SOLOPOS.COM - Imamah Fikriyati Azizah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pasangan suami-istri berdebat gara-gara “salah” ucap. Sang istri berucap ”dapur sampeyan” kepada suaminya. Ucapan itu membuat sang suami terkejut. Ia berpikir istrinya lancang. Rupanya, sang istri sedang mencampur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

”Dapur” adalah tempat memasak dan sampeyan [dalam bahasa lebih halus: panjenengan] berarti ”kamu” dalam bahasa Jawa. Sang suami terlanjur salah paham. Ia mengira istrinya berkata dhapur dalam bahasa Jawa yang artinya ”rupa” atau ”wujud”.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Ungkapan dhapurmu dalam kebudayaan Jawa dianggap tidak sopan, terlebih jika diucapkan orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua atau seorang istri terhadap suami.

Cerita tersebut adalah nukilan dari lakon Pak Dengkek dalam Dagelan Mataram–Basiyo, lakon yang disender radio sebelum era reformasi 1998. Pada tahun 1970-an, bahasa daerah masih melekat sebagai alat komunikasi masyarakat penutur jati.

Penggunaan bahasa Indonesia masih terbatas pada momen tertentu dan situasi formal yang berfungsi sebagai lingua franca untuk menghubungkan kelompok masyarakat satu dengan yang lain. Banyak masyarakat di daerah-daerah yang bahkan tidak menguasai bahasa Indonesia.

Pada saat itu, pemerintah belum perlu membuat program-program khusus dalam rangka revitalisasi bahasa daerah. Situasi yang terbalik jika dibandingkan dengan hari ini. Eksistensi bahasa daerah masih terbilang kuat pada masa itu. Sastrawan W.S. Rendra, yang pada 1950-an menulis cerita pendek dalam bahasa Indonesia, berupaya mengemas gaya ceritanya agar dapat mencapai penjiwaan mayoritas masyarakat Jawa.

Bahasa Indonesia yang berusia muda belum mampu mengimbangi kekayaan dan kematangan bahasa Jawa dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan. Kumpulan cerita pendek W.S. Rendra tersebut kemudian dibukukan dalam Pacar Seorang Seniman.

Situasi pra-reformasi tersebut berubah seiring perjalanan waktu dan keberagaman berpikir manusia. Pak Dengkek memotret campur kode sang istri dan ketidakpahaman sang suami yang pada masa itu masih dianggap sebagai suatu keanehan, mengundang kebingungan, bahkan kelucuan.

Model penuturan campur kode semacam itu dianggap hal wajar pada saat ini. Para penutur dan mitra tutur saling bertutur dengan mencampur antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Kecenderungan tersebut akrab ditemukan pada generasi muda, yang bahkan hidup di daerah-daerah.

Situasi tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan pergaulan, pekerjaan, sekolahan, tetapi juga di keluarga. Permasalahan saat ini adalah para orang tua cenderung tidak mentransfer bahasa daerah kepada anak-anak mereka. Kecenderungan tersebut bukan terjadi lantaran para orang tua tidak mampu berbahasa daerah, melainkan lantaran tidak mau.

Ironisnya, peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di masyarakat kota, tetapi juga di lingkungan masyarakat yang hidup di daerah-daerah. Daerah merupakan ruang paling steril bagi bahasa daerah sebagai alat komunikasi sehari-hari jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan dan/atau perantauan.

Banyak faktor yang membuat para generasi muda, khususnya di daerah, merasa tidak harus selalu berkomunikasi dengan bahasa daerah. Faktor paling mencolok adalah kuasa media, cetak maupun digital. Informasi, pengetahuan, dan gaya hidup yang dikembangkan media massa berhasil mengontrol selera dan kecenderungan masyarakat penikmat.

Keberhasilan media massa diperkuat kehadiran Internet yang mudah dijangkau masyarakat. Teknologi yang semakin maju berpengaruh pada fleksibilitas pola pikir masyarakat. Kemunculan telepon pintar tidak lagi sekadar berfungsi untuk bertukar kabar. Benda kecil tersebut dapat memuat berbagai macam informasi.

Bahasa komunikasi dalam media massa didominasi bahasa Indonesia karena kepentingan perhubungan dan persatuan. Citra dan gaya berbahasa diwakili para entertainer dan/atau figur berpengaruh. Program-program dikemas apik dan menarik oleh industri.

Ada pula kecenderungan mengunggulkan bahasa tertentu, seperti aksen Jakarta Selatan, bahasa gaul, dan istilah-istilah baru yang muncul di media sosial. Para pengguna telepon pintar yang rajin mengakses dan berselancar di dunia maya mengalami habituasi sehingga merasa tertinggal apabila tidak mengikuti tren.

Stereotipe

Peristiwa tersebut berdampak pada nasib bahasa daerah. Secara tidak sadar, masyarakat telah dikendalikan untuk merasa bahwa kemajuan teknologi selaras dengan kemajuan berbahasa, yakni penggunaan bahasa Indonesia yang pada mulanya berfungsi sebagai bahasa perhubungan antar-etnis untuk memudahkan komunikasi menjadi bahasa bercitra kemajuan.

Peristiwa ini ”diperparah” stereotipe bahwa menguasai bahasa asing—terutama bahasa Inggris—meningkatkan wibawa seseorang, membuat seseorang tampak lebih intelek dibanding lainnya.

Pada akhirnya, situasi yang terjadi adalah peristiwa translanguaging, alih kode, dan campur kode bergeser fungsi dari kepentingan kultural dan situasional menjadi “peningkatan” gaya hidup melalui pemakaian bahasa.

Kekhawatiran muncul ketika bahasa daerah mulai rawan punah. Oleh karena itu, pemerintah membuat program revitalisasi bahasa daerah. Program teraktual Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi adalah Merdeka Belajar Episode Ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah.

Program yang digalakkan pemerintah untuk memperpanjang napas atau menghidupkan kembali bahasa daerah tidak akan berjalan lancar apabila tidak diimbangi konter oleh media dan kontrol lembaga. Pemerintah perlu turun ke bawah, ke kelompok kebudayaan daerah untuk bersinergi dalam revitalisasi.

Program yang dicanangkan seyogianya bukan proyek sekali gebyar dan setelah itu bubar, melainkan proyek panjang umur dan berkelanjutan. Apabila revitalisasi bahasa daerah dianggap penting, perlu pewajiban sekolah-sekolah di seluruh Indonesia mempertahankan mata pelajaran Bahasa dan Kebudayaan Daerah.

Para guru perlu mendapatkan pengarahan agar menyampaikan bahasa dan kebudayaan daerah secara konseptual dan substansial, tidak sebatas hafalan dan kemampuan menjawab soal.

Hal tersebut perlu dilakukan agar generasi muda—sebelum tumbuh menjadi orang tua dan menjadi garda depan pelestarian bahasa daerah sebagai bahasa ibu—merasa penting, bangga, dan wajib menanamkan bahasa daerah kepada anak-anak mereka kelak.

Tidak menggunakan bahasa daerah bukan berarti tidak lokalis. Tidak menggunakan bahasa Indonesia bukan berarti tidak nasionalis. Demikian halnya dengan penggunaan bahasa asing; tidak selalu mencitrakan keelokan pengetahuan seseorang.



Pada akhirnya, pilihan paling bijak menyikapi persinggungan antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing adalah menggunakan bahasa-bahasa tersebut sesuai situasi dan kondisi.

Terlepas dari lingua franca atau citra, perayaan Bulan Bahasa pada Oktober saat ini seyogianya kita isi dengan kesadaran semakin menguatkan bahasa komunikasi kita; baik bahasa daerah maupun bahasa Indonesia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Oktober 2022. Penulis adalah guru di SMA Islam Nurul Musthofa, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya