SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Istilah  crazy rich sudah cukup lama kita dengar dan baca. Istilah ini banyak dipakai untuk menggambarkan orang-orang yang punya kekayaan luar biasa.

Saking besarnya kekayaan mereka, gaya hidup pun jadi “edan-edanan” alias crazy, entah lantaran super-flexing alias gegayaan luar biasa, entah karena justru saking kayanya dia malah tampil sangat biasa, tidak menonjol.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Istilah ini makin populer sejak ada film Crazy Rich Asians pada 2018. Film ini berkisah tentang seorang perempuan Tionghoa-Amerika, Rachel, yang berpacaran dengan seorang laki-laki yang “terlihat biasa”, yaitu Nick.

Rachel menjdia jadi kaget luar biasa ketika diajak Nick pulang kampung ke Singapura dan ternyata Nick adalah anak dari salah satu keluarga terkaya di Singapura.

Istilah crazy rich lantas kembali populer belakangan ini dan sayangnya lantaran kasus-kasus kriminal. Misalnya, seorang yang disebut crazy rich asal Surabaya ternyata terlibat kasus penipuan jual-beli emas dengan pejabat BUMN Aneka Tambang.

Contoh lainnya, seorang crazy rich yang jadi suami aktris dan pesohor Sandra Dewi ternyata terlibat skandal korupsi timah yang melibatkan BUMN juga yang potensi kerugiannya bagi negara mencapai Rp217 triliun.

Kalau dibayang-bayangkan, ya, mereka yang crazy rich ini se-crazy-crazy-nya, sekriminal-kriminalnya, seaneh-anehnya gaya hidup mereka, masih tetap–dalam istilah gaul–untung banyak.

Hla mau dibagaimanakan juga mereka ini tetap saja jatuhnya kaya. Jarang ada kisah soal mereka yang jadi uripe kesrakat seperti kata orang Jawa, alias jadi bangkrut-sebangkrut-bangkrutnya.

Mau terjerat kasus apa pun, nek ora kebangeten tenan, para crazy rich ini akan tetap ada di kasta teratas strata sosial ekonomi. Bicara soal “kasta,” di media sosial X atau yang dulu bernama Twitter, pernah ada yang mengunggah pernyataan nggresula.

Bunyinya kira-kira begini “orang miskin itu sebenarnya dapat banyak fasilitas, ada bantuan sosial segala macam, ada kuota khusus buat sekolah, ada prioritas buat beasiswa, dan sebagainya.”

Si pengunggah melanjutkan nggresula,”Siapa yang mau membantu warga kelas menengah?” Si pengunggah itu, maaf saya lupa nama akunnya, bilang padahal warga kelas menengah inilah penggerak ekonomi sesungguhnya.

Mereka yang nglarisi dagangan pedagang kali lima atau PKL, lapak-lapak, gerai-gerai, toko-toko, mal-mal, tapi dalam kenyataan mereka dalam situasi perekonomian saat ini dengan makin mahalnya harga-harga aneka barang kebutuhan, sebetulnya juga makin kepepet.

Pendapatan mertanggung, tapi karena “dianggap mampu” maka bagi mereka tidak berlaku segala macam fasilitas bantuan, keringanan, kuota khusus, dan sebagainya.

Ada unggahan lain di X yang juga lumayan sering di-quote atau di-repost, yaitu dialog rekaan seorang calon mahasiswa yang berupaya mencari keringanan biaya kuliah. Di satu perguruan tinggi dia ditanya apa pekerjaan orang tuanya.

Dia jawab,”Karyawan.” Dia mendapat tanggapan,”Wah, orang tua Anda kan mampu, tidak bisa mendapat keringanan.” Dia pindah ke perguruan tinggi lain, ditanya apakah punya surat keterangan miskin.

Dia jawab,”Tidak punya.” Dia memang tidak masuk kriteria itu. Ya, batal lagi masuk karena tak ada keringanan. Begitu seterusnya.

Tanggung

Hal ini makin mengemuka sekarang ketika sedang ramai isu uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) perguruan tinggi negeri (PTN) yang melonjak naik sehingga memicu aksi demo mahasiswa di sejumlah kampus PTN.

Siapa yang ribut? Ya, kebanyakan dari keluarga kelas menengah ini, yang penghasilannya terlihat “banyak” di atas kertas, namun sebenarnya tekanan perekonomian juga keras menghantam mereka sementara tak ada jaring pengaman yang tersedia untuk mereka.

Akhirnya kelas menengah ini pun menjadi golongan crazy in the middle alias edan neng tengah-tengah. Mau dibilang miskin, ya enggak juga karena secara pendapatan mereka jelas ada di atas strata ekonomi bawah.

Mau dibilang kaya sebenarnya juga relatif karena tekanan ekonomi buat mereka nilainya juga besar. Apalagi kok sampai mencapai level crazy rich, hla mikir sampai crazy ya enggak sampai rich-rich alias ora sugih-sugih.

Yang struggling alias berjuang habis-habisan di level tengah ini juga banyak sekali sebenarnya. Mau bertahan di pekerjaan tertentu kok mulai tak cocok duitnya. Mau pindah ke tempat lain umur sudah mulai mertanggung, mulai terhalang kriteria “usia maksimal.”

Yang punya bisnis juga sangat terpengaruh keadaan pasar yang kadang naik-turun, padahal bisnis harus dipertahankan, dirawat, tapi mau bertahan sering kali juga berat. Target belum tentu bisa cepat didapat.

Repotnya, mengaku lagi struggling alias sedang ngos-ngosan sering kali juga tidak dipercaya. Lebih tak enak lagi kalau kalangan kelas menengah ini ketika mengeluhkan tekanan yang mereka alami justru dibilang “kurang bersyukur” atau dibilang “mbok lihat mereka yang ada di bawahmu.”



Nah, mau mengeluh bagaimana coba, padahal ya sering abot tenan. Njur piye? Now what? Ya, sudahlah, wala-wala kuwata kata orang zaman dulu. Ndonga dipun paringi kiyat, biar kita setidaknya tidak jadi orang yang crazy dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Semangkaaaaaaaaaa…!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya