SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Memang hanya sebuah taman, tapi justru itulah yang membuat hati Bambang Sumantri gundah gulana, gusar tak kepalang. Dalam lakon wayang Sumantri Ngenger itu, ujian pertama, yakni memboyong Dewi Citrawati untuk dipersembahkan kepada Raja Maespati Prabu Harjunasasrabahu, telah dipenuhi.

Dengan kesaktian yang dimiliki, Sumantri putra sulung Begawan Suwandagni dari Pertapaan Jatisrono memang bisa mengalahkan dengan mudah saat bertanding dengan para raja yang ingin mempersunting Dewi Citrawati, sekar kedhaton Kerajaan Magada.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Kini tinggal memindahkan Taman Sriwedari dari Kayangan Suralaya ke Kerajaan Maespati. Itulah yang terasa muskil bin mustahil dilakukan Sumantri. Dia kemudian meminta bantuan adiknya, Sukrasana, raksasa bajang (kecil) berwajah buruk, namun sakti mandraguna.

Si adiklah yang mampu memindahkan Taman Sriwedari, meski kemudian menerima nasib buruk, yakni mati terkena anak panah sang kakak. Ya, memang hanya sebuah taman, tapi daya pesona taman telah menyugesti banyak orang di jagat maya maupun nyata.

Taman memberikan banyak inspirasi bagi seniman. Maestro keroncong Gesang Martohartono menggubah Langgam Tirtonadi, yang tak lain adalah taman atau kebun di pinggir sungai daerah Gilingan, Banjarsari, Solo bagian utara.

Sastrawan Iwan Simatupang menyusun naskah drama yang terkenal bertajuk Petang di Taman. Pengarang kelas dunia seperti O. Henry, William Shakespeare, Agatha Christie, memilih setting cerita di sebuah taman dengan alasan tertentu yang bukan tanpa kesengajaan.

Itulah kenapa pula Pemerintah Kota Solo tahun-tahun terakhir ini begitu bersemangat mendandani sejumlah taman. Termutakhir yang dimuat Solopos  edisi 30 Januari 2024 bertajuk Upacara HUT Solo Nganyari Balekambang.

Ada keterangan yang meyakinkan: pascarevitalisasi, Taman Balekambang Solo digadang-gadang menjadi ikon wisata baru pada 2024. Sebuah paradigma yang patut diapresiasi dan tidak ngayawara. Artinya, ada pertimbangan yang matang dalam membenahi dan menata kota.

Ada kesadaran prima untuk tidak melakukan tragic flaw, salah langkah, sebagaimana dilakukan oleh banyak kota di dunia. Dalam Global City Blues, Daniel Solomon memberikan gambaran tentang kualitas hidup manusia yang terancam oleh cara sebuah kota dibangun pada awal abad ke-21.

Pengaruh efek negatif globalisasi telah menggasak kota-kota negara berkembang di antaranya dengan menggusur ruang-ruang terbuka, melenyapkan tempat-tempat tertentu yang unik, hingga memonopoli pelbagai selera, yang dia sindir sebagai new form of geographic confusion.

Sudah menjadi kelumrahan kota-kota besar di dunia mengalami yang oleh Peter Lang disebut sebagai everyday war. Pertempuran ekonomi dan bisnis oleh para pengusaha kelas hiu yang menang mendapatkan kesempatan untuk menjungkirbalikkan, memanipulasi, mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi menangguk keuntungan pribadi sebesar-besarnya.

Syukurlah kondisi mengerikan seperti itu tak terjadi (bisa pula dibaca: belum terjadi) di Kota Solo. Jangan sampai Kota Solo mengalami seperti yang dialami Kota Curitiba, ibu kota Brasilia, sebagaimana dikisahkan Wheeler & Beatley (2004)

Semula Kota Curitiba tumbuh dan berkembang dengan pesat sebagai kota metropolitan, tapi kemudian di sana sini menjamur permukiman kumuh, lalu lintas yang macet, sampah menggunung, dilanda banjir, dan pembusukan lingkungan. Itu terjadi pada 1971.

Beruntung wali kotanya waktu itu, Jaime Lermer, seorang arsitek yang memiliki kepedulian prima untuk menata ulang kota secara mengagumkan hingga Curitiba mendapat julukan sebagai one of the world’s leading examples of creative urban development.

Contoh kedua adalah Pittsburg, kota di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Berkat penanganan serius sejumlah arsitek dan perencana kota dari Inggris dan Amerika Serikat sendiri pada 1988 kota itu yang semula dekil dan runyam akibat industrialisasi telah berhasil direvitalisasi dan ditingkatkan kualitas lingkungannya.

Surga Perkotaan

Dengan telah membenahi banyak taman umum (public parks), ada taman pusat kota (downtown parks), taman lingkungan (neighborhood parks), taman kecil (mini parks), setidaknya Kota Solo telah berada di jalur surga perkotaan (urban paradise).

John O. Simond dalam karya klasik Earthescape, A Manual of Environmental Planning and Design menyebut bahwa surga perkotaan ditandai adanya taman, lapangan olahraga, ruang terbuka, area bermain. Tentu saja dengan standar kualitas tertentu.

Sudah barang tentu masyarakat Kota Solo memiliki harapan besar agar pemerintah kota tak hanya berhenti pada upaya mempercantik taman dan kawasan wisata, tetapi juga memiliki rancangan yang komprehensif.

Rancangan komprehensif itu tentang masalah kemacetan lalu lintas, jaminan keamanan terhadap kebakaran, terpenuhinya sinar matahari dan udara yang segar, menghitung dengan benar setiap pemanfaatan lahan terkait tingkat kepadatan penduduk, pelayanan transportasi, air bersih, tempat pembuangan sampah dan air kotor, dan lain-lain yang merupakan kebutuhan primer masyarakat.

Prinsip sociopolis hendaknya dipakai sebagai pegangan dalam layanan publik. Vicente Guallart (2004) mengartikan sociopolis sebagai penetapan standar baru dengan mewujudkan impian keseimbangan sosial, masyarakat berpotensi memiliki peluang yang sama (new standards by realizing a dream of social balances where people potentially have the same opportunities).

Tidak ada salahnya belajar dari negara modern yang berhasil merancang aturan pemintakatan (zoning) di Kota New York pada 1916 yang kemudian diberlakukan di seluruh kabupaten dan kota di seluruh negara bagian (Donald C. Hagman, 1971).

Silang sengkarut masalah pertanahan di berbagai kota di Indonesia disebabkan pemintakatan tak dilakukan sedini mungkin. Tidak kunjung diurus dengan benar sejak lepas dari genggaman kolonial. Penyerobotan tanah, penggusuran lahan berlangsung terus. Hingga kini. Alih-alih mengurus taman.

Johan Silas (1996), arsitek dan ahli penataan kota, mengemukakan kekaguman saat mengunjungi kota-kota di negara maju yang ternyata penuh dengan taman dan penghijauan yang asri. Dia merasa meri karena kaum kolonialis di daerah jajahan telah membangun kota yang mutu lingkungannya rendah–terbatasnya petamanan.

“Tapi, keadaan kota di Indonesia justru lebih jelek setelah merdeka dan membangun, bukan karena kaum kolonial,” kata di. Nah!



Semoga Taman Balekambang yang legendaris dan telah didandani dengan cantik itu menjemput peruntungan sebagai arena wisata Kota Solo. Bukan hanya untuk orang Solo, tapi juga untuk wisatawan dari luar kota dan mancanegara.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Februari 2024. Penulis adalah esais dan sastrawan yang tinggal di Kabupaten Sragen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya