SOLOPOS.COM - aloys budi purnomo (Solopos/Istimewa)

Menjelang Natal 2022, mencuat kabar tak sedap soal kebebasan beribadah dari Lebak, Banten. Peristiwa Lebak dalam konteks Natal membawa refleksi kita hingga Betlehem, tempat Yesus lahir di Natal perdana. Sebagaimana diberitakan di banyak media dan direspons melalui media sosial, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya “mengimbau” warganya di Kecamatan Maja yang beragama Kristen melaksanakan ibadah Natal di Rangkasbitung. Alasannya, karena di Kecamatan Maja belum ada gereja.

Padahal, untuk menuju ke Rangkasbitung dari Maja tidaklah mudah. Alih-alih memfasilitasi warganya dengan tempat yang pantas untuk beribadah, Ibu Bupati justru menaburkan imbauan yang bikin gundah. Faktanya, pernyataannya justru menuai kontroversi. Kebijakannya dalam bungkus “kewaspadaan dini” yang diputuskan bersama Kantor Kemenag dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Badan Kerja SAma Antar Gereja (BKSAG) Kabupaten Lebak bukanlah suatu solusi melainkan dibaca sebagai sebentuk diskriminasi terhadap warga kristiani.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Kebijakan tersebut mendapatkan respons dari Prof. Amin Abdullah, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dua periode 2002-2006 dan 2006-2010tersebut menegaskan setiap warga negara, komunitas, pejabat, dan penyelenggara negara harus tunduk pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Dasar konstitusionalnya adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh UUD 1945. Menurutnya, beribadah dan merayakan Natal, membangun tempat ibadah, merayakan hari besar keagamaan lainnya adalah bagian dari kebebasan yang di negeri ini dijamin oleh konstitusi yang sah.

Sebagaimana dilansir Gerbangkaltim.com (19/12/2022), Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005) tersebut juga menegaskan, “Justru yang perlu dipikirkan dan difasilitasi oleh umat beragama dan penyelenggara negara pada umumnya di bumi Pancasila adalah bagaimana membantu dan mencari jalan keluar untuk umat beragama, apa pun agama yang dipeluknya agar mempunyai tempat beribadah yang layak dan dekat dengan komunitas.”

 

Belarasa

Dengan empati dan belarasa, saya mengangkat peristiwa Lebak tersebut untuk merefleksikan perayaan Natal 2022 ini. Pada intinya, teologi Natal pun berpusat pada pokok gagasan tentang belarasa, yakni empati dan kepedulian Allah kepada manusia. Demi keselamatan umat manusia, Allah yang kasih-Nya begitu besar berkenan menganugerahkan Yesus Kristus yang lahir ke bumi (bdk. Yohanes 3:16) melalui rahim Santa Perawan Maria (Lukas 1:26-38). Untuk menyambut perayaan Natal dengan isi belarasa itu, warga kristiani di Lebak justru mengalami tantangan dan kesulitan.

Paling gampang namun tidak serampangan adalah mengatakan bahwa yang sedang dialami umat kristiani di Maja, Lebak, memang tidak jauh dari pengalaman Natal perdana. Dalam konteks Natal perdana, peristiwa kelahiran Yesus Kristus pun terjadi dalam kondisi sosial politik yang penuh ketegangan. Sampai-sampai, Yesus harus lahir dengan “dibungkus lampin dan dibaringkan di palungan” karena tak ada tempat yang layak yang mau menerima kedua orang tuanya, Maria dan Yosef, pada zamannya di Betlehem (Lukas 2:10-14).

Maka, kesulitan yang sedang dialami oleh umat kristiani di Maja, Lebak, Banten, dapat ditempatkan dalam konteks Natal perdana tersebut. Sejak awal mereka sudah menghadapi tantangan. Alih-alih memperoleh kemudahan, mereka justru menghadapi kesulitan-kesulitan praktis, yang sebetulnya tidak perlu terjadi, bila penguasa setempat lebih peka dan memiliki empati serta belarasa! Imbauan yang dibungkus dengan ungkapan “kewaspadaan dini” tersebut mengandung indikasi intoleransi. Disebut intoleransisebab imbauan itu berlawanan dengan peraturan yang sah. Imbauan itu berlawanan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Disebutkan dalam Bab II Pasal 2 s.d. 7, setiap kepala daerah wajib memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kabupaten/kota. Bupati harus tunduk pada peraturan tersebut. Karenanya, sebagaimana disampaikan anggota Dewan Pakar BPIP Prof. John Pieris, sebagai pejabat negara dan seorang pamong, bupati harus melindungi semua warga yang berbeda agama dan keyakinan. Bupati harus melindungi dan aktif membina kerukunan antar umat beragama. Esensi kepemimpinan Pancasila sesungguhnya ada dalam hati dan sikap semua bupati (Gerbangkaltim.com, 19/12/2022).

Bila mau berempati, berbelarasa, dan bertoleransi, peraturan tersebut seharunya ditaati. Sebagaimana akar kata toleransi sejati berasal dari kata tolerare (bahasa Latin), yang berarti saling mengangkat beban dan menolong satu terhadap yang lain; maka, tidak semestinya “kewaspadaan dini” yang berujung imbauan beribadah ke tempat lain itu terjadi.

 

Damai Natal

Meski sedang mengalami kesulitan mengungkapkan iman melalui ibadah Natal, saya yakin, umat kristiani di Maja tidak pernah akan kehilangan damai sejahtera Natal. Damai Natal tak pernah dapat dirampas oleh arogansi kekuasaan, sebagaimana sudah terjadi sejak 2000 tahun silam di Natal perdana di Betlehem.

Dalam konteks ini, umat kristiani lainnya di seluruh Republik ini juga dipanggil memiliki kepekaan kepada siapa saja yang sedang mengalami berbagai macam kesulitan, apa pun bentuknya. Maka, pesan Natal 2022 yang dirilis oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) sangatlah relevan dan signifikan. Fakta yang sedang dialami oleh umat kristiani di Maja, Lebak,“ Mengajak kita untuk berjalan bersama juga, dalam menemukan kehendak Dia yang ‘tinggal di antara kita’ (bdk.Yohanes 1:14) untuk menegakkan Kerajaan Kasih-Nya.”

Mestinya para pejabat di Lebak terbuka mendengarkan pesan tersebut dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika di negeri Pancasila. Dengan demikian, mereka mampu mensyukuri, merawat, dan mengembangkan bersama-sama pula spirit Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Spirit tersebut seharusnya mendorong semua pihak untuk saling bergandengan tangan dalam mewujudkan tata kehidupan bersama yang lebih rukun, harmonis, adil, dan bermartabat. Umat kristiani pun secara bersama dipanggil dan diutus untuk selalu berjalan bersama agar mampu menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan hidup.

Hanya dengan cara itulah, maka damai sejahtera Natal dapat pula diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara internal maupun eksternal. Kepeduliaan kepada siapa pun yang sedang mengalami berbagai musibah, yang di bulan Desember masih terus terjadi seperti bencana alam, banjir, tanah longsor, serta musibah lainnya, menjadi ungkapan berbagi damai sejahtera Natal dalam kehidupan nyata. Selamat Natal bagi yang merayakannya!

(Esai ini telah dimuat di Harian Solopos, Sabtu (24 Desember 2022. Penulis adalah Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang dengan alamat surel aloys@unika.ac.id)

 

 

 

 

 

 



 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya