SOLOPOS.COM - Rudi Agus Hartanto (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Debat akademis antara Noam Chomsky dan Michel Foucault adalah salah satu tayangan di Youtube yang saya tonton berulang kali. Pada saat itu, tahun 1971, dua ilmuwan besar tersebut memperdebatkan pandangan tentang ilmu sosial-humaniora di salah satu tayangan televisi Belanda.

Perdebatan yang cukup menegangkan. Chomsky berargumen menggunakan bahasa Inggris, sementara Foucault bersikukuh dengan bahasa Prancis. Ilmu yang dipelajari keduanya juga berbeda. Chomsky pada saat itu lekat sebagai peneliti ilmu kebahasaan dan Foucault sebagai peneliti budaya.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Perdebatan yang berlangsung 52 tahun lalu itu niscaya telah memprovokasi, menggugat, dan memantik peserta terlibat lebih jauh dalam memperdalam keilmuan. Barangkali siapa yang duduk di bangku peserta waktu itu sekarang telah menjadi seorang berpengaruh di bidang akademis maupun praktis—saya tidak punya data siapa yang datang.

Begitu pula yang terjadi di ballroom Tower Ki Hadjar Dewantara Universitas Sebelas Maret dalam acara seminar internasional Semantiks & Prasasti 2023: Language in Workplace pada Selasa 7 November 2023.

Itu adalah acara yang diselenggarakan atas kerja sama Program Studi S2 Ilmu Linguistik dan S3 Ilmu Linguistik dengan menghadirkan pakar dari dua kampus luar negeri dan tiga kampus dalam negeri.

Dari lima pembicara, yang berdarah luar negeri adalah Prof. Bahtiar Mohamad dari Universiti Utara Malaysia. Empat pembicara lainnya berkebangsaan Indonesia, yaitu  Prof. Handoyo Puji Widodo (King Abdul Aziz University, Arab Saudi), Prof. Jufrizal (Universitas Negeri Padang), Dr. Ida Kusuma Dewi (Universitas Sebelas Maret), dan Prof. Edy Jauhari (Universitas Airlangga).

Masing-masing pembicara mempresentasikan makalah dengan mazhab ilmu linguistik yang dianut. Ketika sesi plenary pertama berlangsung, tersampaikanlah pertanyaan maupun respons kritis dari peserta seminar seperti metodologi, kebaruan, dan celah penelitian yang mungkin dapat dilakukan para linguis pada masa kini maupun mendatang.

Sebagaimana acara seminar, para pembicara memberikan pandangan untuk mengurai persoalan sedetail mungkin. Singkat cerita, saat sesi plenary kedua, hanya tiga peserta yang berkesempatan memaparkan pertanyaan.

Saya yang pada saat itu mengurus tampilan layar panggung sebenarnya dari rumah membawa pertanyaan perihal bahasan sensual di ruang lingkup pekerjaan kasar, namun kesempatan mengajukan pertanyaan itu pupus karena pada sesi kedua ini para guru besar berdebat.

Tema seminar ini telah menggugah memori saya saat menjadi buruh pabrik pada 2016-2017 sehingga saya bersemangat untuk ngangsu kawruh. Saya bersyukur karena bisa datang dengan gratis sebagai bagian panitia.

Biasanya ketika mengikuti suatu seminar saya cenderung mengantuk, tetapi karena tema ini terasa empiris, juga di lingkungan saya tumbuh pekerjaan kasar sangatlah dekat, maka hari itu saya bersemangat bangun pagi.

Mulanya saya berpikir forum akan terasa membosankan. Ternyata tidak. Rasanya penting untuk mengabarkan kepada khalayak. Menjelang acara diakhiri, Jufrizal mengemukakan pendapat yang cukup menghasut kesadaran saya.

“Jika dalam seminar, sakit kepala itu sudah biasa dan seharusnya begitu. Masalahnya jika pulang dari sini, adanya sakit hati. Lebih parah lagi, akan sakit jiwa,” kara Jufrizal.

Lekaslah hal itu memantik memori buruk sewaktu terjadi perdebatan di kelas, lalu mahasiswa mendapatkan nilai di bawah rata-rata karena itu. Parahnya, saya pernah mengalaminya. Perdebatan di antara pakar linguistik ini akan menarik apabila “dibudayakan” kembali di kelas-kelas di universitas.

Pengalaman menonton debat Chomsky dan Foucault terasa betul pada seminar itu. Edy Jauhari memaparkan mengenai speech level bahasa Jawa. Posisi makna dalam tuturan langsung maupun tidak langsung coba diurai mendalam, khususnya bentuk tuturan meminta.

Jufrizal menilik tipologi bahasa Minangkabau kembali ke satuan terkecil. Ida Kusuma Dewi menjelaskan potensi celah penelitian dalam linguistik penerjemahan melalui kebaruan pendekatan.

Seusai Salat Zuhur, Bahtiar memaparkan hasil penelitan atas komunikasi pekerja migran di Malaysia yang menunjukkan bahwa pekerja migran asal Indonesia memiliki kemampuan adaptasi pekerjaan di atas rata-rata dibanding pekerja dari negara lain seperti Taiwan, Bangladesh, Pakistan.

Handoyo mengemukakan kemungkinan penelitian kebahasaan di ruang kerja serta prosesnya hingga menjadi profesor riset di Arab Saudi. Masing-masing pembicara memberikan perspektif yang cukup beragam, hingga memantik pelbagai pertanyaan mengenai kesemestaan bahasa.

Tibalah pertanyaan dari Jufrizal pada 30 menit sebelum acara selesai kepada Handoyo. Ia mempertanyakan konteks itu di luar bahasa atau di dalam bahasa? Untuk menjadi seorang linguis, apakah konteks itu di luar bahasa atau dimasukkan ke dalam bahasa?

Jawaban yang diberikan Handoyo menggunakan analogi seorang anak lahir karena hubungan bapak dan ibunya. Meski begitu, Jufrizal kembali memperkuat argumennya perihal tahapan menjadi linguis: dari mikro linguistik ke makro linguistik. Itu adalah poin yang kemudian memantik para guru besar mengambil pelantang.

Prof. Tri Wiratno kemudian menjelasakan secara runtut histori irisan bahasa dengan konteks. Mazhab para linguis ketika berdebat dalam suatu seminar cukuplah memberikan selayang pandang bagi peneliti muda.

Perdebatan dalam seminar itu mencakup kesemestaan bahasa yang begitu luas, posisi peneliti akan menempa dirinya lalu menyelaminya. Apa yang disebut moderator pada akhir acara cukuplah menarik.

”Saya tidak akan menyimpulkan apa-apa, nggih, karena jika sudah menyangkut keyakinan sulit untuk disimpulkan. Simpulan saya kembalikan kepada hadirin,” kata sang moderator. Tawa pecah segera menyambut ungkapan ini.

Seusai kukut-kukut bersama kawan-kawan panitia, saya membayangkan pola seminar yang begitu akan mengelindan di antara hadirin: bagaimana membangun basis argumen akademis berdasar penyelaman ilmu yang pernah dilakukan. Perdebatan yang berjalan menyenangkan, tanpa gelas terbang atau kursi tersungkur.



Bahasa di ruang kerja cakupannya menyangkut hajat hidup seseorang. Pertalian di sana bukan sekadar aturan dan pelaksanaan, misalnya mahasiswa yang bekerja part time mengeluh manajemen waktu hariannya, sopir truk kangen dengan keluarganya, atau sambatan petani harga beras naik tetapi isi uang di kantong tetap sama saja.

Bahasa mereka adalah bahasa yang hidup. Begitulah, sesampai di rumah, saya mendapat pertanyaan dari adik saya, yang lekas mengembalikan saya ke ruang seminar, ”Kok gak bawa jajan, Mas?”

Saya tidak kerepotan atas pertanyaan tersebut karena perkara jajan justru kerja bahasa menjadi mengalihtekankan posisi saya yang rasanya terlampau tanggung dalam mempelajari seluk kebahasaan ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Desember 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret dan bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya