai di proses pemisahan. Bank CIMB Niaga sebagai bank induk dapat menggabungkan rencana pemisahan sekaligus dengan konsolidasi bank umum syariah (BUS) existing atau UUS yang dimiliki oleh bank konvensional lainnya.

Peringkat kedua UUS dengan aset terbesar ialah UUS milik bank BTN yang mencatatkan aset sebesar Rp48,41 triliun. Rencana akusisi dan penggabungan antara UUS Bank BTN dan Bank Muamalat akan mampu menghasilkan aset sebesar Rp114,61 triliun.

Apabila rencana konsolidasi ini berhasil, bank hasil konsolidasi akan mampu menjadi pesaing utama BSI, terlebih apabila pemerintah kemudian menjadikan bank hasil konsolidasi sebagai bank badan usaha milik negara (BUMN). Hal ini tentu akan menjadikan persaingan bank syariah di Indonesia menjadi lebih kompetitif dan menarik.

Peringkat ketiga dan keempat UUS yang memiliki aset besar ialah UUS Bank Maybank (Rp42,1 triliun) dan UUS Bank Permata (Rp37,54 triliun). Apabila dua UUS ini akan dilakukan pemisahan (spin-off), sebaiknya diikuti pula dengan proses konsolidasi dengan bank umum syariah yang existing maupun UUS dari bank konvensional.

Hal ini sebagai upaya agar bank hasil spin-off dapat menjadi bank besar yang dapat bersaing tidak hanya dengan sesama bank syariah, tetapi juga dengan bank konvensional. Kehadiran Bank Nano Syariah yang resmi beroperasi pada 2 Januari 2024 merupakan hasil pemisahan (spin-off) UUS Bank Sinarmas.

Nilai aset Bank Nano Syariah tercatat per Desember 2023 ialah sebesar Rp8,09 triliun. Tentu dengan nilai aset yang masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan bank umum syariah existing, perlu dilakukan upaya akselerasi.

Strategi korporasi yang dapat dilakukan ialah dengan mengakuisisi UUS bank konvensional atau proses konsolidasi dengan bank umum syariah existing. Strategi korporasi lainnya yang dapat dilakukan oleh Bank Nano Syariah ialah menyiapkan diri masuk bursa saham dengan melakukan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO).

Selain beberapa hal di atas, strategi lain yang perlu segera diambil ialah terkait UUS yang milik bank daerah. Bank daerah induk umumnya memiliki ukuran yang tidak terlalu besar. Apabila mereka dipaksa memisahkan UUS,akan tercipta banyak bank umum syariah dengan ukuran yang kerdil.

Hal ini memunculkan wacana konsolidasi UUS milik beberapa bank daerah dalam satu kelompok usaha bank. Berbagai strategi yang telah dijelaskan di atas merupakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pesaing yang berkualitas bagi BSI.

Harapannya industri perbankan syariah akan lebih kompetitif. Bank syariah yang tersisa ialah bank syariah dengan ukuran besar. Idealnya pada masa depan jumlah bank syariah di Indonesia tidak perlu banyak.

Jumlah bank syariah cukup lima atau tujuh, namun memiliki aset di atas Rp500 triliun. Apabila ini terwujud, bank syariah akan dapat berkontribusi signifikan dalam perekonomian Indonesia karena bank syariah baru berdampak apabila setidaknya memiliki pangsa pasar 30% dari perbankan nasional.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Februari 2024. Penulis adalah guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya