SOLOPOS.COM - Mufti Raharjo (JIBI/SOLOPOS/ist)

Mufti Raharjo, pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo (JIBI/SOLOPOS/ist)

Di Solo, tiga tahun yang lalu, 25 Oktober 2008, lahir Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Sejarah kelahiran JKPI terkait erat dengan penyelenggaraan Konferensi dan Pameran Organisasi Kota Pusaka Eropa-Asia (OWHC Euro-Asia). Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (saat itu) Jero Wacik bersama puluhan walikota di Indonesia dengan supervisi dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) mendirikan JKPI.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Loji Gandrung menorehkan tinta emas lahirnya Deklarasi Surakarta di bidang pusaka (warisan budaya) ini. Di joglo belakang rumah dinas walikota Solo inilah para founding fathers JKPI mendeklarasikan lembaga ini. Pada awal kelahirannya, JKPI hanya beranggotakan kurang dari 20 kota se-Indonesia. Seiring perjalanan waktu dan diskusi resmi pada forum-forum prakongres, kongres serta Rakernas JKPI; akhirnya disepakati daerah yang berstatus kabupaten diperkenankan jadi anggota JKPI sepanjang memenuhi kriteria dan berkomitmen dalam pelestarian pusaka (tangible and intangible heritage).

Hingga 2011 ini, anggota resmi JKPI 47 kabupaten dan kota se-Indonesia. Ini bukti keanekaragaman pusaka bangsa yang tersebar di kabupaten dan kota di Nusantara masih lestari.

Pelestarian saja tidak cukup. Perlu pengayaan jangka panjang untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pariwisata. Pekerjaan besar untuk mewujudkan kota pusaka sebagai kota pelestari peradaban. Pemerintah (kabupaten dan kota) anggota JKPI terus berkomitmen mengawinkan potensi masa lalu, di mana landmark yang unik serta napas tradisi harus tetap dipertahankan menjadi ruhnya; kemudian ditransformasikan di era kekinian.

Pelestarian dengan cinta
Bagaimana melestarikan kota pusaka? Tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum atau dengan komitmen yang kuat. Betapa pentingnya bila kita dapat membuka hati tentang bagaimana melestarikan dengan cinta. Kecintaan dan kerinduan masa lalu di kampung halaman. Kenangan manis masa kecil sewaktu bermain di kebun rumah. Kerinduan terindah saat sowan eyang di rumah joglo yang besar.

Ketenangan suasana dan kesunyian kota sehingga nyaman bagi semua. Indahnya pepohonan besar yang menghiasi hampir seluruh kanan-kiri jalan besar. Kenangan lezatnya makanan yang dibungkus daun pisang dan daun jati muda nan hijau. Indahnya pemandangan hamparan hijau yang tidak (belum) tersekat oleh pagar-pagar tinggi. Senangnya sepur-sepuran (berwisata dengan kereta api kuno) bersama tetangga. Riang gembiranya saat bermain-main dengan teman sebaya di malam hari saat bulan purnama.

Ramah dan kasih sayangnya orang-orang yang berusia lebih tua. Kesantunan yang terpotret dari segala lapisan masyarakat. Ketulusan hati dalam bergotong royong tanpa memandang segala perbedaan yang ada. Masih banyak kerinduan masa lalu yang masih terhunjam kuat di dalam hati. Itu semua dapat menumbuhkan kekuatan makna cinta dalam kehidupan.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa pendahulu kita dan alam sekitar kita telah mewariskan harta berlimpah dan ajaran hidup bijaksana. Pusaka alam dan kebudayaan adalah modal utama untuk membangun Indonesia. Namun, kehidupan peradaban terus berjalan dan tanda-tanda modernitas zaman menjadi keniscayaan. Bagaimana kita dapat menuju bangsa yang terhormat dengan cara cinta dan menjunjung tinggi nilai pusakanya?

Manjakan kendaraan bermesin
Di sebagian kota pusaka kita jumpai kesan menyesakkan dada kita manakala semakin banyak infrastruktur dibangun tetapi cenderung (hanya) memanjakan kendaraan bermesin. Kendaraan bermesin besar begitu diistimewakan sehingga dibangunkan jalur khusus yang namanya busway. Padahal kendaraan (besar) biasanya menjadi ”raja jalanan” yang kurang humanis, bahkan berkonotasi negatif.

Pertumbuhan kuantitas jalan raya (baik kelas nasional maupun provinsi), jalan bebas hambatan, serta jalan layang (dibangun hingga bertumpuk-tumpuk); berbanding terbalik dengan fasilitas yang dibangun untuk pesepeda. Orang yang suka naik sepeda (pesepeda) belum mendapatkan perhatian yang bagus. Fakta menyatakan jalur khusus bagi pesepeda (bikeway) masih sangat minim.

Tidak enak rasanya menyatakan infrastruktur jalan raya (hanya) diprioritaskan bagi kalangan orang kaya yang memiliki mobil, bahkan dibuatkan fasilitas fly over hingga bertumpuk-tumpuk. Namun, bagi anak-anak sekolah yang bersepeda dan pecinta sepeda lainnya masih dianggap warga negara kelas rendah yang kurang mendapat perhatian. Kita masih sangat membutuhkan ruang-ruang humanis, ruang-ruang penuh etika, serta kerendahan hati, termasuk di jalan raya. Sehingga kebijakan pro kemiskinan memerlukan tindak lanjut agenda aksi.

Kota Solo sangat diuntungkan dengan tersedianya landmark elemen perkotaan yang (sebenarnya) diperuntukkan bagi pengguna sepeda. Kita bisa lihat sepanjang Jalan Slamet Riyadi, dari Gladak hingga Kleco, sudah ada jalur lambat untuk nonkendaraan bermotor. Kita juga bisa menyusuri jalur lambat dari Manahan hingga Tugu Makutha.

Selain itu juga tersedia jalur lambat dari Pasar Gede hingga Panggung, lalu Jebres sampai Kentingan hingga Jurug. Akan tetapi, hampir seluruh jalur lambat tersebut disalahgunakan. Masyarakat hanya (bisa) berharap agar segera ada langkah nyata agar semua jalur lambat yang ada dapat menjadi elemen penikmatan bagi pengguna sepeda sehingga nyaman dan aman dalam berkendara.

Masyarakat mandiri
Kota Solo sebagai pelopor kota pusaka penuh pernik-pernik kekayaan potensi. Seiring perjalanan waktu, beberapa tahun terakhir ini Kota Solo menjadi ajang kegiatan berskala nasional maupun internasional. Segala event tersebut digelar untuk pencitraan kota dan untuk memanjakan warga kota. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita dapat menggali potensi yang ada? Bagaimana pula kita dapat memasarkan kota dan membuat pencitraan kota tanpa menyerahkan sepenuhnya beban tersebut pada pemerintah?

Di sinilah pentingnya pemasar kota yang andal. Di sini pulalah ruang-ruang bagi komunitas, kelompok masyarakat mandiri (self help society) serta partisipasi publik sangat dibutuhkan peran sertanya.

Seperti halnya komunitas pencinta sepeda kuno yang akan mengadakan Jambore Sepeda Kuno dan Jelajah Kota Pusaka yang diselenggarakan di Solo pada Sabtu-Minggu (29-30/10) sebagai wujud dari self help society terhadap kota. Di sinilah masyarakat pencinta sepeda kuno memberdayakan diri sendiri dengan memperkuat peran aktif civil society and public participation sebagai darma bakti dan cinta terhadap kota pusaka.

Jambore sepeda kuno menjadi forum silaturahmi pencinta sepeda kuno se-Indonesia sekaligus menjelajahi kota pusaka. Ini semua demi pencitraan kota sekaligus mengelola customer dengan keramah-tamahan alami. Pesan yang dikumandangkan adalah cintai bumi pertiwi, cintai kota pusaka dan cintai sepeda kuno. Salam pusaka!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya