SOLOPOS.COM - Tika Sekar Arum (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Stadion Manahan di Kota Solo, tempat laga Grup A Piala AFF U-16 antara tim nasional Indonesia melawan Filipina, menjadi tujuan saya pada Senin (24/6/2024) malam.

Itu demi menuruti keinginan anak sulung saya yang menyukai sepak bola. Malam itu saya niatkan mewujudkan harapan dia menonton pertandingan sepak bola langsung di stadi0n.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Ini pengalaman perdana bagi  dia. Senyum cerah tampak di wajah bocah berumur sembilan tahun itu sepanjang perjalanan ke Manahan. Cuaca malam itu mendukung. Tidak hujan. Mendung menyingkir. Bulan bersinar terang mengiringi tawa kecil dan semangat bocah SD itu.

Selama ini menonton pertandingan sepak bola langsung memang terlarang di keluarga kecil saya. Tawuran antarsuporter hingga tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 2022 menjadi alasan utama kami memilih menonton sepak bola di layar kaca.

Singkat cerita, malam itu kami berdua sampai di depan Stadion Manahan bersama para penonton lain yang datang dengan senyum dan semangat menggebu-gebu. Kami masuk lewat gate yang ditentukan, berbaur dengan penonton lain. Tak ada keributan. Smua antre dengan tertib.

Petugas sigap memeriksa barang bawaan penonton. Boleh membawa air minum dalam kemasan, namun tutup wajib dilepas. Tampaknya untuk memastikan penonton tidak membawa barang yang berpotensi dilempar ke tengah lapangan atau ke penonton lain.

Berbeda dengan bayangan kelam saya selama ini, suasana stadion aman-aman saja. Banyak anak-anak, bahkan usia lima tahun, yang duduk manis di kursi penonton bersama orang tua mereka.

Mereka tampak asyik melihat pemandangan sekitar. Wajah anak sulung saya ceria, tersenyum cerah, dan mata berbinar menggambarkan betapa kesempatan ini sangat dia nantikan.

”Wah ternyata stadion besar ya.”

”Di atas itu langit, ya?”

”Seru banget menonton sepak bola langsung.”

”Ini adalah pengalaman pertamaku menonton AFF!”

Banyak komentar lain anak saya itu yang tak terhitung. Secuil cerita anak sulung saya ini menggambarkan betapa besar antusiasme para penikmat sepak bola Indonesia.

Pada pertandingan Grup A Piala AFF 2024 malam itu, tak kurang dari 9.000 orang memadati stadion menyaksikan langsung laga Indonesia versus Filipina. Mungkin, seperti saya, ribuan orang tersebut mulai melupakan trauma kelam kerusuhan suporter atau tragedi di stadion.

Tampaknya mereka kini percaya bahwa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), asosiasi yang bertugas mengatur, mengembangkan, dan mengawasi sepak bola di Indonesia, mulai berada di jalur yang benar.

PSSI bisa menyajikan pertandingan yang fair, aman, dan nyaman, khususnya bagi suporter anak-anak. Kita tentu masih ingat tim nasional Indonesia dan PSSI pada masa lalu kerap mendapat tudingan miring.

Hingga tahun 2019 sikap skeptis kerap muncul kala memperbincangkan sepak bola Indonesia. Selama kurun waktu tersebut (setidaknya sejak 1993) ranking tim nasional Indonesia di level dunia menunjukkan tren negatif.

Berbagai skandal yang bikin geram, seperti sepak bola gajah, mafia wasit, hingga skandal pengaturan skor pertandingan (match fixing) silih berganti. Jangan sampai cerita buruk sepak bola masa lalu itu kembali terulang.

Bagaimanapun sepak bola di Indonesia memiliki ekosistem raksasa. Masalah kecil bisa berdampak besar bagi bangsa. “Industri” sepak bola Indonesia didukung pasar (suporter) yang besar.

Sebanyak 77% dari 270 juta penduduk Indonesia adalah suporter setia tim nasional Indonesia. Dalam kacamata ekonomi, sepak bola merupakan tenaga penggerak pereokonomian.

Pada laga Piala Dunia U-17 tahun 2023 lalu, Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo menyebut perputaran uang menembus Rp305 miliar. Itu dihitung dari anggaran negara yang dikeluarkan dan estimasi pengeluaran para penonton.

Bisa dibilang sepak bola adalah energi baru bagi bangsa ini untuk menggerakkan roda perekonomian. Sayang sekali jika tidak dikelola dengan  baik.

Bakat Muda

Pertandingan tim nasional U-16 Indonesai versus Filipina, Senin lalu, yang berakhir 3:0 untuk kemenangan Indonesia, membuka mata saya bahwa kita memiliki para pemain sepak bola muda yang menjanjikan.



Pada usia sangat belia mereka mampu menampilkan aksi yang memukau, meski sempat kesulitan memaksimalkan peluang menjadi gol pada babak pertama. Dengan pembinaan yang benar, boleh jadi para pemain muda itu akan tumbuh menjadi wonderkids sepak bola Indonesia.

Pekerjaan PSSI bersama pemerintah adalah memastikan bakat-bakat muda ini terus dibina hingga menjadi altet senior yang berkualitas setara dengan para pemain dunia. Iklim sepak bola Indonesia sekarang boleh dikata lebih kondusif.

Prestasi demi prestasi diraih. Peringkat Indonesia menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan sejak 2021 dan kini semakin dekat dengan target 100 besar. Pembinaan atlet dimulai pada usia muda melalui sekolah sepak bola atau SSB.

SSB lebih banyak berkiprah membina pemain sepak bola usia tujuh tahun hingga 16 tahun. Belakangan ada SSB yang membuka kelas mulai usia lima tahun seperti Akademi Sepak Bola Andre Rosiade di Sumatra Barat.

Ada beberapa SSB yang terbukti menghasilkan altet sepak bola hebat, seperti Sekolah Olahraga Ragunan (Jakarta), Akademi Persib Bandung (Jawa Barat), Mitra Surabaya, dan masih banyak lagi.

Akademikus Universitas Negeri Yogyakarta, Sulistiyono, dalam makalah Analysis of Study Indonesian Football School Curriculum, mencatat jumlah SSB di Indonesia sangatlah besar.

Jika rata-rata di setiap kota ada 10 SSB, jumlah bisa mencapai 5.140 SSB. Ini belum memperhitungkan kota-kota yang memiliki hingga 30 SSB. Dari SSB pembinaan dilanjutkan klub sepak bola pada usia 17 tahun ke atas.

Kalau melihat jumlah SSB di Indonesia, kita mungkin membayangkan Indonesia memiliki banyak bakat muda sepak bola. Nyatanya tidaklah demikian. Entah apa yang terjadi, memasuki tingkat senior ada saja bakat muda yang berujung gagal berkembang.

Saya tidak ingin menuding siapa yang salah, yang jelas ini menjadi pekerjaan bersama agar Indonesia tidak kehilangan muruah di kancah sepak bola dunia. PSSI dan pemerintah harus mengelola bakat muda sepak bola sehingga menjadi atlet senior yang berkelas dunia, di samping memastikan iklim pertandingan sepak bola yang fair dan aman.

Saya dan  masyarakat Indonesia menantikan saat bisa datang ke stadion menyaksikan laga sepak bola dengan gembira tanpa dibayangi ketakutan. Kita bisa tersenyum bangga melihat prestasi tim nasional Indonesia menjadi jawara di ajang berkelas dunia. Pada akhirnya, kita berharap cerita bola di Indonesia menjadi cerita yang berakhir bahagia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya