SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Banyak-banyaklah mendengar Symphony No. 8 karya Beethoven, Ave Maria ciptaan Charles Gounod, Adagio milik J. Sebastian Bach, atau mungkin yang lebih familiar di telinga Anda, Fur Elise. Komposisi-komposisi musik itu akan membantu perkembangan otak janin, dengan kata lain anak Anda akan menjadi orang pintar nantinya.

Begitulah saran berpuluh-puluh artikel yang saya baca, nasihat dokter, serta rekomendasi beberapa teman yang sudah punya anak lebih dulu ketika saya sedang hamil anak pertama. Saya pun mematuhi nasihat-nasihat itu.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Hasilnya adalah saya justru tak bisa tidur karena gelisah, terutama saat mendengar Fur Elise, karena mengingatkan pengalaman buruk pada masa lalu. Masa saat saya tidak lulus ujian di sebuah sekolah musik, menghadapi tatapan guru gitar klasik saya yang kecewa serta pandangan bapak yang pasrah melihat anaknya tidak tahu selera musik.

Saat itu saya membatin dalam hati, bagaimana bisa saya jatuh hati pada Fur Elise kalau kuping saya lebih akrab dengan Kidung Rumekso ing Wengi karya Sunan Kalijaga yang dinyanyikan Bapak supaya saya lekas tidur.

Memaksa diri saya yang sedang hamil besar mendengarkan segala musik itu bukannya membuat saya tenang, namun justru membuat mata saya nyalang menyala hingga dini hari. Dengan catatan kegagalan ujian musik klasik pada masa lalu plus kegagalan menikmatinya pada masa kini, saya pun mulai merasa cemas: jangan-jangan ada yang salah dengan otak saya atau ada yang salah dengan selera saya.

Kenapa para wanita yang sedang hamil di dunia (mereka bahkan tidak ikut les musik) bisa begitu tenang mendengar musik-musik klasik itu, sementara saya tidak?

Lagu yang membuat saya tidur nyenyak justru Overjoyed milik Stevie Wonder, yang secara harfiah sudah saya dengar ratusan kali, pun saat lagu itu dinyanyikan Peppi Kamadhatu. Overjoyed adalah sebuah lagu tentang cinta tak bersyarat terhadap seseorang, namun tidak mendapat balasan.

Yang membuat saya jatuh hati pada lagu ini adalah diksi overjoyed. Stevie Wonder menerjemahkannya menjadi ledakan kebahagiaan mencintai seseorang dengan tulus dan itu tidak ada kaitannya dengan respons dari arah sebaliknya. Cinta ya sesederhana itu.

Dengan segala ingatan masa lalu tersebut, berdirilah saya di depan seratusan peserta workshop hybrid Karya Sastra Menembus Media Massa yang digelar di Monumen Pers, belum lama ini. Ada dua narasumber dalam kegiatan itu, pertama sastrawan S. Prasetyo Utomo dan kedua saya sebagai pengampu rubrik Jeda, rubrik sastra di media tempat saya bekerja, Solopos Media Group.

Pak Pras tentu saja menjelaskan pengalamannya yang sangat panjang dalam dunia sastra, sementara saya, “si bayi” yang baru beberapa bulan mengelola rubrik ini diharapkan bisa menjelaskan bagaimana cara saya bekerja. Lalu “si bayi” itu pun memutuskan untuk jujur.

Baca Juga: Kotakata Kita

Selera. Memang itulah kata kuncinya. Namun, ini tidak sesederhana pengalaman Anda ketika bertemu seseorang lantas Anda jatuh cinta kepadanya: alasan klasiknya adalah sosoknya sesuai dengan selera Anda.

Ini juga bukan saat Anda jatuh cinta pada lagu tertentu, lukisan tertentu, atau pada karya sastra tertentu. Intinya ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama karena saya memang tidak pernah setuju dengan konsep itu.

Soal selera, saya adalah murid Pierre Bourdieu karena penjelasannya sangat masuk akal untuk melengkapi pendapat Immanuel Kant perihal memahami karya seni hanya dari nilai entitasnya. Bourdieu memang menentang Kant, tapi saya memutuskan menggabungkan keduanya dengan lebih banyak porsi Bourdieu tentu saja walau itu juga bukan persetujuan mutlak.

Seperti yang saya katakan kepada peserta workshop saat saya menunjukkan dua gambar, pertama lukisan si jenius Leonardo da Vinci Mona Lisa dan kedua lukisan si seniman nyentrik Andy Warhol, Marilyn Monroe, yang sangat pop art. Saya adalah penikmat lukisan kedua dan baru bisa menikmati yang pertama saat muncul dalam bentuk parodi. Selera saya sungguh meragukan bukan?

Namun, itulah selera saya, pengetahuan saya. Sekali lagi jatuh cinta pada karya seni memang bukanlah tindakan empati atau perasaan emosional tiba-tiba, melainkan sebuah proses kognitif yang sangat kompleks dalam sebuah operasi decoding atas kode yang disampaikan sebuah karya seni.

Pecel

Bourdieu mengatakan ada budaya bawaan dari masa kanak-kanak yang tidak bisa didapat seseorang hanya dengan mempelajari budaya. Jadi, mulailah saya melacak diri saya dari selera ibu yang sangat menyukai lagu-lagu Scorpion dan novelis macam Mira W.,V. Lestari, Danielle Steel, Sidney Sheldon, John Grisham, sampai Margaret Mitchell. Ibu juga membanjiri saya dengan buku-buku karangan Enid Blyton, Astrid Lindgren, E. Nesbit, Mark Twain, dan masih banyak lagi lagi ketika saya masih kecil hingga remaja dulu.

Di luar itu, terkadang saya membaca diam-diam buku Anak Bajang Menggiring Angin milik kakek yang disimpan di laci meja kerjanya saat saya masih SD dan menjadi pembaca pertama cerita silat bersambung karya Kho Ping Hoo di Kompas dulu.

Beranjak dewasa, saya mulai terpesona dan benar-benar tenggelam dalam tulisan-tulisan Foucault, Baudrillard, Bourdieu, Adorno, Horkheimer, sampai Marcuse – para pemikir utama dalam Mazhab Frankfurt. Saya menjadi lebih akrab dengan esai ketimbang karya sastra hingga saat.

Nah, kembali lagi pada Bourdieu dalam teorinya soal aristokrasi budaya, saya sepakat bahwa kebutuhan budaya jelas merupakan produk pengasuhan dan pendidikan. Operasi decoding dalam memahami karya seni jelas bukan taken for granted.

Praktik budaya seperti berkunjung ke museum, ke konser, membaca, sampai pada pilihan karya sastra, lukisan, maupun musik berkaitan erat dengan level pendidikan (kualitas dan lama bersekolah) serta asal-usul kehidupan sosial. Praktik inilah yang kemudian melahirkan hierarki kelas, seperti yang Bourdieu katakan taste classifies and it classifies the classifier, aristokrat pada masa modern.

Ada pedant (berpendidikan, selera kelas atas, atau aristokrat) yang memahami, namun tidak bisa menikmati dan sebaliknya ada mondain (selera populer) yang sangat menikmati, namun tidak paham esensinya. Tapi, saya tak hendak membahas keduanya lebih lanjut.

Intinya, dengan segala kelemahan saya dalam mengurasi cerita, saya sadar terkadang saya berada di posisi mondain ini. Jadi selain memang ada cerpen yang memang belum cukup matang untuk diterbitkan, bisa jadi yang terjadi justru sebaliknya. Sayalah yang gagal menangkap kode-kode dalam cerita pendek tersebut karena saya sejatinya tidak punya pengetahuan yang cukup tentang itu.

Maka, ada baiknya bagi penulis yang karyanya tidak diterbitkan, mengirimkan lagi tulisan mereka ke media lain. Ini karena saat kita berbicara rubrik sastra, maka kita tidak bisa memisahkannya dari si pengelola yang kondisinya begitu beragam, berbeda-beda.



Setelah menulis ini, bagian dari diri saya berkata, “Untuk apa kamu mengakui dirimu bodoh dengan begitu terbuka? Apa untungnya?”

Saya terhenyak sejenak dengan pertanyaan itu sebelum kemudian otak saya berpikir cepat.

“Tapi, menjadi diri sendiri jauh lebih terhormat daripada berpura-pura menjadi orang lain,” jawab saya. “Lagi pula, budaya adalah hal yang bisa dipelajari, tidak sesaklek Bourdieu,” kata saya lagi sambil mengingat-ingat betapa lepas tawa saya ketika membaca berita Puan Maharani makan pecel bersama Muhaimin Iskandar yang sempat ramai pada akhir 2022 lalu.

Bagaimana praksis makan pecel kemudian direpresentaskan dengan pembelaan terhadap wong cilik itu benar-benar menghibur pancaindra saya. Sebuah parodi encoding. Saya pun memilih jujur.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Februari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya