SOLOPOS.COM - Hanifatul Hijriati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Belum  lama ini pengumuman juara olimpiade sains SMA tingkat kabupaten di Jawa Tengah diumumkan. Sebagian sekolah—yang dulu—penyandang label favorit meletakkan harapan yang besar pada kompetisi bergengsi ini.

Label favorit tentu saja merupakan sematan untuk SMA yang sejak dulu memegang peringkat tertinggi sebagai sekolah dengan siswa unggul. Tampaknya harapan sebagian SMA tersebut tidak selamanya berujung kabar gembira.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Sistem zonasi telah melahirkan dua angkatan kelulusan SMA hingga tahun ini. Selama itu pula banyak perubahan terjadi di sekolah yang rata-rata yang memiliki label favorit. Dengan kuota hanya 20% saja untuk jalur prestasi, sekolah dengan label favorit harus mencari berbagai strategi agar nama harum sekolah tak pudar.

Percayalah ini tidak mudah. Segala upaya dan strategi mencari bibit unggul untuk mengikuti kompetisi akademis bergengsi tampaknya belum cukup mampu untuk mempertahankan keharuman nama sekolah favorit.

Hasil kejuaraan bulan lalu sebagai bukti yang sepertinya sulit untuk tidak mengatakan bahwa zonasi SMA telah menunjukkan kontribusi yang sangat besar pada penurunan dominasi sekolah unggul atau yang dulu disebut sekolah favorit.

Seorang guru, terlepas di mana pun guru itu mengajar, melihat hasil kejuaraan olimpiade sains tahun ini seharusnya dapat memberikan perspektif yang segar tentang makna sebuah keunggulan.

Berdasar hasil kompetisi akademis tersebut, sekolah favorit harus mengakui bahwa dominasi mereka menurun signifikan. Banyak ditemukan sekolah yang sebelum zonasi SMA tak akan pernah muncul sebagai juara olimpiade, bahkan tak mungkin dipertimbangkan untuk menang, yang kemudian namanya terpampang pada dafar pemenang.

Tak hanya di olimpiade sains, dalam festival dan lomba seni siswa beberapa sekolah yang dulu bahkan tak akan dilirik sebagai sekolah yang memiliki potensi ternyata muncul sebagai pemenang dalam berbagai kategori lomba.

Persebaran peraih juara hampir merata. Sekolah berlabel favorit sebelumnya terbiasa menyabet juara lebih dari tujuh kategori, tetapi tahun ini harus puas dengan menyabet empat sampai lima kategori saja.

SMA yang dulu menjadi langganan memenangi olimpiade Matematika, Fisika, dan Kimia harus menerima pergeseran posisi juara dan label juara justru diraih diraih SMA yang sama sekali belum pernah masuk kategori pemenang, bahkan tak pernah dipertimbangkan sebelumnya.

Kejutan-kejutan ini sesungguhnya bisa diprediksi sejak sistem zonasi diberlakukan. Meskipun sekolah favorit masih menyisakan jatah 20% bagi siswa berpretasi, kuota ini kemungkinan tak terisi di sekolah pinggiran.

Profesionalisme Guru

Mengangkat lagi keharuman nama sekolah dengan kuota yang tak banyak itu bukanlah pekerjaan mudah. Rekan saya, seorang guru bahasa Indonesia, dengan penuh bangga memamerkan prestasi salah satu siswa di sekolahnya melalui status Whatsapp.

Siswanya meraih juara pertama lomba penulisan cerita pendek dalam festival dan lomba seni baru-baru ini. SMA ini hampir tak pernah muncul sebagai pemenang dalam berbagai kategori sebelumnya.

Pencapaian prestasi lomba menulis cerita pendek ini jelas mengangkat nama sekolah. Guru pembimbing lomba juga memberi kontribusi dalam pencapaian prestasi tersebut. Pemberlakuan zonasi dengan hasil yang semakin dirasakan tahun ini menunjukkan pendidik atau guru diuntut memaknai profesinya tidak lagi hanya yang membagi ilmunya, tapi juga harus mampu menjadi motivator andal bagi siswanya.

Sering ditemui guru di sekolah-sekolah—yang dulu—berlabel favorit mengeluh tentang kondisi serta kemampuan siswa saat ini yang jauh dari kapasitas unggul seperti yang mereka hadapi dulu. Sebagian dari mereka belum terbiasa menangani masalah kategori luar biasa pada siswa.

Tentu saja keterampilan dan profesionalisme guru benar-benar diuji. Guru-guru harus mematahkan asumsi selama ini yang berkembang, bahwa anak pintar memang karena kemampuan mereka yang unggul, bukan karena gurunya.

Saat siswa-siswa unggul ini berkompetisi, mereka tumbuh dalam lingkungan yang suportif, lingkungan yang mendukung mereka. Selain kemampuan unggul yang dimiliki, sebgaian besar tumbuh dalam lingkungan yang mendukung pendidikan dengan maksimal.

Saat ini para pendidik dihadapkan pada kondisi siswa yang kurang lebih sama. Dengan tingkat profesionalisme guru yang telah diuji melalui lembaga pendidikan hingga lembaga sertifikasi, sekolah menjadi kawah candradimuka guru untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan menghadapi siswa yang beragam.

Asumsi bahwa sekolah favorit itu berprestasi karena siswanya memang sudah pintar dapat dibuktikan tidak benar jika sekolah tetap harum namanya dengan beragamnya kemampuan siswa. Lain halnya jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu prestasi sekolah berlabel favorit terus tergerus, asumsi itu bisa jadi tak salah.

Menginspirasi siswa dengan kondisi tidak menguntungkan untuk menjadi siswa dengan prestasi di atas rata-rata adalah tantangan guru masa kini dan masa depan. Saat ini setiap sekolah bisa saling bekerja sama dengan tingkat kompetisi yang tak jauh berbeda untuk bisa saling mengembangkan kemampuan siswa dengan beragam minat dan bakat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Juni 2023. Penulis adalah guru SMAN 1 Gemolong, Kabupaten Sragen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya