SOLOPOS.COM - Susatyo Yuwono (FOTO/Dok)

Susatyo Yuwono (FOTO/Dok)

Dosen di Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Pada Maret lalu ada usulan yang menimbulkan kontroversi di media massa terkait usulan moratorium pendaftaran haji di Indonesia. Setiap tahun dipastikan antrean jemaah calon haji  makin panjang. Antrean terpendek di suatu daerah adalah enam tahun, dan ada yang mencapai 12 tahun. Dulu, ketika pembayaran biaya haji lunas maka langsung berangkat ke Tanah Suci.
Apabila merujuk teori pertumbuhan ekonomi, ukuran kemajuan ekonomi paling mudah adalah meningkatnya daya beli masyarakat. Antrean yang makin banyak menunjukkan peningkatan daya beli masyarakat atas biaya haji. Apabila perspektif ini kita gunakan, kita patut bangga dan senang.
Namun, kenyataannya angka kemiskinan di negara ini makin tinggi yang artinya daya beli justru menurun. Beberapa pihak menyatakan fenomena ini dipengaruhi kebijakan finansial negara yang membuka fasilitas kredit atau pinjaman pembiayaan haji.
Dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan seat haji, 100% bisa di danai oleh perbankan. Artikel ini tidak bermaksud membahas pembiayaan haji, namun lebih ditekankan kepada dinamika psikologis yang melingkupi fenomena ini.
Sedikit banyak fenomena ini menunjukkan peningkatan motivasi beragama umat Islam. Saat ini keinginan untuk berhaji juga sangat besar dan menyentuh seluruh kalangan masyarakat. Banyak faktor yang memengaruhi motivasi berhaji yang secara umum dapat dikelompokkan dalam faktor internal dan eksternal.
Faktor internal bersumber dari dalam diri individu, antara lain keyakinan bahwa haji adalah perintah Allah SWT. Hal ini juga dipengaruhi keinginan untuk mendapatkan pahala karena melaksanakan perintah-Nya. Haji sebagai salah satu rukun islam mendapatkan status wajib bagi yang mampu. Haji mabrur menjadi dambaan setiap umat islam.
Dorongan lain dari dalam diri adalah kesadaran bahwa diri ini sangat kecil dan tidak memiliki kemampuan kecuali atas izin-Nya. Kesadaran ini mengarahkan manusia pada penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Bahkan kepentingan lain dapat disingkirkan sementara untuk kebutuhan haji ini.
Faktor eksternal pelaksanaan haji antara lain kemampuan ekonomi yang memadai untuk pelunasan biaya haji, dorongan dari keluarga untuk berhaji, serta budaya yang mewarnai citra haji. Fenomena saat ini menunjukkan perubahan suasana, tak lagi susah untuk membayar haji namun sebaliknya sudah jauh lebih mudah karena didukung pembiayaan oleh perbankan nasional.
Motivasi berhaji juga dipengaruhi faktor keluarga, yang senantiasa menekankan kepada ibadah semampu mungkin. Lingkungan terdekat yang lain adalah masyarakat dengan budaya yang memengaruhi motivasi berhaji. Asumsi bahwa haji adalah syarat minimal seorang muslim, sehingga apabila belum haji maka diragukan kemuslimannya, akan menjadi motivasi kuat bagi muslim.

Efek
Motivasi berhaji tersebut sesungguhnya bernilai positif karena menunjukkan dorongan ketaatan beragama yang sangat kuat, yang implikasinya diharapkan mampu menorehkan perilaku yang positif pula di lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja. Rasanya tidak ada yang membantah asumsi ini, apalagi Islam memang sudah menunjukkan tingginya nilai haji dalam memengaruhi perilaku manusia.
Namun, lamanya waktu menunggu antrean berangkat haji sedikit banyak memunculkan imbas negatif bagi umat. Salah satu di antaranya adalah menurunnya motivasi ketika mengetahui urutan berangkat. Dapat pula berupa penurunan motivasi akibat terpaan berbagai masalah selama menunggu keberangkatan.
Masalah hidup setiap saat dapat muncul dan tidak jarang menimbulkan hilangnya semangat beragama secara drastis. Secara fisik maupun psikologis kemampuan manusia menahan beban tekanan bukannya tidak terbatas, sehingga tekanan yang muncul terus-menerus akan menggerus motivasi yang begitu tinggi pada masa awal pendaftaran haji.
Makin tua usia juga akan makin banyak masalah yang dihadapi. Hal ini menyebabkan bertambahnya usia seiring menunggu waktu berangkat tidak akan bisa terhindar dari risiko sakit fisik dan psikologis. Secara fisik sudah tentu akan makin turun kemampuannya, demikian pula secara psikologis.
Secara psikologis makin tua juga makin rentan mengalami gangguan seiring makin kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Anak-anak yang makin besar memiliki kebutuhan makin banyak sehingga sering memunculkan stressor baru yang makin kuat. Apalagi kalau dukungan keluarga menurun maka daya tahan psikologis akan lebih cepat menurun.
Lamanya antrean juga menimbulkan ketidakpastian di dalam diri apakah pada gilirannya nanti masih hidup dan sehat. Kekhawatiran ini akan mendorong calon haji berpikir ulang apakah harus berhaji dengan sistem antrean atau tidak perlu antre. Haji terakhir ini berbentuk haji plus yang memiliki fasilitas lebih baik dan tidak perlu antre, namun konsekuensinya biaya hampir dua kali lipat.
Kondisi psikologis di atas dapat mengarah kepada frustrasi calon haji sehingga menghambat kegiatan hidup yang lain. Motivasi bekerja juga rentan menurun sehingga mudah mengalami konflik di lingkungan kerja. Menurunnya motivasi kerja secara tidak langsung juga akan berpengaruh kepada suasana rumah tangga yang kurang kondusif, apalagi kalau dukungan keluarga kurang memadai.

Solusi
Mungkin uraian di atas terlalu jauh prediksinya, namun kondisi tersebut secara riil sangat mungkin terjadi. Beberapa media massa menyebutkan data peningkatan jumlah pasien gangguan jiwa di beberapa rumah sakit. Hal ini dimungkinkan akibat makin kompleksnya permasalahan hidup sehingga rentan mengalami stres. Salah satu tekanan adalah frustrasi karena lamanya antrean haji.
Kondisi tersebut menuntut kebijakan pemerintah dan peran masyarakat yang bersinergi dalam pelaksanaan ibadah haji. Secara finansial, peran perbankan dalam pembiayaan sangat membantu calon haji, namun di sisi lain hal ini menimbulkan gelombang antrean pendaftaran yang panjang. Antrean muncul karena kuota haji yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.
Akar masalah inilah yang mesti segera diselesaikan yaitu meminimalkan antrean ini. Salah satu cara strategis adalah menambah kuota dan mengatur ketat syarat keberangkatan calon haji. Kuota sangat terkait dengan kemampuan Arab Saudi menyiapkan akomodasi bagi jemaah.
Meskipun setiap tahun menambah kuota, namun tetap belum mampu mengurangi lamanya antrean. Penambahan antrean yang tidak seimbang dengan penambahan kuota menjadi sebab makin lamanya antrean. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah saat ini belum membatasi syarat haji dengan lebih ketat.
Ada calon haji sesungguhnya sudah pernah berhaji dan jenis ini tidak sedikit. Apakah tidak memungkinkan melarang ibadah haji yang lebih dari sekali? Saya berpendapat demi kemaslahatan umat, pembatasan ini harus segera dilakukan. Seandainya calon haji betul-betul hanya yang pertama kali maka antrean yang terjadi tidak akan sepanjang saat ini.
Peraturan ini perlu disiapkan secara sungguh-sungguh dengan melibatkan banyak pihak, termasuk perguruan tinggi dan ulama. Peran masyarakat dalam pelaksanaan peraturan nantinya juga sangat dibutuhkan, khususnya dalam sosialisasi sehingga akan diperoleh kesadaran bersama akan pentingnya penyelesaian masalah ini.
Pemerintah juga akan sangat terbantu dengan berkurangnya antrean karena beban tanggungan antrean berimplikasi pada perencanaan kegiatan anggaran yang tidak pasti. Anggaran yang tersimpan di bank juga berisiko dikorupsi sebagaimana dugaan yang dikemukakan institusi antikorupsi di negeri ini. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik mengobati sekarang daripada ditunda dan makin parah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya