SOLOPOS.COM - Ilustrasi demokrasi dan masyarakat sipil. (Antaranews.com)

Elite politik mengemukakan lagi wacana amendemen UUD 1945. Salah satu substansi amendemen yang diusung adalah mengembalikan pemilihan presiden menjadi secara tidak langsung melalui MPR.

Usulan ini jelas langkah mundur dalam urusan mendewasakan demokrasi kita. Wacana mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR ini mengemuka lagi beberapa hari lalu. Sesungguhnya wacana ini telah mengemuka beberapa kali.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Sumber wacana sama, yaitu elite politik yang tidak mencerminkan kehendak riil rakyat. Wacana mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR harus dimaknai sebagai kemunduran bagi demokrasi Indonesia.

Wacana ini dikemukakan para elite politik dengan alasan untuk memperbaiki dan mengevaluasi pemilihan presiden secara langsung yang berbiaya sangat tinggi dan menghasilkan polarisasi di akar rumput rakyat.

Alasan yang dikemukakan itu sesungguhnya menunjukkan elite politik gagal memahami persoalan pemilihan umum dan demokratisasi di Indonesia. Mereka gagal membangun sistem politik beretika tinggi, sistem politik berbasis kedaulatan rakyat yang substanstif, dan gagal pula membangun demokrasi substansial.

Mengusulkan pemilihan presiden dilakukan lagi oleh MPR artinya membawa Indonesia ke masa kelam sebelum gerakan reformasi 1998. Itu adalah masa ketika kedaulatan rakyat mengalami represi. Demokrasi sebatas prosedur. Elite politik membajak kedaulatan rakyat demi kepentingan mereka sendiri.

Gerakan reformasi 1998 mengoreksi itu dengan tuntutan demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dan direalisasikan melalui pemilihan presiden secara langsung.

Dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia, pemilihan presiden oleh MPR jelas mereduksi dan mendelegitimasi konsep ini. Dalam konsep sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih oleh rakyat.

Presiden mendapat mandat langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Presiden tidak boleh menjadi subordinasi dari kekuasaan legislatif dalam hal dan bentuk apa pun, termasuk dalam pemilihan karena presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara.

Alasan mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR dengan alasan untuk menghemat biaya politik dan dan mengatasi polarisasi di tengah-tengah masyarakat menunjukkan elite politik gagal memahami persoalan biaya politik tinggi dan penyebab polarisasi di akar rumput rakyat.

Biaya politik yang tinggi tidak bisa serta-merta disimpulkan sebagai akibat dari pemilihan langsung. Ini harus dijelaskan dengan data yang sangat valid. Realitas menunjukkan biaya besar yang dikeluarkan itu justru untuk tindakan/perbuatan yang dilarang dalam Undang-undang Pemilu: politik uang.

Apabila bermaksud mengatasi realitas politik berbiaya tinggi, evaluasi bukan dengan ”membajak” lagi kedaulatan rakyat, tapi menguatkan regulasi yang melarang politik uang. Langkah tak kalah penting adalah mempercepat reformasi partai politik menjadi lebih demokratis dalam pengambilan keputusan dan mewujudkan transparansi tata kelola keuangan partai politik.

Elite politik yang paham urusan pemilu dan demokratisasi di Indonesia pasti akan memilih revisi Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Partai Politik demi membangun sistem politik yang tidak berbiaya tinggi, bukan malah memelopori ”pembajakan” kedaulatan rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya