SOLOPOS.COM - Tika Sekar Arum (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — ”Harga  beras kok jadi kayak lagu ya, Bu,” ucap Yu Sani sembari asyik memilih sayuran di sebuah warung keliling suatu hari pada akhir Februari 2024.

”Lagu apa, ta, Yu? Rungkad?” kata Bu Ambar, si penggemar dangdut koplo garis keras.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

”Bukan, Bu. Itu, loh, Los Dhol… Harga beras saiki wis ora isa dikendalikan, Los Dhol…!” jawab Yu Sani yang disambut tawa seluruh warung.

Candaan yang bernada sarkas ini belakangan kerap mengisi ruang-ruang publik, di warung makan, wedangan, pasar. Di restoran cepat saji dengan brand internasional, yang konon merupakan tempat makan orang berduit, beras juga menjadi bahan obrolan.

”Nasi di restoran X biasanya empuk pulen, ini kok beda. Mungkin efek beras mahal,” begitu komentar salah satu konsumen yang kebetulan saya kenal.

Beras memang sedang jadi pembicaraan. Harga beras yang melambung dan sempat sulit dicari di sejumlah ritel modern membuat publik kalang kabut. Meski sekarang ada tren gaya hidup sehat dengan mengurangi konsumsi nasi, toh masih banyak orang yang mengaku belum makan kalau belum menyantap nasi, meski sudah nyemil jagung, kentang, roti, dan sebagainya.

Merujuk laman Sistem Informasi Harga dan Produksi Komoditi (Sihati) Jawa Tengah, harga beras memang bak pesawat lepas landas. Harga beras jenis IR 64 Premiun mencapai lebih dari Rp12.000 per kilogram sejak Desember 2022.

Harga beras terus naik sepanjang 2023 dan mencapai puncaknya (sejauh ini) pada Februari 2024. Pada Desember 2023 harga beras Rp14.278 per kilogram, sedangkan pada Januari 2024 tembus Rp14.415 per kilogram, dan pada Februari 2024 mencapai puncaknya yaitu Rp15.675 per kilogram.

Dengan perkiraan puncak panen padi akan bergeser dari Maret menjadi April, besar kemungkinan harga beras masih berfluktuasi. Kita mungkin masih akan sering mendengar cerita beras pada hari-hari mendatang.

Dinamika cerita beras sebenarnya sudah lama menjadi bagian cerita masyarakat Indonesia. Beras yang merupakan hasil budi daya tanaman padi sudah ada berabad-abad sebelum nama Indonesia dikenal dan diakui sebagai sebuah negara.

Jejak tertua budi daya padi di Jawa bisa dilihat pada prasasti Canggal yang ditemukan di kompleks Candi Gunung Wukir di Desa Kadiluwih, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti berangka tahun 732 Masehi itu menyebut “Yawadwipa (Jawa) di bawah Raja Sanjaya telah diberkahi kekayaan beras dan emas.” Pada masa itu, beras bersanding dengan emas sebagai simbol kejayaan.

Cerita beras berikutnya bisa ditemukan pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram (Islam) mulai abad ke-16 sampai ke-18. Babad Tanah Jawi (1939) mengisahkan Raja Mataram menyadari beras adalah penjaga stabilitas kekuasaan. Kemakmuran kerajaan bergantung pada beras.

Tanah Jawa yang subur membuat kerajaan mampu mengirim beras ke luar negeri. Berlanjut pada era Kolonial, beras masih menjadi cerita utama, khususnya di Tanah Jawa. Peneliti P. Creutzberg (1987) menyebut produksi padi di Jawa pada 1837 mencapai 1,197 juta ton.

Sempat tercatat naik pada 1856 dengan angka produksi 1,8 juta ton, pada tahun-tahun berikutnya tidak ada pertumbuhan produksi yang signifikan. Kondisi itu menyisakan masalah kekurangan pangan karena produksi beras tidak mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk.

Kondisi kekurangan beras kian parah sebab terjadi bersamaan dengan penerapan kebijakan tanam paksa oleh Belanda. Pada rentang 1890-1990 panen padi meningkat. Sayangnya, kenaikan produksi ini tidak membawa berkah bagi rakyat yang pada masa itu tetap hidup susah dalam belenggu penjajah.

Pada awal masa kemerdekaan, Presiden Soekarno belum terlalu memperhatikan urusan pangan. Menyadari produksi beras tidak maksimal, Soekarno menggagas kampanye pangan lokal lewat berbagai kebijakan.

Soekarno dengan berani mengatakan Indonesia tak akan mengimpor beras pada 17 Agustus 1964. Dia juga memerintahkan pembuatan buku Mustikarasa yang berisi beragam resep masakan Nusantara. Pada masa Soekarno diawali sensus pertanian yang menjadi landasan baik untuk pengembangan sektor pertanian.

Cerita beras kemudian naik kelas pada masa Presiden Soeharto. Presiden kedua ini berhasil menciptakan ekosistem yang baik dan menyenangkan bagi petani. Salah satu yang paling fenomenal adalah program kuis kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa alias klompencapir.

Kuis tersebut mengajak petani dari berbagai daerah beradu pengetahuan seputar pertanian dalam format cerdas cermat. Klompencapir makin berdampak luas dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang bermuara mencapai swasembada pangan.

Fatih Gama Abisono dalam tulisan di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Potilik Edisi Maret 2002 menyebut Indonesia mencapai kejayaan dalam pengelolaan pangan pada 1980-an. Indonesia berhasil menyabet penghargaan dari FAO pada 1984.

Program lain yang mendukung pencapaian positif pemerintah Orde Baru di sektor pangan adalah subsidi benih, pupuk, dan pestisida. Pemberian subsidi dibarengi penyuluhan masif sehingga para petani mampu mengelola lahan dengan optimal.

Poin menarik lain dari kebijakan pangan era Orde Baru adalah koperasi unit desa atau KUD. Koperasi ini mengajak petani berserikat sehingga lebih tangguh menghadapi berbagai tantangan sektor pertanian.

Sayangnya, kejayaan pangan era Orde Baru tak berlangsung lama. Terkoreksinya harga minyak dunia membuat negara terbebani dana besar untuk memenuhi kebutuhan subsidi sehingga terpaksa menumpuk utang.

Pada era 1990-an, Indonesia mulai menggeser arah pembangunan dari pertanian ke industrialisasi. Ini membuat kepentingan petani terabaikan. Beras yang awalnya menjadi tokoh utama cerita mulai ditinggalkan.



Pada awal masa reformasi, cerita beras tidak lantang terdengar. Beberapa kali pergantian pemimpin dan situasi politik yang kurang kondusif membuat pangan tidak menjadi fokus pemerintah.

Baru pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai muncul kebijakan-kebijakan strategis di sektor pangan. Ia mengawali wacana food estate lewat Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE.

Presiden keenam Indonesia ini juga mendukung lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sempat menggelorakan keberanian memangkas impor beras secara signifikan, sayangnya pada masa-masa akhir pemerintahan impor beras justru mencapai lebih dari dua juta ton.

Pada era Presiden Joko Widodo cerita beras tak banyak terdengar. Pada era ini Presiden Joko Widodo mengesahkan pendirian Badan Pangan Nasional, sesuai amanat UU Pangan, yang diharapkan menjadi solusi atas permasalahan pangan dalam negeri. Sayangnya, bisa dikatakan tidak ada kenaikan produksi beras yang berarti.

Mungkin, dalam pemikiran positif saya, Presiden Joko Widodo membangun infrastruktur pertanian, seperti embung, waduk, dan saluran irigasi, dan belum sempat membuat kebijakan strategis yang khusus untuk meningkatan produksi beras.

Mungkin juga, dalam pikiran negative saya, pemerintah terlalu berfokus pada pengembangan industri sehingga melupakan petani. Pada akhirnya kita menyadari cerita beras di Nusantara adalah cerita dinamis yang naik turun dan bergejolak.

Situasi alam dan kebijakan penguasa sangat memengaruhi alur cerita ini berjalan. Pemerintah saat ini dan ke depan perlu melihat lagi bagaimana perjalanan cerita beras negeri ini untuk merancang strategi yang tepat agar harga beras tidak bikin otak memanas.

Kampanye pangan lokal ala Soekarno adalah contoh baik tentang menekan konsumsi beras secara bijak. Konsep Soeharto membangun ekosistem yang baik bagi petani perlu dipertimbangkan agar petani menjadi pekerjaan idaman, bukan sampingan.

Jika harus melanjutkan program subsidi masif era Orde Baru, lakukan secara bijak dan terukur. Kesadaran Susilo Bambang Yudhoyono tentang pentingnya regulasi sebagai payung pembangunan pertanian juga perlu menjadi landasan pemimpin ke depan.

Kecerdikan Joko Widodo menggenjot industrialisasi mungkin perlu diterapkan juga untuk sektor pertanian. Di tengah tantangan sektor pertanian yang berat memang dibutuhkan kecerdikan seorang pemimpin. Jangan sampai cerita beras yang awalnya manis berakhir gara-gara salah asuhan oleh pemimpin.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya