SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Esai kawan saya, Kaled Hasby Ashshidiqy, di Solopos edisi 8 Maret 2024, berjudul Kita (Belum) Siap, menyajikan analisis dan simpulan yang harus ditelaah kritis. Analisis dalam esai itu mempertanyakan kesiapan warga bangsa ini berdemokrasi.

Ia kemudian mendukung simpulan ”beberapa pihak” tentang mengembalikan kewenangan memilih presiden-wakil presiden kepada MPR. Argumentasinya adalah kualitas demokrasi kita saat ini malah mundur (karena rakyat belum siap memegang kedaulatan tertinggi: memilih presiden-wakil presiden).

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Mengembalikan wewenang memilih presiden-wakil presiden kepada MPR akan memberi waktu menyiapkan rakyat agar lebih layak berdemokrasi: memegang kembali kedaulatan tersebut.

Pemilu 2024 yang baru saja berlalu—tahapannya belum tuntas—menunjukkan realitas kita belum berbudaya demokrasi. Salah satu indikator berbudaya demokrasi adalah kaya homo politicus sejati.

Kini kita defisit, saya sebut miskin ekstrem, homo politicus sejati. Homo politicus sejati adalah politikus penuh gairah, mampu mengambil keputusan berat, penuh tanggung jawab, atau punya passion, judgement, and responsibility yang diberdayakan untuk kepentingan publik.

Berdasarkan kriteria homo politicus ala Perry Anderson itu, pemilu sebagai aktualisasi demokrasi modern acapkali malah menghasilkan pemimpin yang tidak memenuhi kriteria tersebut.

Pemenang pemilu tidak dengan sendirinya menjadi pemimpin dan menjadi negarawan, apalagi yang menang secara lancung, memanipulasi hukum misalnya. Bagimana bisa menjadi negarawan ketika tatanan bernegara malah diacak-acak?

Bagaimana bisa menjadi negarawan ketika praktik politiknya menihilkan etika, meminggirkan asas kepatutan, menganggap biasa nepotisme yang tidak lain adalah sumber kolusi dan korupsi?

Menurut Max Weber ada dua macam politikus. Pertama, politikus yang dengan kesadaran penuh memilih politik demi cita-cita atau demi idealisme. Mereka hidup untuk politik. Mereka terpanggil untuk menghabiskan masa hidup di politik karena ingin mewujudkan cita-cita dan idealisme yang diyakini.

Kedua, politikus yang memilih dunia politik sebagai tempat berkarier. Mereka menjadikan politik laksana tangga karier. Dari tingkat yang rendah hingga tingkat tertinggi. Mereka hidup dari politik. Politik menjadi lahan untuk menanamkan kepentingan, mengukuhkan keinginan, dan kemudian mendapatkan keuntungan.

Topik ini pernah saya tulis menjadi esai yang terbit di Harian Solopos edisi 5 Agustus 2019. Ketika membaca esai Kaled kawan saya, rasanya substansi tentang politikus yang hidup untuk politik dan politikus yang hidup dari politik makin relevan dibicarakan dan dimaknai lagi.

Saya ingin mengaktualkan lagi topik tersebut. Pemahaman tradisional menganggap pemimpin dilahirkan, bukan dilatih. Dalam masyarakat tradisional, sebagian besar ketua suku adalah kaum karismatik di tengah kaum bangsawan lokal karena keperkasaan, pengetahuan, local knowledge dan local wisdom, dan sebagainya. Mereka lahir untuk itu.

Daniel Dhakidae dalam artikel Meratapi Keberhasilan, Sambil Merindukan yang Harus Hilang yang terbit di Majalah Pemikirian Sosial Ekonomi Prisma Nomor 1 Volume 33 Tahun 2014 menyatakan demokrasi mengharamkan pemahaman dan praktik ”pemimpin itu dilahirkan, bukan dilatih”.

Pada era modern mustahil mendapatkan pemimpin ”yang dilahirkan”. Era modern meniscayakan kepemimpinan yang logis, terukur, berdasar manajemen modern yang demokratis, dilengkapi sistem kritik, evaluasi, dan koreksi.

Dalam demokrasi mesin elektoral menjadi wahana memunculkan pemimpin. Mesin elektoral dihidupkan oleh penyelenggara pemilu dan peserta pemilu demi menghasilkan pemimpin. Penentu keterpilihan adalah warga negara yang berhak pilih.

Pemimpin yang dihasilkan dengan mekanisme demokrasi (modern) ini—sayangnya—malah jamak tak mememuhi kriteria homo politicus sejati. Kita kekurangan politikus yang hidup untuk politik. Yang jamak hari ini adalah politikus yang hidup dari politik.

Wajar pada hari-hari ini jarang muncul pemimpin yang autentik. Jangan berharap muncul pemimpin yang negarawan, politikus yang berwatak pemimpin sekaligus negarawan, dari mereka yang hidup dari politik, bukan hidup untuk politik.

Homo politicus sejati era modern niscaya berpolitik dengan berpijak pada budaya demokrasi. Berpolitik dengan sikap dan aktivitas yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti menghargai perbedaan dan kebebasan yang bertanggung jawab.

Budaya demokrasi adalah pola pikir dan sikap warga masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan antarmanusia dengan kerja sama, saling percaya, toleransi, dan kompromi.

Secara etimologis, budaya demokrasi berarti sikap dan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai-nilai, antara lain, menghargai, kebersamaan, kebebasan, dan menaati peraturan. Dalam budaya demokrasi memang mustahil menghasilkan pemimpin ideal.

Walakin, budaya demokrasi menyajikan mekanisme kontrol, pengawasan, koreksi, yang akan “menambal” ketidakidealan pemimpin. Inilah yang hari-hari ini kita miskin, kita defisit, bahkan miskin ekstrem.

Dalam budaya demokrasi sirkulasi pemimpin berjalan seturut aturan. Dua kali menjabat, ya sudah. Selesai. Pemimpin yang baik selalu meninggalkan ketidaksempurnaan. Biarlah itu menjadi urusan pemimpin berikutnya.

Pemimpin yang baik selalu belajar dari pemimpin sebelumnya. Yang baik ditingkatkan. Yang buruk dikoreksi. Bukan pemimpin baik ketika mau habis masa jabatan malah sibuk mencari pengganti dengan jargon “harus ada yang menyelesaikan pekerjaan saya”.

Ia seakan-akan menjadi yang paling tahu apa yang terbaik bagi negeri ini. Ini bukan pemimpin yang membangun budaya demokrasi, apalagi ketika malah memanipulasi peraturan hanya demi (katanya) ”agar pekerjaan saya diselesaikan tuntas (oleh orang saya)”.



Membangun budaya demokrasi, menurut saya, jalan terbaik memperbaiki kualitas kehidupan demokrasi kita. Membangun budaya demokrasi bisa dilakukan siapa saja, secara simultan sesuai porsi dan bidang masing-masing.

Harus kita akui, partai politik belum maksimal menjalankan tugas membangun budaya demokrasi dengan—salah  satu praksis—menghasilkan homo politicus sejati.

Protes yang dikemukakan ribuan akademikus dari setidaknya 70 universitas dan ratusan aktivis organisasi masyarakat sipil dari sekurangnya 20 organisasi adalah salah satu upaya mengisi disfungsi partai politik dalam kerja membangun budaya demokrasi.

Film Dirty Vote yang menjelaskan dengan terperinci dan gamblang praksis manipulasi dalam Pemilu 2024 yang dilakukan “penguasa” juga bagian penting dari upaya membangun budaya demokrasi. Insiaitif-inisiatif demikian harus diperbanyak.

Demokrasi kita yang rapuh, mundur, rusak butuh diperkuat, dimajukan, diperbaiki; bukan malah memilih praktik yang makin memperlemah demokrasi dan kemudian kembali ke otoritarianisme.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya